Selasa, 31 Januari 2017




Case1. PAKET MISTERIUS

“BUUUUUMMMMM” suara ledakan.
Randa saking terkejutnya mendengar suara  ledakan, tanpa sadar dia berlindung dibalik tiang listrik yang lebih kecil dari tubuhnya. Sedangkan Zigot dan  Man, respeck menjonggkok sambil mencari-cari arah sumber suara. Begitupun dengan orang-orang disekitarnya.
Setelah sumber suara diketahui tempatnya yang hanya berjarak seratus meter di belakang mereka bertiga, mereka segera menuju ketempat kejadian untuk memastikan apa yang terjadi.
Melewati jalan kecil yang baru saja mereka lalui. Di ujung jalan menuju jalan raya, asap dan api menjulang tinggi, hampir melumat keseluruhan rumah ibadah yang berhadapan dengan rumah sakit di seberang jalan raya.
Mataram 17 Januari 2000. Yap! Kurang lebih dua tahun setelah lengsernya orde baru, dimana transisi kepemimpinan Presiden Habibi selaku presiden ke-tiga, dan Gus-dur yang menjabat sebagai Presiden ke-empat di Indonesia. Masa-masa itu adalah masa-masa sulit bagi bangsa Indonesia.
Reformasi, atau masa perubahan. Dimana semua harapan masyarakat berubah, dari oligarki ke demokrasi. Sampai sampai sembako-pun harus berubah.
Asalkan jangan berubah ke-Democrazy seperti judul acara disalah satu tv swasta terkemuka.
Randa adalah seorang pelajar sekolah kejuruan swasta yang bernama asli Tonggeranda dan lebih senang dipanggil Randa. Lahir dikota Mataram, enam belas tahun silam, dibesarkan di kota Bima dan kembali meniti ilmu di tanah kelahirannya, yang dengan penuh harapan dalam benak Randa. Kota-Mataram adalah kota impian.
Ditempat kejadian, api yang membara dan asap yang menjulang tinggi, jeritan minta tolong para-korban kebiadaban, meluluhkan hati pendengarnya. Randa beserta kedua temannya tidak berani terlalu mendekat. Sorot mata Randa fokus pada sumber api.
“Randa, apa yang barusan terjadi?” tanya Zigot dengan gelagat agak bingung melihat tempat kejadian.
Randa  menggelengkan kepala sambil melangkah mundur di selah-selah orang banyak yang sedang menonton. Suara sirine ambulan semakin membuat suasana pilu.
“Bukankah kita baru saja dari tempat ini, Rand?” tanya Zigot lagi.
Dan dengan pertanyaan yang tak dijawab. Zigot menoleh kearah Randa yang berada disampingnya. Ternyata Randa telah berubah menjadi bapak tua dengan asap yang mengepul diwajahnya, hampir sama dengan bangunan yang terbakar didepannya. Bedanya saja asap tersebut dari asap sebatang rokok yang nyelip dibibir.
Sambil bingung Zigot menoleh kekiri dan kekakan mencari keberadaan Randa. Lalu Zigot menoleh kebelakang alhasil dia mendapatkan Randa sedang berjalan pergi, menjauh meninggalkan tempat kejadian.
“Rand! Rand!” panggil Zigot dan perlahan pergi kearah Randa sembari menarik tangan temannya Suherman yang biasa dipanggil dengan Man.
Mereka bertiga adalah teman semasa SMP dibima. Hanya saja Zigot atau bernama asli Iwan dan Suherman yang sering disapa Man. Mereka adalah utusan daerah mewakili cabang olahraga. Zigot pemain bulutangkis dan Man mewakili atlit tenis meja. Mereka berdua satu tahun lebih dulu berada di Mataram.
“Randa tunggu!” teriak mereka berdua.
“Tunggu, Rand!” zigot sembari meraih bahu Randa.
Randa hanya terdiam dan berjalan menjauhi tempat kejadian.
Sepanjang jalan auranya terasa sunyi padahal orang-orang berkerumun dipinggir jalan. Mencari tahu apa yang terjadi.
Mereka melangkahkan kaki dengan cepat dan terburu-buru. Merasa waspada, Randa mencoba untuk tenang. Setiap kali orang bertanya pada mereka, mereka geleng-geleng kepala. Mereka pura-pura tidak tau.
Setelah jarak sudah cukup jauh dari tempat kejadian, Zigot kembali bertanya.
“Randa,apa kamu tahu kejadian tadi?”
“Nggak mungkin saya nggak tau, kita berada disana!” jawab Randa ketus.
“Bukan gitu, Rand! Maksud saya, apa kamu ngerti  apa yang terjadi ditempat tadi?”
“Nggak!” lagi-lagi dijawab ketus oleh Randa.
Man hanya bisa berdiam diri saja. Mungkin dia mengerti dengan kejadian tadi atau bahakan nggak berani berkata-kata karena keadaan sekitar yang mulai aneh.
“Rand! Kok, suasana cepat sekali berubah?” tanya Man.
“Iya, Man! Sepertinya masalah besar, lebih baik pergi menjauh dulu. Cari aman!” kata Randa.
“Bener, Rand! Kita cabut aja!” ucap Zigot.
Setiap lorong dan jalan-jalan yang dilalui mereka, didepan rumah-rumah selalu di jaga oleh tiga atau empat orang penghuni rumah bersenjata lengkap. Tombak ditangan kiri dan kanannya, badik terselip diikatan perut, sembari menatap kearah mereka tajam dengan mata memerah karna Brem atau Tuak minuman tradisional yang memabukkan di kota tersebut.
 Orang-orang berjaga disekitar rumah masing-masing, mengantisipasi hal-hal yang tidak dinginkan.
Man berciri-ciri hitam berkarakter penakut dan suka ikut-ikutan. Sedangkan Zigot  putih berewokan dan setinggi bahu Randa, dia adalah anak yang agresif apalagi kalau sudah menyangkut masalah perempuan, semua jadi gelap.
Sedangkan Randa, berambut cepak dan disisir miring kekanan, hidung mancung gigi agak gingsul, kalok dia senyum orang nggak akan pernah lupa. Tapi dia juga tipe anak yang sedikit susah ditebak. Oh ya! Kulit sawo matang dan rambut hitam juga sebagian ciri dari Tonggeranda.
Mereka di juluki TRISULA “Tidak RIbet Sama Urusan Lo yA” baimana menurut anda, nyambung apa enggak?
“Terus gimana, Rand?” lanjut tanya Zigot.
“Gimana apannya, Zig?”
“Ituloh, Rand! Kejadian tadi!”
“Saya tanya balik sama kalian berdua. Sebelum kejadian, kita membawakan paket orang, iyakan?” tanya Randa menekan.
“ Iya...” jawab Man dan Zigot.
“Menurut kalian apa isi paket yang kita bawa tadi?”
“Yang saya tau, masing-masing dari kita hanya membawa dua jerigen yang isinya penuh. Tapi saya tidak tahu apa isinya?” jawab zigot sambil garuk kepala.
“Lalu, kamu, Man?” Randa sambil menaikan alis.
Man hanya geleng-geleng.
Semakin lama langkah mereka semakin pelan, karena telah berada jauh dari lokasi kejadian. Tapi mereka sering digogong anjing. Sebab mereka berjalan diperkampungan umat Hindu.
Karena merasa risih dan takut disangka macem-macem sama orang, mereka keluar dari perkampungan. Lalu mereka berjalan di jalan raya. Suara sirine pemadam kebakaran terdengar dimana-mana. Mereka tetap mencoba untuk tenang.
Kemudian mereka berjalan diatas parit yang sudah ditutupi beton cor dan dijadikan trotoar jalan. Berjalan ditrotoar mereka tak lupa jarak sepuluh meter, sesekali harus melompat karena ada lubang untuk membersihkan parit.
Sudah cukup lama selah pembicaraan. Eh! Si-Man Suherman bertanya “Maksudnya?” dia bertanya karena dari tadi dia mikir makan dan nggak fokus dengan pembicaraan Randa. Hanya saja diakhir kalimat Randa yang mengiang ditelinganya makanya dia keppo.
“Kamu darimana aja? Ditanyain malah geleng-geleng kayak orang triping!”
“Maaf, cuy! Pikiran saya ketutup makanan, makanya nggak nyambung!” kata Man.
“Sotoi!!!” kata Zigot.
“Saya juga nggak tau jelas apa isinya, yang saya tahu kita diberi upah masing masing seratus ribu rupiah untuk membawakan paket tersebut dan kita sudah menerima masing-masing upah tersebut”
“Maksudnya?” tanya balik Man sembari memutar otaknya yang sedikit agak bikin bingung dirinya sendiri.
“Maksudnya, kita telah dijebak! Dengan mengantar paket tersebut.” Tegas Randa
“Makin nggak ngerti saya, Rand!” Man menggelengkan kepala dan se-sekali melompat.
“Sepertinya! Paket tadi adalah bahan mudah menyala atau bahan bakar minyak dan di tempat kita  diinstruksikan menyimpan, ada sebuah paket terbungkus plastik hitam. Sepertinya juga, paket itu adalah paket yang misterius! Apa kalian memperhatikan?”
Terheran mereka berdua mendengar penjelasan Randa.
“Terus! Kok bisa meledak, Rand?” tanya Zigot.
“Nah! Itu dia yang nggak habis pikir. Mungkin paket misterius itu sumber awal dari masalahnya, sehingga menyambar ke yang lain!”
Man masih geleng-geleng kepala.
“Sudahlah! Lupakan, kita balik keKosh” ajak Randa.

***

Perjalanan menuju kosh masih jauh. Harus melewati beberapa block lagi, sedangkan Zigot. Mendengar cerita Randa, dia masih penasaran. Saking penasarannya, ia lalu ingin bertanya.
“Randa, saya ingin kamu ceritakan dengan jelas dari awal semua ini!” kata Zigot.
“Cerita apa, Zig-ot?”
“Ya!! Kamu ceritainlah awal mulanya gimana”
“Awal mula apa?” Randa sambil melompat.
“Kayak nggak tau adja kamu! Ituloh, Rand!” suara Zigot hilang.
Karena Randa merasa kehilangan suara Zigot, dia menoleh kesamping lalu kebelakang dan terkejut melihat Zigot yang sedang dibantu untuk berdiri oleh Man, dengan kaki sebelahnya tercebur kedalam lubang. Randa-pun merasa iba sembari tertawa melihat temannya.
“Ngapain kamu, Wan?” tanya Randa sambil ketawa.
“Zigot, Rand! Zigot” protesnya karna dipanggil dengan nama Wan!
“Biasa..” jawab Man, angguk-angguk kepala.
“Biasa kenapa, Man?” Randa bingung.
“Biasa Rand! Ada bidadari. Tuuuh!!” kata Man sambil menunjuk dengan sorot matanya kearah gadis bali yang sedang berdiri sambil tersenyum melihat tingkah mereka. Tau sendirilah gadis bali itu gimana manisnya?
Zigot tersenyum sambil malu-malu dan semua tertawa. Termasuk bidadari tadi.
Meningkatkan konsentrasi sangatlah penting untuk mengoptimalkan  kompetensi kita dalam menyelesaikan setiap kegiatan atau pekerjaan. Pengaruh konsentrasi yang kurang baik, sudah  pasti akan berakibat buruk pada hasil dari semua kegiatan atau pekerjaan. Meskipun pada dasarnya kompetensi/kemampuan kita untuk menyelesaikan pekerjaan itu terbilang baik.
Ditambah dengan posted by: Haryanto, S.pd  .Yang mengatakan bahwa Hal terpenting dalam proses belajar adalah konsentrasi belajar anak. Anak akan mudah menangkap materi pelajaran jika anak merasa nyaman dan dapat berkonsentrasi dalam belajar.
Pertanyaan saya, Apakah kita merasa nyaman?
Oh ya, saya lupa menjelaskan kenapa Randa bisa sekolah disana. Randa adalah anak seorang kontraktor Listrik diBima, dia mendaftar disekolah kejuruan diMataram jurusan kelistrikan.
Sesuai keinginan ayahnya yang ingin agar dia lulus nanti bisa melamar di PT. PLN “Perusahaan Listrik Negara”. Tetapi karena pembagian Ijasah dan nilai akhir ujian diBima terlambat. Alhasil dia terlambat satu hari mendaftar.
Karena sekolah diMataram sangat disiplin, jadi dia tidak bisa ditolerir keterlambatannya. Inilah awal masalah Randa.
Terpaksa dia harus mendaftar di sekolah kejuruan swasta dengan mengambil jurusan bangunan, mau tidak mau karna disekolah tersebut tidak ada jurusan kelistrikan. Hingga bertemu kedua teman semasa SMP. Ooo..ya. Zigot dan Man suherman, mereka sekolah di sekolah umum. Sekolah yang berbeda dengan Randa.
Kembali kecerita.
Setelah dikosh! Randa mencoba menjelaskan semuanya. Ada yang saya lupa, kosh disini yang dimaksud bukan koshnya Randa, tapi koshnya Erwin sianak Dompu. Dia pergi mudik karena ada hal penting yang mengharuskan dia kembali.
Selama Erwin mudik! Kosh tersebut dititip kemereka bertiga.
“Begini Zigot dan dengarkan, jangan dulu motong akan apa yang saya ceritakan. Ok?”
Mereka berdua mencoba mendengarkan kronologis dari Randa.
“Dua hari yang lalu, Saya bertemu dengan se-seorang diatas angkot  yang tidak saya tau namanya. Dengan ciri-ciri berkumis tipis, janggut pajang, seperti milik kambing. Bibir tebal, leebar dengan wajah agak tertutup oleh topi couple.  Dia menawarkan saya sebuah pekerjaan, dia mengimingi saya dengan upah yang cukup besar, seperti yang kalian terima sekarang. Namun saya bertanya, apa pekerjaan yang akan saya lakukan? Dia hanya memberi nota dan alamat paket dan tujuan paket. Kemudian dia menyodorkan lembaran uang lima puluh ribuan, enam lembar. Lalu dia turun dari angkot, tapi saya sempat menawar upah lebih tinggi, hanya saja uangnya yang ada cuman segitu! Saya merasa iba! Ya saya terima aja! Lalu saya mengajak kalian, itu saja.”
“Rand, Boleh saya bertanya?” potong Zigot.
“Iya, silahkan”
“Begini Rand, apa sebelumnya kamu tahu apa paket tersebut?”
“Zig! Kalok saya tahu! Saya nggak akan mengajak kalian. Tapi karna saya tidak tahu makanya saya ngajak kalian. Sekalian biar bisa jadi saksi. Dan juga uang sudah ditangan, berarti sudah jadi amanah.” Kata Randa sambil senyum.
“Tapi kenapa kamu tahu kalok yang terbakar itu paket yang kita bawa? saya jadi bingung?” tanya Man..
“Sebenarnya apa yang bikin kamu bingung Man? Kan, udah saya ceritakan tadi dijalan. Disamping paket itu ada paket yang misterius. Atau ada yang lain yang bikin kamu bingung Man?” tanya balik Randa
Man senyum.
“Sebentar-sebentar” potong zigot dan bertanya ke-Randa “berarti kamu beli kucing dalam karung dong?”
Sambil menarik nafas Randa menjawab.
“Eeemm, sepertinya begitu, Zig!”
Sebagai manusia, kelalaian pasti ada, makanya kita harus lebih teliti dalam berbuat. Tapi jika semua sudah terjadi, maka untuk kedepan, kita harus lebih baik. Gimana?
Man melanjutkan pertanyaannya.
“Iya Rand! Yang bikin saya bingung adalah ( sambil nyengir) kok yang saya terima hanya lima puluh, Rand! Bukanya seratus?”
Dahi Randa mengkerut dan memaki-maki Man menggunakan bahasa Bima, tapi Man emang dasar nggak tau malu. Di omelin dia malah nyengir!
 “Seharusnya kamu bersyukur, udah dapet duit yang lumayan..” kata Randa geram.
Kebiasaan dibima apabila bersenda gurau, kebanyakan bersuara besar dan kasar. Tapi sebenarnya hati mereka itu baik-baik. Banyak orang bilang kalau orang Bima bengis-bengis. Nyatanya selama saya diBima tidak seperti yang diberitakan orang.
 Saya fine aja diBima. Bima itu daerah yang mayoritas Muslim, yang pernah dipimpin oleh Sultan sebelum kemerdekaan, bahkan yang salah satu Sultanya adalah kakek buyut dari Pangeran Diponoegoro. Penasaran? Tanya mbah Google dan coba saja datang ke-Bima.
 Daerahnya ramah dan tidak seperti yang diberitakan. Untuk memastikannya cobalah jalan-jalan ke-Bima. Sedangkan Lombok diJuluki negeri seribu masjid, sooo... semua orang pasti tahukan bagaimana pulau Lombok? Yang tidak tahu! Sudah jelas dia rugi-rugi-rugi.
 “Kita makan yuk?” ajak Man.
Waktu memang menujukan makan siang. Randa kewarung untuk membeli nasi balap. Nasi balap nasi seribuan diwaktu itu, sama dengan di jogja yang terkenal dengan nasi kucing-nya. Nasi buat anak-anak kosh.
Zigot dan Man udah balik ke-Asrama, mereka makan dan minumnya dijamin pemerintah dan semua harus bergizi. Terkadang kalau ada yang lebih, mereka bawakan ke-kosh. Jarak  kosh dan asrama atlit tidak jauh, hanya dua puluh meteran.
Nasi balap disimpan sembari menunggu makan siang, Randa berbegas mandi untuk sekolah. Harap maklum namanya juga sekolah swasta, jadi sekolahnya siang untuk kelas awalnya. Tapi sepertinya semua sama.

***

BUUUMMMM, TAR TAR, TAR TAR
Belum selesai meneguk air. Randa mendengar suara ledakan dan bedil, agak jauh dari kosh. Semua orang keluar, berlarian mencari tanah lebih lapang untuk bisa mancari tahu dan memastikan apa yang terjadi.
Randa bergegas lari keluar menuju asrama atlit yang lebih lapang. Karena asrama langsung berdampingan dengan lapangan sepakbola, sebagai sarana utuk para atlit.
Dengan seragam yang belum dikancing, tas jahitan sendiri terbuat dari karung Goni. Tahukan karung goni? Dan sedikit lukisan jantung, ditengahnya bertuliskan Dag.. Dig.. Dug.. plesetan buatan sendiri, jika di jogja terkenal dengan DAGADU bergambar mata.
Tapi Randa orang yang selalu ingin tampil beda, dengan kreasinya sendiri dia buat sangat menarik, sehingga menjadi perhatian orang-orang.
“Yogi, ada suara apa tadi?” tanya Randa pada salah satu atlit tolak peluru yang juga utusan dari Bima..
“Entahlah, tapi anak-anak asrama pada ngilang” kata Yogi.
“Pada ngilang?” Randa bingung.
“Sepertinya mereka menuju sumber suara! Soalnya disana sedang terjadi kerusuhan dan penjarahan.” Yogi sambil melihat langit cerah, yang sedikit terusik oleh asap hitam nan tebal dan se-sekali terdengar suara tembakan.
“Suherman dan Zigot kemana?” tanya Randa cemas.
“Sepertinya mereka juga pergi bersama yang lain” jawab Yogi.
“Kemana?”
Yogi mengangkat kedua tangan dan bahunya.
Dari jauh terlihat Man sedang berlari masuk dari pintu gerbang lapangan Atletic Mataram. Dengan pelastik merah berisi penuh, ditangan kiri dan kanan, satu lagi menggantung dileher.
Disusul Zigot di belakang, dengan hal yang sama dan dada naik turun, nafas tak beraturan, bak habis lari dikejar anjing dan dengan beban ditubuhnya.
“Rand! hah.. huh.. hah.. huh.. (suara nafas) mana kunci kosh?” tanya Man sambil tangan menukik dilutut.
Randa melempar kunci koshnya, kearah Man dan ditangkap dengan tepat, kemudian berlari menuju kosh. Menyimpan barang-baranag jarahannya.
Terjadi penjarahan dimana-mana, mis komunikasi antar umat beragama, kesalah pahaman tak teratasi dan sejuta maling berpesta.
“Ayo Randa, mumpung gratis buat stock kita makan berbulan-bulan.” Ajak zigot sambil berlari menuju ketempat kerusuhan.
Randa penasaran. Secara emergenci semua kegiatan ditutup. Dengan seragam sekolah yang masih melekat dibadan. Randa menyusul.
Suasana sangat genting, pertokoan ditutup paksa oleh pemiliknya. Rakyat berhamburan keluar dari benteng masing-masing, ruko-ruko yang ditutup dobongkar paksa, dikeluarkan isinnya, yang tak berguna dibakar, sirine polisi dimana-mana.
Randa jadi ikut terlibat, karena penasaran. Dia menjarah bersama teman-temannya. Ini adalah sebuah kesalahan. Merampok si miskin penuh gairah, asik menggeladrah, si lapar hanya bisa sumarah. Salah satu ba’it puisi Penjarah karya Sang Mahadewa Cinta
Bolak-balik mereka membawa barang jarahan, hampir sebagian dari atlit berbuat yang sama, semua ditumpuk menggunung di kosh.
“Ayo Rand! Ambil yang ini, masukan semua! Itu! Ituuu.. ada pelastik masukan!” Teriak Man pada Randa agar segera di packing barangnya.
Randa hanya terdiam dan berfikir, karna sudah dua kali dia bolak-balik ke-kosh membawa jarahan. Matanya liar  dan terfokus meja kasir yang terbuat dari kayu jati, dia berlari dan melompat menghampiri meja tersebut.
Seperti singa yang mencengkram mangsanya, semakin lama semakin liar. Sayangnya meja tersebut terkunci rapat, tak hilang akal dia.
Diraihnya sebuah tongkat penyangga pintu ruko yang terbuat dari batangan besi, dan kembali menuju meja kasir. Dihantamkannya besi tersebut, dicongkel, dibanting hingga terbobol lacinya. Dia terdiam, sorot matanya fokus dan membiru menatap isi dari laci meja.
“Ooooeeee Man,(teriak randa) cepat kemari bawa pelastik itu atau lemparkan, cepat kosongkan isinya. Ini jauh lebih penting.”
“Iya tunggu sebentar..” dan plastikpun dilempar kearah Randa.
Dengan segera, dan mata yang liar nan membiru melirik kesana-kemari sembari mengeluarkan isi laci dan dimasukkan kedalam plastik. Lembaran biru, hijau, coklat, dominan berwarna biru lembaran rupiah tersebut hampir memenuhi kantong plastik.
Lagi asik menjarah, terdengar suara orang berteriak.
BRIMOB!! BRIMOB!! BRIMOB!!
Suara itu terdengar dari luar pertokoan, tak ada yang menghiraukan. TAR. TAR. TAR suara tembakan sahut menyahut. Suasana kacau balau. Stelah merasa tidak nyaman dan dengan sedikit kesadaran! Mereka berlari keluar.
“Ayo cepat, Brimob datang..” terdengar suara yang entah dari siapa.
Randa berbegas lari walau laci belum terkuras habis.Melompat bagai binatang yang di usir oleh penunggu ladang.
Belum semua kaki kaluar dari dari pertokoan. Pantat bedil menghantam pipi dan telinga Randa begitu pula dengan yang lain.
 Randa terpelanting bersama plastik merah yang dipegangnya erat, berguling-guling dilantai. Plastiknya bocor isinya berserakan, dia bergegas bangun untuk lari.
Sepatu Brimob hitam mendarat dipipi sebelahnya.
Habislah sudah dia, terkapar ditanah, dipaksa bangun oleh para-Brimob.
“Bangun, jongkok semua (Tar. Tar. Tar suara bedil) bangsat” suara yang tak patut didengar keluar dari aparat. Mengamankan keadaan.
Teriakan diamana-mana. Randa masih setengah sadar menundukan kepala. Ditendang, dihantam, dimaki bagai binatang.
“Angkut mereka, segeraaaaa..” instruksi komandan dengan suara lebih dari delapan oktaf .
Satu persatu kaki dan tangan diikat kemudian dilempar keatas truk rangger, yang tingginya satu setengah meter.
Sebelum mendarat dilantai truk, sudah dihantam dengan sepatu sampai terpental membentur kedinding truk. Banyak orang-orang yang tidak sadarkan diri termasuk Randa dan teman-temannya.







Case 2. KAMAR BESI

Angin sepoi-sepoi, langit sangat cerah, bersandar dibawah pohon besar nan rindang, aduhai nikmatnya. Sembari menatap danau yang berkaca-kaca oleh sinar mentari, seperti intan berlian. Pepohonan hijau nan rimbun mengelilingi danau, menyejukkan mata. Perbukitan kokoh berdiri, bagai benteng istana. Serasa di surga, tp surga yang mana?
Awan nampak ber-iringan, menyatu dan menabur berlian hingga jatuh kebumi, matahari masih menjadi raja. Diujung awan terbentang selendang bidadari. Turun satu-persatu elok nan gemulai, senyumnya ramah nan memukau, membuat tubuh basah bagai di guyur hujan.
Datang dia menghampiri, hati jadi senang. Bidadari melambaikan tangannya dengan lembut, sembari memanggil.
“Ayo kemari! Kemari! Bangunlah!” suaranya lembut menggoda.
“Bangunlah! Ayo, bangunlah!” suaranya semakin menggairahkan.
“Bangun! Bangun! Ayo BANGUUUUN BANGSAT!!” suara itu terdengar aneh, tapi  tubuh tetap basah..
“Siram mereka semua sampai bangun,cepat!” terdengar suara mengusik telinga.
Randa berada dialam bawah sadar, setelah terhempas dari dinding truk,  dia bermimpi cantik.
“sialan ternyata hanya mimpi” kata Randa dalam hati setelah sadar.
Randa melihat sekitarnya yang nampak tidak jelas, kedua telapak tangannya dipakai untuk menutup matanya, sambil mengintip diselah jari, agar bisa melihat. Karena water cannon tak hentinya membombardir mereka diatas truk.
Water cannon berhenti. Satu persatu mereka turun dan berbaris rapi, seperti anggota baru pulang pendidikan. Tak sampai disitu, mereka disuruh jongkok, kaki kakan didepan dan kaki kiri dibelakang lalu sebaliknya, begitu terus sampai hitungan keseratus.
“Sembilan puluh sembilan, seratus! Selesai! Siap dan berbaris rapi”
Komandan kompi memperkenalkan wilayah kekuasannya, memperjelas situasi kenapa dan kenapa mereka dibawa kemarkas. Jadi keingat waktu disekolah, satu salah semua siap salah.
Komandan hanya berbicara poin poin saja, menginstruksikan berbalik arah dan menghadap matahari, kemana matahari pergi kesitulah arah dan tujuan mereka.
Satu jam pertama sudah biasa bagi Randa cs. Biasayalah, maklum terbiasa di jemur waktu upacara senin pagi, rutin setiap senin. Kuat dong!
Dua jam kemudian, tak masalah bagi mereka. Terbiasa olah raga, ya itung itung ngeluarin keringat.
Tiga jam kemudian, mereka masih kokoh berdiri. Ini hanya pembakaran lemak biasa, gampang menurut mereka.
Jam ke-empat, kayaknya jadi sebuah ujian bagi mereka. Seperti orang puasa gitu, kan ada suara kriuk-kriuk diperut, dan sudah ada yang main angkat-angkat kaki. Bayangin aja gimana rasanya.
Jam kelima mereka selamat, maklumlah matahari hampir pergi dan ngintip di balik awan. Mereka berfikir, sebentar lagi istirahat. Santai anggapannya, karena menunggu waktu istirahat, menunggu, menunggu dan menunggu.
“Sebentar lagi! Sabar prend!” kata Randa pada temen-temennya bersuara lemah.
Sebentar! Sebentar! dan Sebentar!
Adzan telah berkumandang, hari sudah gelap. Langit sudah tak biru lagi, panas sudah pasti hilang, yang tertinggal hanya gundah dihati. Satu persatu tumbang, waktu diperkirakan pukul delapan malam.
Salah satu brimob datang “Bangun masuk kamar, cepat! Tanggalkan pakaian kalian” perintahnya.
Langkah tertatih-tatih, beberapa orang tangannya menggantung di bahu kawan, karena lemah. Berjalan masuk kekamar sepuluh kali sepuluh. Sangat luas untuk ukuran kamar, apalagi kalau ada tempat tidur, bantal dan guling. Mantap rek-rek.
Tetapi tidak sesuai harapan, yang ada hanya lembaran koran. Tiga puluh orang dalam satu kamar, bayangkan diruangan sepuluh kali sepuluh dengan jumlah penghuni tiga puluh orang.
Mantap gerah body. Tak ada nafsu karna lemah, tak makan dan tak sanggup berdiri. Tertidur pulaslah mereka, hilang lapar dan dahaga, berganti dengan mimpi, berharap mimpi yang baik. Kasihan!

***

Di saat itu, kota  masih kacau, pengamanan super ketat, bahkan untuk kewarung saja ragu. Batu-batu berserakan sepanjang jalan. Entah apa yang  diinginkan, tercapai keinginanpun  tidak. Hal seperti itu tidak ada guna, yang ada hanya penyesalan.
Penyesalan memang datangnya terlambat, kalau penyesalan itu datangnya terlebih dahulu, berbarti bukan penyesalan namanya tapi pemikiran.
Dikampung saya, ds. bongkol satu rumah rata dengan tanah, kerusuhan itu berunsur sara. Tapi bukan Yuni Sarah! Entah pemahaman apa dan yang bagaimana mereka pakai?
Berhubung keberagaman seseorang dibangun di atas dasar keyakinan, maka logikanya tidak boleh ada paksaan dalam agama, tidak boleh ada paksaan untuk meyakini atau tidak meyakini suatu agama. Hal ini merupakan salah satu prinsip dalam agama Islam. Al-Qur’an meyatakan: “Apakah kamu hendak memaksa manusia agar mereka menjadi mukmin” (Qs.Yunus : 99)
Hal lain yang mutlak harus dijadikan prinsip umat beragama adalah prinsip toleransi (al-tasamuh). Ini berangkat dari kesadaran bahwa segala perbedaan, termasuk perbedaan dalam beragama, merupakan fitrah kemanusiaan. Mengingkari perbedaan berarti mengingkari fitrah.
Sejalan dengan fitrah itu, al-Qur’an menyatakan: “Barang siapa mau beriman silahkan beriman, dan barang siapa mau kafir silahkan kafir” (Qs. al-Kahfi : 29). Dengan prinsip toleransi, maka tidak diperlukan upaya menyatukan agama dan tidak perlu ada usaha menciptakan keyakinan bahwa semua agama benar. Sebaliknya, dengan adanya keyakinan semua agama benar tidak diperlukan toleransi dalam agama.
Bagaimana menurut kalian?
Salah satu realitas yang banyak terjadi di atas bumi ini ialah, bahwa pemeluk suatu agama bangga dengan agamanya dan berkeyakinan bahwa agama yang ia anut saja yang benar kemudian berupaya untuk membentengi agamanya itu, misalnya dengan memperkokoh tali ukhuwwah diniyyah di antara sesama pemeluk agama tersebut.
Ini sah-sah saja bahkan logis dan rasional. Yang tidak logis dan tidak rasional bahkan berbahaya adalah bila orang yang meyakini suatu agama membenci dan memusuhi agama lain, apalagi sampai menghalalkan darah dan harta penganut agama lain. Meski ini tidak masuk akal dan berbahaya, tapi banyak orang yang melakukannya.
Termasuk dari kalangan umat Islam, bahkan sebagian menganggap bahwa dengan aksi seperti itu, mereka telah ber-taqarrub ila Allâh (mendekatkan diri kepada Allah).
Boleh jadi maksud mereka baik, tapi yang terjadi sebaliknya. Mungkin maksud mereka ingin memoles wajah agamanya agar tambah anggun, tapi malah mencorengnya. Maklum, pada umumnya mereka hanya punya modal semangat, sementara pengetahuan yang cukup tentang agamanya tidak mereka miliki secara memadai.
Adalah runyam bila agama mengajari pemeluknya membenci atau menyerang pemeluk agama lain yang tidak bersalah. Apa jadinya bila pemeluk agama lain itu keluarganya sendiri; bapaknya, pamannya, kakeknya, atau yang lain.
Islam sendiri tidak melarang pemeluknya sengaja memiliki paman, kakek, atau nenek yang beragama lain. Perlu disimak ajaran al-Qur’an tentang hal ini: “Dan jika keduanya (bapak dan ibumu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak punya pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti (kemauan) mereka, dan temanilah mereka di dunia ini dengan baik“. (Qs. Luqman : 15).
Kembali kecerita. Adzan subuh berkumandang, malam teramat singkat.
“Tenk! Tenk! Tenk! Teng!”
Suara terali yang diadu dengan tongkat, yang biasa dipakai untuk pasukan anti huru-hara. Dikamar besi, mereka terbangun tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka sadar diri dengan apa yang telah dilakukan.
“Ayo bangun, waktunya sarapan pagi dan sholat bagi yang beragama islam” tutur seorang petugas.
Tumben nih petugas baik, ternyata bener orang-orang tua kita bilang. Berfikir positif itu sangat perlu. Sejahat jahatnya orang pasti ada sisi baiknya.
Mereka bergegas keluar, satu persatu. Sholat berjamaah di mushola, setelah itu kembali ke-kamar besi.
Bingkisan nasi-pun datang, satu plastik yang berisi hanya lima bungkus nasi. Jauh dari hayalan dan perbandingan tiga puluh banding lima. Bayangin adja segitu banyak orang menggerogoti lima bungkus nasi ditambah satu setengah liter air mineral, untug saja tidak ada yang tersedak.
Sesuap demi sesuap, nasi mereka bagi rata, secuil demi secuil daging disisipkan.
“Pahit teramat pahit, kamar besi ini benar-benar kejam. Haruskah seperti ini?” ratap Zigot.
“Apa mau dikata lengaaaa!! Sabar adja, andai waktu bisa diputar ulang. Pasti kita nggak akan seperti ini” nasehat salah seorang teman satu kamar yang berasal dari Lombok Timur, dia pernah keBima untuk berdagang, jadi dia sedikit bisa bahasa bima. LENGA yang berarti (teman atau kawan).
Waktu menunjukan jam delapan pagi, tahanan kembali kelapangan untuk menjalani hukuman. Hukuman yang dijalani hanya upacara bendera, tahanan dibagi. Ada pemimpim upacara, pemimpin pasukan, pembawa bendera dan satu pembina upacara, yaitu yang tertua diantara mereka.
Saya lupa! Selaku pembaca undang-undang dan regu penyayi dibaca bersama dengan kompak dan harus kompak.
Berbaris rapi bagai tentara, disiplin. Masing-masing pemimpin pasukan menyiapkan pasukannya.  Satu pemimpin pasukan memiliki lima orang pasukan. Soal biasa bagi mereka untuk siap-menyiapkan pasukan. Pasukan jelas sudah siap.
Pemimpin upacara mengambil tempat yang telah ditentukan, pemimpin pasukan bergegas menuju tempat yang telah ditentukan dengan berjalan tegas dan tegap. Mantap cui!
“Komando saya ambil alih, SIAAAAAAAP GRAAAK.” Pemimpin pasukan bersuara serak-serak becek.
“Masing-masing pasukan kembali kesamping kiri pasukan belum selesai dia lanjutkan. Aparat mengintruksikan turun PUSH-UP  dua puluh kali setiap kali kesalahan. Semua harus push-up tanpa terkecuali.
Seharusnya kesamping kanan, bukan kiri. Satu salah semua kena getahnya.
Tiga empat kali masih kata yang sama dikeluarkan, kesalahan masih ada, hukuman berjalan. Push-up lagi. Sampai betul-betul-betul.
“Aduh parah ni, baru awal upacara adja udah salah. Gimana akhirnya?” tutur Man
“Sepertinya dia dulu waktu sekolah enggak pernah upacara!” kata Zigot
“Iya, waktu sekolah dia sering lompat pagar disaaat jam upacara. Persis kalian!” ledek Randa dengan nada berbisik.
“Kampret! Kayak kamu yang enggak pernah lompat pagar adja” sahut Zigot.
Randa disini sebagai pemimpin pasukan, ia memimpin  teman –temannya sendiri, tapi ada satu orang lombok yang nyelip.
“ISTIRAHAT DITEMPAAAAAAAT GRAAAK..” pemimpin upacara masih mengambil alih pasukan.
“Lapor upacara bendera SIAAAAP. Lanjutkan.”
Pembina upacara tiba ditempat upacara, pembina melangkah tertatih-tatih, sambil ngelus perut. Karena  sarapannya kurang, jadi lemesdeh... Maklumlah, biasa makan banyak.
“SIIIIAAAAAAAP GRAAAAAK.”
Bakal lancar nih, tak seperti yang diperkirakan Man Suherman. Situkang protes dan banyak komentar, padahal sering salah duga. Kayak waktu itu, Domba dibilang Kambing padahal sudah tahu Kambing bukan Domba.
Enggak salah juga H. Rhoma Irama mengatakan dalam lagunya. Adu Domba-adu domba. Domba di adu-adu. Kira-kira seperti itu liricknya.
Penghormatan upacara kepada pembina upacara.
“Untuk, pembina up....” belum selesai malah disuruh turun lagi, dua puluh kali.
PUSH-UP lagi cui. Sampai bisa, kalau belum bisa ya push-up dong. Prediksi Man Suherman kali ini jitu, ajipppp deh. Seandainya yang dia prediksi itu angka togel. Bakalan tajir dia.
Laporan pemimpin upacara kepada pembina upacara, lolos ketahap selanjutnya. Pengibaran sangsaka merah putih diiring lagu kebangsaan INDONESIA RAYA.
Pengibaran bendera dilakukan, kesalahanpun terjadi dan hukuman dilaksanakan. Berkali-kali, kesalahan terjadi pada pengibar bendera, yang dimana warna merah berada di bawah dan putih diatas.
Bendera sudah pada posisi yang benar, berarti bendera siap dikibarkan.
“Indonesia tumpah darahku”
Aparat mengangkat pentungannya, berarti tanda push-up cui, lagu kebangsaaan kok dibolak-balik.
“Hiduplah negeriku, hiduplah tanahku” turun lagi cui, terbalik.
Yang bener tuh seperti dibawah ini,
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Untuk pengibaran bendera saja menghabiskan waktu hampir berjam-jam, wajib bener-bener-bener kayak upin- ipin adja.
Memang untuk sebuah lagu kebangsaan, kita selaku rakyat bangsa Indonesia, lagu tersebut harus mendarah daging. Sebagai bukti kecintaan kita terhadap Bangsa dan Negara.
Gimana mau cinta Produk Indonesia lagu kebangsaaan adja enggak hafal.
Ayo!! Bangkit Indonesia, indonesia harus berubah.
Saatnya pembina upacara berpidato dan pasukan harus menjawab kata-kata pembina. Diharuskan mengucapkan kata dengan serentak. Teks pidatonya bebas, tapi harus seperti puisi.
“Ehem, ehem..” suara pembina, dicoba suaranya, serak sembari jemari mengelus tenggorokan.
Berdiri tegak dengan tangan kanannya terbuka diluruskan kedepan, sedikit menyamping kekanan. Tangan kiri dikepal menekuk dan bersandar didada. Seperti penobatan para raja pada prajurit sebelum berperang.
“Untukmu, sayang!” kata pembina mengawali.
“Iya, sayaaaaaang!” jawab pasukan dengan serempak.
“BADANMUUU...” lanjut pembina.
 “Iya..” jawab pasukan.
“Merahnya buah ceri tak semerah bibirmu”
 “Lebay...” jawaban pasukan serempak.
“Putihnya salju tak seputih kulitmu”
“Lebay...”
“Halusnya sutra tak sehalus rambutmu”
Pasukan hanya bisa menjawab dengan kata “Lebay” biar kompak dan takut push-up lagi.
“Tapi!!”  lanjut pembina.
“Lebay!”
“Bau bunga bangkai tak sebau badanmu!”
Semua ngakak-ngikik-dan ngukuk.
Suasana kembali hiruk, pembina sangat pintar untuk mencairkan suasana yang tegang. Untuk masalah yang ini tidak ada hukuman push-up, mungkin dianggap sebagai hiburan.
Setelah upacara selesai, diulang kembali sampai bisa. Sepertinya hukuman ini sangat baik buat mereka, biar mereka mengerti BHINEKA TUNGGAL IKA dan menanamkan solidaritas antar sesama, bukan solidaritas antar seagama saja.
Hari-kehari berlalu, sebagai hukuman masih dengan melaksanakan upacara bendera dan bersih-bersih.

***

Hari ketujuh, hukuman dikurangi namun masih dalam kamar besi. Satu persatu dipanggil menghadap keruangan komandan untuk mendapat pembinaan secara pribadi. Dalam pikiran kita, seorang Aparatr itu sangar dan beringas. Tapi kenyataannya tidak seperti yang kita bayangkan, malah mereka mendidik dengan baik.
Zigot dipanggil menghadap, rautnya gundah dan gelisah, menatap kosong kedalam dari luar pintu kamar besi. Randa memberi semangat dan berbisik “Kamu bisa! Katakan dengan jujur apa yang terjadi” sambil mengepalkan tangannya.
Tiga puluh menit kemudian, dia kembali dari ruangan yang mereka juluki, ruang isolasi. Meremas-remas kedua jemari kaki dengan dinding sebagai sandaran, kedua lutut menyanggah keningnya. Zigot tanpa suara.
“Selanjutnya kamu!” tunjuk penjaga kearah Man Suherman. Dia terkejut kemudian melihat kesekitarnya, berharap yang dipanggil adalah orang lain.
“Iya, kamu. Cepat keluar..” lanjut penjaga yang berwajah sangar.
Mau tidak mau, suka tidak suka, Man Suherman berdiri dan melangkah keluar. Matanya melirik kearah Randa yang duduk bersandar disamping pintu besi, Randa membalas dengan sorot mata yang terlihat cemas.
Setelah itu terdengar suara pintu besi yang ditutup dengan keras  dan seisi kamar terkejut.
Melangkah perlahan disamping pintu ruang isolasi, pintu dibuka dan ditutup kembali stelah dia masuk didalam. Ruangan jadi gelap, lampu-pun menyala, sinarnya hanya menerangi sebuah meja dan dua kursi besi, yang salah satu kursinya berada agak jauh dari meja, sinar lampu tak mampu menerangi kursi dengan sempurna.
Keadaanya seperti Upin-Ipin yang lagi jadi detektif dan mengintrogasi Ma il. Dua singgi, dua singgi, dua singgi, dan Man adalah Ma’il-nya.
Dia hanya berdiri dengan hati bimbang, matanya tertuju pada meja dan kursi saja. Hening dan terasa horror.
“Duduk..” terdengar suara dari salah satu sudut ruangan yang terlihat gelap.
Beberapa sa’at setelah suara itu terdengar. Tiba-tiba, Man menjerit!
“Ampun bapak! Ampun bapak! Ampuni saya!” sambil sujud dilantai, seperti orang yang lagi sholat. Suaranya pilu, terdengar serak-serak becek, airmata membasahi lantai.
“Ampun bapak! Ampuni saya! Saya hanya ikut-ikutan. Tolong maafkan saya!” lanjutnya Man dengan kondisi masih sujud dilantai.
“Duduk dikursi!” kata suara tadi memerintah.
Dia berdiri dan menarik kursi yang dekat dengan meja, melangkah untuk duduk, tapi dia kembali sujud kelantai.“Mohon ampuni saya, Pak! Saya minta maaf , Pak!”  
Suara itu kembali dan terdengar tertawa. “Jangan minta maaf kesaya, saya bukan tuhan dan bukan orang yang kamu dzolimi.” Suasana semakin membuat pikiran Man cenat-cenut. “Duduk dikursi, jangan kamu bersujud dilantai..” lanjut suara tadi agak keras dan ber-iringan dengan suara meja yang dipukul.
Bergegas dia bangkit dan dengan segera duduk rapi, tapi kepala menunduk. Pelan-pelan memberanikan diri mengankat kepalanya. Tiba-tiba kursi bergeser kebelakang, saking terkejutnya Man melihat samar seseorang duduk dikursi yang berada diseberang tempat dia duduk. Dia kira hantu!
Keringatpun bercucuran. Samar-samar karna cahaya tidak cukup menjangkau kursi itu, hanya separuh badan terlihat.
Pertanyaan dilontarkan satu persatu, dari menanyakan nama, alamat, asal-usul, sekolah atau bekerja dan lai-lain. Semua dijawab dengan jujur hingga kepertanyaan yang menurut dia sangat pribadi dia ceritakan. Tempat itu jadi ajang cuhatnya Man suherman. Sekalipun itu masalah makanan yang belum dia cicipi dan sangat diidamkan.
Sekembalinya dari ruang isolasi, matanya masih berlinang. Membuat teman sekamar bertanya-tanya, namun ragu. Karna dia pergi sedikit agak lama. Seiring bergulirnya waktu, satu persatu pergi dan kembali.
Randa mendapat giliran kedua dari terakhir, pertanyaanpun dilontarkan, hampir sama seperti yang lain dimulai dari nama.
“Nama kamu siapa?” tanya Aparat yang tak jelas wajahnya.
“Nama saya, La Tongge Randa!”
“Yang lengkap!” nadanya meninggi.
“Lahir diMataram, enam belas tahun yang lalu. Dibesarkan diBima.”
“Nama orang tua, asal muasal, sekolah dan lain lain”
Bibir Randa gemetar.
“Ayo, kenapa diam?” sambil memukul meja. Sehingga membuat Randa terkejut.
“Nama ayah, Tarap Siswanto, asal dari jawa timur. Nama ibu, Jaenab, asal Bima keturunan Arab. Dan sekarang mereka berdomisili dibima. Saya bersekolah diSMK swasta, sekolah islam.” Kemudian Randa diam.
“Kamu tau? Kenapa kamu dibawa kesini?”
“Iya, Pak!”
“Terus kenapa kamu lakuin itu?”
“Saya khilaf, Pak! Saya nggak tau bakal seperti ini. Saya cuman ikut-ikutan, Pak!”
“Ikut-ikutan! Alasan, aja. Kamu dipenjara selama tiga minggu dan bahkan bisa lebih. Mau kamu netap disini?” gertak aparat.
Randa geleng-geleng.
“Jangan kamu ulangi! Kamu sekolah yang bener! Jangan sampai kamu saya lihat masuk lagi dikamar besi ini! Denger?”
Randa angguk-angguk kepala.
“Kalian itu generasi penerus bangsa! Masak ikut-ikutan, harus punya prinsip dan prinsip yang positif. Jangan mau masuk ke-Kamar Besi kayak begini! Aib, ini aib namanya! Ya sudah, kamu kembali”
Dua hari kemudian, perwakilan dari Departemen Pendidikan Propinsi, datang menebus, tapi dengan syarat yang ditawarkan adalah akan di DO dari sekolah masing-masing, dicabut semua beasiswa yang pernah diterima dan dapat bersekolah kembali disekolah yang sama pada ajaran baru nanti, yang berarti mereka tidak naik kelas satu tahun, mendaftar sebagai siswa baru, atau hijrah kesekolah yang dapat menerima mereka dengan bantuan surat pengantar pindah sekolah.
Berfikir dan berfikir. Akhirnya mereka menyimpulkan, untuk balik kandang atau pulang kampung.








Case 3. CARI MODAL

“Ayo bu, dilihat dulu.. mari pak, dek..” kata seorang pedagang menawarkan barang dagangannya.
“Cari apa dek, buku, balpoin, pencil atau apa” begitu juga dengan pedagang yang lain. Suasana pasar cukup ramai, Randa berdiri sembari bersandar disalah satu tiang bangunan. Berfikir cara untuk mendapatkan tambahan sesuap nasi.
Satu minggu sudah berlalu Randa keluar dari kamar besi, berbekal surat keterangan pindah sekolah didalam tasnya. Randa merasa malu dengan apa yang sudah terjadi, tak satupun dari keluarganya yang mengetahui masalah itu, dia berfikir keras dengan apa yang harus dilakukan kedepan.
Zigot dan Man suherman telah dikirim kembali kekampung halamannya, melalui utusan wakil daerah masing-masing, entah bagaimana kabar selanjutnya tentang mereka, Randa tak mengerti.
Oh ya pasar dalam cerita ini adalah pasar raya CAKRANEGARA dikota Mataram-Lombok, biasa disebut dengan pasar cakre.
Keadaan kota sudah mulai stabil, aktifitas kembali seperti biasa. dia masih berdiri ditempat tadi, merogok kantong yang isinya tinggal lima ribu lima ratus rupiah. Cukup untuk makan hari itu saja. Lorong pertokoan semakin ramai, dia mendapatkan sebuah ide, kemudian dia melihat-lihat tempat kosong yang mungkin bisa jadi tempat luapan pikirannya.
“Sudah dapat!!” katanya dengan nada sedikit agak keras.
“Dapat apa dek?” tanya salah-satu pedagang..
“Emmm, enggak Mas!!” sambil tersenyum lalu pergi meninggalkan lorong itu.
Dia naikt angkot lalu lekas pergi menuju terminal. Diperjalanan planing dirancang sebaik mungkin. Setiba diterminal angkot, dia lekas berlari menuju toilet dan segera berganti kostum, kemudian pergi menghampiri supir-supir angkot yang sedang asik diwarung tempat biasa mereka istirahat dan minum kopi.
Salah satu dihampirinya, berbincang santai, basa-basi seperti biasa orang yang baru kenalan, kemudian dia pergi sebentar, menghampiri pemilik warung sembari merogok kantong dan membeli beberapa batang rokok, lalu kembali ketempat supir angkot tadi untuk melanjutkan obrolan.
“Mas! Sambil rokok!!” Randa menawarkan rokok batangan. “Pinjam apinya , Mas!” lanjutnya sambil membakar rokok dan menawarkan kembali rokok tadi pada sopir angkot.
“Iya dek..” jawabnya dan mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya.
Akhirnya sopir tersebut termakan umpan Randa. Randa adalah anak yang cerdas mudah bergaul, kreatif dan terkadang ceroboh, tapi dia tahu apa yang harus dilakukan dalam keadaan terdesak, apalagi kalau terdesak ekonominya.
“Mas! Dari tadi saya perhatikan kok enggak narik?” tanyanya.
“Iya nih! Baru sekali putaran, capek dan ngopi dulu!” jawab sopir.
“Capek kenapa?”
“Tadi saya narik sendiri, jadi saya istirahat dulu sambil nungguin yang mau jadi kernet saya.” Lanjutnya.
Pucuk dicinta wulanpun tiba” kata randa dalam hati.
Sepertinya ini yang dia tunggu dari tadi. Oh ya, terminal angkot ini bernama terminal BERTAIS sering disebut-sebut orang tapi nama aslinya adalah terminal MANDALIKA tempat berkumpulnya bus-bus antar kota antar propinsi dan angkutan umum lokal. Bahkan disampingnya terdapat pasar tradisional.
“Daripada nungguin orang, lebih baik saya bantuin. Biar bisa sambil jalan-jalan. Gimana?” tutur Randa.
“Beneran mau? kalau ok ayo kita cabut” kata pak sopir. Oh ya, pak sopir tadi bernama Ewin, orang susku sasak asli. Nama suku dipulau lombok.
Akhirnya rencana Randa terwujud buat nambahin uang saku dan buat memenuhi kebutuhanya. Tak lama mereka berbincang dan menghabiskan segelas kopi, lalu mereka bergegas berangkat mencari muatan.
“Ampenan, ampenan, ampenan...” teriak Randa dipintu belakang, sambil menunjuk kearah calon penumpang. Satu-persatu penumpang naik, tak tua, tak muda, bahkan anak-anak dikebas, lalu “BERANGKAT” lanjut Randa sambil menepukkan tangannya diatas atap mobil, tandanya sudah penuh.
Didalam mobil, dia menjonggok disamping pintu belakang karna penuh, ia enggak bisa duduk dibangku. Sesak dan gerah yang dirasa. Tak lama angkot jalan kurang lebi beberapa kilometer.
“Kiri mas, stoooop!” kata salah satu penumpang sambil menyodorkan uang sewa.
“Terimakasih, Mbak!” tutur Randa setelah penumpang itu turun.
Begitu seterusnya. Penumpang naik turun dan tak henti-hentinya ia berteriak “ampenan, ampenan, ampenan...” setelah tiba di pasar ampenan yaitu tempat tujuan. Penumpang turun semua, lalu Randa menghitung uang sewa penumpang tadi dan menyetorkan ke-Mas Ewin.
Lalu berangkat kembali kebertais, “Bertais! Bertais!” teriak Randa. Menuju kearah terminal mandalika. Penumpang cukup banyak. Rejeki hari itu lumayan.
Lalu mereka kembali mengarah kepasar ampenan. “Ampenan! Ampenan!” teriak Randa.
Seorang penumpang berpakain mirip preman, turun tidak membayar hanya memberikan ucapan terima kasih! Randa-pun menagih upah, tapi kerah bajunya digenggam dan diangkat keatas.
“Kamu mintak lagi saya kebas, yah!” kata preman itu dan melepaskan Randa.
“Udah, Rand! Anggap aja sedekah. Siapa tahu kita dapet banyak rejeki hari ini” kata Mas Ewin.
Setiba dipasar ampenan. Randa menyetorkan hasil sewa penumpang. Dan diterima baik oleh Mas Ewin, sambil mengelus bahu Randa.
“Gimana mas, kita langsung kemandalike atau nunggu penumpang dulu?” tanya Randa.
“Kita tunggu dulu penumpang, kamu cari dulu dua orang penumpang didalam pasar biar kita balik kemandalike” kata mas erwin.
“Ok!” dengan semangatnya Randa masuk menelusuri pasar Ampenan, mencari-cari calon penumpang, setiap orang yang keluar dari pasar ditanyai dan diajak naik angkot.
Bersaing dengan kernet-kernet angkot yang lain.
Rejeki takkan kemana. Tak lama kemudian datanglah seorang ibu beserta anak gadisnya, perawakannya seperti keturunan Bali atau orang Hindu, lalu ibu itu bertanya.
“Nak! kernet angkot ya?” tanyanya pada Randa.
“Iya Bu! Ada yang bisa saya bantu?” tanya balik Randa.
“Tolong bawakan ke-angkot belanjaan saya yang didalam sana! biar saya carter” kata ibu tadi sembari jari telunjuknya mengarah kesebuah toko.
“Barang yang didepan toko Kasih itu bu?” tanya Randa untuk memastikan.
“Bukan nak, tapi disebelahnya! Biar anak saya yang mengantar ya!”
“Baik, Bu!”
Dia pun pergi mengambil barang titipan ibu tadi dengan diantarkan oleh anak pemilik barang. Setiba disana Randa senyam-senyum melihat papan nama toko. Setelah dia melihat papan toko didepannya, kemudian dia menoleh kepapan toko disampingnya. Dia kembali tersenyum sendiri sembari menggelengkan kepala.
Anak ibu tadi bingung melihat tingkah Randa yang sedikit aneh, anak ibu tadi merasa sedikit takut. Mungkin dia berfikir kalau Randa sedikit sakit.
“Mas! Mas! Kenapa?“ tanya gadis itu, sambil menepuk pundak Randa.
“Enggak apa-apa, Mbak!” Jawabnya.
“Tapi kok, senyam-senyum sendiri sambil menggelengkan kepala?”
Randa senyum dan berkata “Saya berfikir seandainya kedua toko ini bersatu, mungkin akan sangat bahagia mereka”
“Maksudnya?” Gadis itu bertanya kembali.
“Coba perhatikan, antara nama toko yang ini dengan toko disampingnya. Pasti mereka bakal bahagia. Gimana? Ngerti enggak maksudnya?” terang Randa.
Gadis itu memperhatikan nama kedua toko, lalu tersenyum. Kemudian menepuk lagi pundak Randa dan berkata. “Kamu bisa aja, nama kedua toko itu kamu jodoh-in. Ayo, Mas! Angkat barangnya biar kita pergi”
Randa-pun memikul barang, dan mereka bergegas pergi sambil tertawa kecil.
Nama toko tempat ibu tadi berbelanja bernama Toko Sayang sedangkan disamping kirinya, toko yang ditunjuk Randa pada ibu tadi bernama Toko Kasih. Menurut kalian bila kedua nama tersebut digabungkan dengan tepat, apakah mereka tidak bahagia?
Back the story,
Belanjaan dibawa, “Mas! Ayo jalan, kita dicater ke Monjok!” ajak Randa ke sopir dan dijawab “Ok, Boy!”
 Monjok adalah nama sebuah kampung di kota Mataram.
“Oh ya, Bu! bay the way Ibu asli mana ya, Bu?” basa-basi kenet pada penumpang.
“Saya asli mataram” jawab ibu dengan sedikit cuek.
“Maksud saya, keturunan Bali atau Sasak?” tanya Randa lagi
“Saya asli mataram tapi keturunan mBali” alisnya mengkerut.
“Ooooo, pantes!” lanjut Randa lebay.
“Maksudnya?” tanya balik ibu.
“Maksud saya, pantes ibu dan anaknya cantik” sambil senyum tipis.
“Kamu ada-ada adja!” kata ibu Ge-eR.
Sepertinya Randa ada maksud tujuan lain, ada yang di incer nih! Kemudian Mas Erwin menyetel Radio FM. Untuk mencairkan suasana “Baik pendengar, masih bersama saya Papuk Gaul di-Mataram FM, dengan ini saya akan memutarkan sebuah lagu kenangan dari Crisye. Dengan judul kisah kasih disekolah. Lagu ini untuk menemani waktu istirahat siang anda. Maka dipersilahkan untuk didengarkan! Semoga terhibur.” suara operator serak-serak banjir terdengar seperti lansia. Namanya jugak papuk yang berarti kakek.
Randa kehabisan ide, tapi setelah mendengar lagu itu dia kembali beraksi.
“Anaknya  masih sekolah atau sudah kuliah bu?” tanya Randa.
“Masih sekolah..” jawab gadis itu spontan dan malu-malu, sedangkan ibunya melirik aneh pada sang anak.
“Asek! Kena jebak ni, bocah!” kata Randa dalam hati. “Emang mbak sekolah dimana dan kelas berapa?” Tanya Randa.
“Saya masih kelas satu dan sekolah di SMEA, tapi sekarang sudah jadi SMK 3 Mataram”
“Berarti sama dong sama saya, saya juga kelas satu tapi SMK Muhammadiyah Mataram. Hanya saja saya mau pindah keBima.”
“Kenapa pindah?”
“Kasihan sama Ortu, sudah pada tua enggak ada yang bantu  ngurus!” kilah Randa.
“Oh, gitu ya!”
Bay the way, kita belum saling kenal. Bu! Boleh kenalan sama anaknya? Sapa tahu ketemu dijalan, bisa tegur sapa!” Tutur Randa sambil noleh dan minta ijin keibunya.
“Eemmmm, lancang nih bocah..” kata ibu dalam hati “Iya enggak apa-apa” kata ibu dengan berat hati.
“Nama saya Tonggeranda tapi panggil saja Randa” katanya sambil meraih tangan gadis itu.
“Saya I Dewi Ayu, boleh panggil saya Dewi atau Ayu” tangannya sedikit ditarik mungkin karna malu sama mamanya gitu! Tapi Randa enggak secepat itu melepas tangannya yang lembut, selembut sutra.
“Awas jangan lama-lama ntar nyetrum” kata ibu mangkel.
Randa tersenyum “Oh!! Maaf, Bu!  Saya enggak sadar, saya kira belum berjabat tangan, saking halusnya tangan anak ibu.” kata Randa lebay.
Obrolan berlanjut, keakraban mulai terlihat diantara mereka berdua, begitu juga dengan kerutan di kening ibu semakin jelas. Tak tahan dengan sikap Randa lalu ibu bertanya memotong pembicaraan mereka berdua.
“Kamu asli mana, nak?” tanya ibu memperlihatkan kesopanannya, sekalipun dalam hatinya geraaam.
“Kalau ditanya saya asli mana, saya bingung buk!” jawab Randa.
“Kok, bingung?” kata ibu.
“Saya bingung, karna tanah kelahiran saya disini sedangkan ayah saya jawa dan ibu saya keturunan arab diBima. Jadi, saya harus pakai yang mana!” Keterangan Randa membuat ibu bingung.
“Oh.. blezteran yaaa!” kata ibu sedikit senyum sinis.
Angkotpun berhenti didepan gang rumah, tepat seperti yang diminta. Seperti biasa mereka turun, tugas randa kembali dilanjutkan, menurunkan barang dan meminta uang sewa.
“Berapa nak?” tanya Ibu pura-pura lupa.
“Empat puluh ribu bu..” jawab Randa.
“Lohhh! Kok mahal?” tanya balik ibu dengan tangan berhenti merogok isi dompetnya.
“Tiga puluh ribu sewa angkotnya dan sepuluh ribu buat sewa buruhnya bu, sekalian barangnya saya bawakan kedalam rumah. Bila perlu langsung kedapur, atau sekalian saja saya bantu-bantu masaknya” kata randa sambil senyum cari perhatian. “cie cie cie” kata angin berbisik.
“Ahh! Itu, ada maunya kamu adja! Ya sudah, bawa masuk kerumah, tapi awas jangan macem-macem?” Ancam Ibu yang terlihat judes, sambil memberikan uang sewa angkot.
Didalam rumah tepatnya didapur, barang belanjaan ibu diletakkan, dibantu oleh anak ibu yang cantik. Kemudian Randa berpamitan.
“Permisi, Bu! Termikasih!” Kata Randa, tak lupa menyapa anaknya “Mari mbakkkk! Jeleeeek!” ledek Randa..
Dewi menjulurkan lidahnya.
Setelah itu mereka kembali kejalur biasa, bolak-balik pasar ampenan terminal mandalika, hingga tak terasa hari menjelang sore, Mas Ewin bergegas kepangkalan, mencuci mobil dengan dibantu Randa.
Kemuadian Mas Ewin memberi upahnya karena telah menjadi kernet angkot selama seharian.
“Rand! Ini upahmu, lima belas ribu perhari, kalau kamu masih ragu kamu boleh tanya pada supir angkot yang lain, berapa biasa upah sebagai kernet angkot.” Kata mas Ewin
“Baik Mas! Terimakasih. Saya terima upahnya, sekali lagi terimakasih. Untuk masalah ragu, sedikitpun nggak ada rasa itu, malah saya sangat berterima kasih. Beribu-ribu terima kasih.” Kata Randa lebay.
“Iya sama-sama” jawab mas Ewin, sekalian telinganya kelihatan sedikit memerah, entah itu merah karna disanjung atau keserempet nyamuk waktu mencuci mobil.
Waktu telah menunjukan jam lima sore, Randa pulang kerumah, mandi, masak nasi, bikin mie rebus. Maklumlah jauh dari orang tua dan tak lupa ganti baju juga dong. Sambil menunggu nasinya masak, Randa kemudian menghitung uang hasil kerjanya.
Dia sudah nggak kekosh Erwin, karena masalah yang kemaren dia nggak mau ngerepotin temannya, yang namanya hampir mirip Mas Ewin.
“Seribu! Duaribu! Tigaribu! Lima belas ribu ditambah dua puluh ribu dari ibu tadi, jadinya tiga puluh delapan ribu rupiah, termasuk sisa uangku tadi pagi. Allhamdulillah..” tutur randa menghitung uangnya yang terkumpul.
Uang itu sangat berharga bagi randa, untuk menyambung hidup sementara. Setelah nasi masak, dia bergegas untuk makan malam, tak lupa sholat lalu tertidur.










Case 4. JUAL KARTU UNTUK CINTA!

Matahari kembali terbit dari timur. Nyanyian burung mengiringi pagi, celoteh anak ayam bersautan, bersama induk yang asik mengajarkan bertahan hidup. Tapi Randa masih berselimut, hingga harus terus terlelap dan terbuai rayuan mimpinya, ia tak tahu kalau saja gelap telah berlalu.
Tok.. Tok..Tok.. “Mas Randa! Mas Randa!” berkali-kali terdengar ketukan pintu dan suara memanggil..  “Mas Randa! Mas Randa!” suara itu terdengar sedikit memaksa.
Randa terbangun “Iya!” jawabnya lalu melihat kedinding tepat diatas kepala tempat dia tidur, matanya terfokus pada sebuah jam yang telah menunjukan jam enam pagi. “Alllahu akbar” dia terkejut, ternyata dia terlambat bangun. Sholat subuh terlewatkan tapi suara tadi masih saja memanggil. “Mas Randa! Mas Randa!”
“Iya siapa? Tunggu sebentar!” jawab Randa segera membuka pintu..
“Mas Randa! Baru bangun?” tanya bu’de tetangga Randa.
“Iya bu’de, saya telat bangun. Saya kecapean, ada apa bu’de?” tanya baliknya sambil mengusap mata karena silau.
“Kamu kerumah sebentar, ada telfon dari bima, dari Mama-mu”
“Iya, nanti saya nyusul”
Bu’de pun pergi.
Bu’de disini adalah sebuah panggilan untuk orang jawa yang umur-nya lebih tua dari orang tua kita, tepatnya kakak dari kedua orang tua kita. Tetapi beliau bukan sanda taulan Randa, hanya saja sebagai penghormatan untuk beliau dan sering dipanggil demikian oleh orang-orang, jadi Randa membiasakan diri dengan memanggil bu’de juga.
Nah bu’de ini adalah istri dari salah satu guru disekolah Randa yang secara langsung tetangganya adalah gurunya sendiri.
“Aduh! Mama telfon! Harus ngomong apa ya. Moga aja dia belum tahu.” Menggerutu Randa sendiri sembari memakai baju.
Setibanya disana, dia membawa salam dan dipersilahkan masuk untuk duduk disamping telfon. Suaminya menatap cuek seakan tak peduli padanya atas apa yang telah terjadi atau mungkin dia merasa kecewa karna telah malu dengan perbuatan Randa. Karna Randa masuk sekolah tersebut atas rekomendasi dari beliau.
Kring! Kring!- Kring! Kring! Suara telfon jaman itu, maklumlah masi sisa-sisa orde baru. Telfonpun diangkat. “Halloo!” dan membawa salam, tapi yang dia dengar bukan namanya yang disebut dan juga bukan suara perempuan, melainkan sebaliknya.
“Hallo Yugo! Mana ibu? Mas mau ngomong bentar!” kata suara yang terdengar dari dalam telpon.
“Maaf Mas, saya Randa. Sebentar saya panggilkan bu’de.” Jawabnya lalu memanggil bu’de.
Beliaupun mengangkat dan berbicara dengan anaknya. Saking seriusnya pembicaraan antara ibu dan anak hingga membuat jenuh Randa karena menunggu. Ia lalu pamit untuk pulang, dan menitip pesan jika saja ibunya nanti menelfon agar dapat menelfon balik lagi besok.

***

Dirumah dia catat keperluan yang harus dia beli, setelah semua dianggap lengkap lalu dia pergi mandi, setelah mandi dia bergegas kembali dan berangkat. Tak lupa tas selempang dipakai, yaitu tas andalan bertuliskan dag dig dug selalu setia menyertainya.
Setiba dipasar dia mencari toko peralatan sekolah, kertas bufalo putih satu rim, cat air, kuas lukis, sepidol warna hitam dan ballpoin warna emas. Setelah semua kebutuhan terpenuhi, dia pergi membeli nasi balap tiga bungkus, minumnya dia bawa botol air mineral untuk  menadah air dikeran.
Dua bungkus nasi dihabiskan, lalu pergi kelorong pasar tempat dimana kemaren dia mendapatkan idea, masih sama suasananya, para pedagang menawarkan barang daganganya pada setiap orang yang lewat dan termasuk pada randa. Ia berhenti di salah satu pedagang buku.
Dia lihat satu persatu buku, mencari buku yang sesuai dengan kebutuhannya. “Buhuk! Uhuk! Uhuk! Uhuk! Uhuk! Uhuk!” suara batuk Randa. Dia batuk karna rokok yang dihisap kemaren, maklumlah hari pertama dia merokok karna dia bukan perokok.
Tenggorokannya gatal dan sakit, asap rokok memang mengganggu dan tak baik bagi kesehatan, jadi lebih baik jangan merokok. Dia sibuk melihat-lihat buku.
“Sudah ketemu bukunya , dek?” tanya pedagang sedikit geram melihat tinggkah Randa yang bongkar pasang barang dagangannya.
“Sudah, Mas! Yang ini berapa?” jawabnya dan bertanya.
“Empat ribu, dek!”
“Dikurangi ya mas, kurangi seribu, saya bayar tiga ribu aja?”
“Enggak bisa dek”
“Masa enggak bisa, mas. Nabi kita adja bisa jual dengan harga modal, masa kita umatnya enggak bisa” tutur Randa.
“Sayakan bukan nabi dek” jawab pedagang rada mangkel.
“Yaah! Setidaknya nyerempet sifat nabi dikitkan enggak apa-apa mas..” Randa merayu.
“Ya sudahlah, buat kamu aja enggak apa-apa tiga ribu” si-Mas pasrah.
“Ok, terima kasih”
Bukupun dimiliki! Dia tak beranjak pergi dari tempat itu, masih membaca buku yang baru dia beli. Tapi dia sudah minta ijin sama yang punya lapak. Satu persatu dibaca, dihafal, disimpan diluar kepala biar kepala enggak penuh, kalo penuh entar bisa loncat kiri-loncat kanan. Terus dibilang “Orang gila! Orang gila!”
Dengan cara itu dia bisa menenangkan diri, bisa berfikir positif, bisa menjadi anak yang mandiri tapi harus tetap sekolah. Memang rencana selanjutnya dia akan pindah sekolah di kediri dan tidak akan kembali ke-Bima, itupun jika orang tuanya belum tahu apa yang terjadi. Soal biaya hidup akan dia tanggung sendiri, tanpa harus merepotkan kedua orang tuannya.
Oh ya, nongkrong dilapak sambil baca buku bikin pikiran jadi baku, tapi bukan berarti bakal kehabisan bekal. Bekal pikiran harus tetap mantap!
“Mas! Sekarang Mas harus pinter  jual-beli loh! Mas” kata Randa pada mas pemilik lapak.
“Pinter gimana maksudnya?”
“Tau nggak, sekarang ada trik baru dalam masalah jual beli. Contohnya yang paling ngtren sekarang tuh! Beli rumah bisa langsung nikah sama pemiliknya”
“Ohhh! Kalok itu saya enggak terkejut, sudah biasa. Malah saya beli dengan cara seperti itu”
“Emang! Mas pernah beli apa?” tanya Randa heran.
“Saya beli CD ama BH”
“Aduh! Kenak deh!” kata Randa dalam hati sambil senyum dan garuk kepala.
Jam sudah menunjukan waktu pulangnya anak-anak sekolah, tempat itu pasti ramai karna banyak siswa. Ketika pulang pasti mampir atau jalan-jalan untuk melihat buku bahkan membeli, sambilan jejong sama temen atau bahkan sama pacar.
Lapak buku ramai. Ada yang melihat utuk membeli ada yang sekedar melihat aja bahkan sampai ada yang cuma numpang baca doang, salah satunya Randa. Kalau dia pengen baca buku, ya pasti dia kelapak. Baca buku gratis!
Dia tidak sekedar membaca saja, kalau lagi ramai dia membantu pedagang menjual dagangannya dan tidak mengharapkan upah. Membantu secara ihklas biar yang punya lapak bisa ihklas juga melihat dia membaca buku gratis.
Sampai-sampai dilapak itu dia bertemu dengan Dewi, gadis kemaren yang dia kenal diatas angkot, dewi bersama teman sekolahnya datang untuk membeli buku dan mencari kartu ucapan yang unik, yang berbeda dari yang lain.
Dia bertanya pada Randa, Randa menjelaskan, kalau ingin sesuatu yang unik harus kreasi sendiri, sedangkan Dewi tidak bisa sama sekali membuat yang namanya kerajinan, dia hanya bisa bermain theater bersama sanggarnya.
Randa menawarkan diri untuk membantunya membuat kartu ucapan yang sederhana tapi unik, tanpa harus membayar, yang artinya gratis. Tetapi Dewi menginginkan kartu yang dibelakangnya bertuliskan puisi hasil dari buatan sendiri, spesial untuk seseorang.
Randa lalu bertanya detail tentang seseorang yang dimaksud Dewi, agar nanti apa yang dia bikin sesuai dengan karakter orang dituju dan meminta puisi yang akan dituliskan.
Dewi bingung harus menulis puisi seperti apa, kemudian dia menyerahkan tugas itu kembali pada Randa untuk menulis puisi yang terbaik. Lalu permintaan itu disanggupi Randa.
Setelah semua diceritakan Dewi, sehingga kesimpulan akhir bahwa besok harus jadi. Karena sore harinya akan diselipkan didalam kado, kado yang akan diberikan pada acara ulang tahun kekasihnya.
“Setelah ini kalian mau kemana?” tanya Randa.
“Ya, pulang dong!” jawabnya.
“Baguslah, tapi enggak pada mampir-mampirkan?” Randa tanya lagi.
“Ihhh, keppo!” kata temannya Dewi.
“Ya Cuma keppo dikit adja, siapa tau dari kalian ada yang mau mampir!”
“Emang kita mau mampir kemana! Mendingan pulang tidur, enak!” kata Dewi.
“Ya! Sapa tau aja ada yang mau mampir dihati aku!” goda Randa.
“YEEEEEEEEEE!!” Dewi dan teman-temannya menyoraki Randa.
Randa nyengir.
Randa memang kalo lagi kumat usilnya ya kayak gitu, yang penting happy katanya, padahal dia enggak tau mungkin dari perkataan tadi ada yang tersinggung.
“Oh ya, sepertinya ada yang kamu lupa-in, Wik!” kata Randa setelah guyonan tadi selesai.
“Apa tuh?” tanya Dewi yang kebingungan dan sambil nyarik.
“Kamu melupakan teman-temanmu dan saya, Wik!” Randa sambil nyengir.
“Oh, Iya! Saya kenalkan satu persatu. Ini Nilluh! Kemudian Mita! Dan yang ini, Dina!”
Randa mengulurkan tangan lalu memperkenalkan diri.
“Saya Tonggeranda, tapi sukak dipanggil Randa” katanya sambil menjabat tangan mereka satu persatu. “yang satu lagi enggak kamu kenalin, Wik?” lanjut dia.
“Siapa?” tanya Dewi bingung, karena mereka hanya berempat.
“Maksud saya! Hatimu enggak kamu kenalin ke saya?”
Dewi menepuk bahu Randa lalu mencubitnya ringan sembari berkata “GOMBAL”
“Ngomong-ngomong, kalian pergi sekolah atau pulang sekolah?” tanya Randa.
Mereka nyengir, tapi dijawab Dina. “Kita bolos, Rand!”
Randa geleng-geleng.
Setelah itu Dewi beserta teman-temannya pergi, tak lama kemudian Randa menyusul pergi pulang karna ada tugas yang harus diselesaikan dan besok akan bertemu kembali ditempat tadi.
Dirumah dia menyelesaikan tugas, kemudian mempersiapkan bahan yang akan dijajalkan besok dilapak. Oh iya! Saya lupa memperkenalkan siapa nama pemilik lapak tadi namanya Ramli, sering dipanggil Tuak Lii.
Tadi Randa sempat berbincang dengan Tuak Lii dan meminta ijin numpang berdagang dilapaknya, dengan imbalan sepuluh persen dari hasil penjualan harian akan disetorkan ke Tuak Lii, itung-itung sebagai sewa tempat. Katanya!

***

Keesokan hari, Randa berangkat pagi menuju pangkalan lapaknya, pesanan untuk Dewi sudah jadi, tinggal menunggu orangnya biar bisa diserahkan. Tuak Lii sedang asik menggelar tikar untuk barang dagangan, Randa ikut membantu merapikan dan memajang  buku-buku yang berantakan didalam kardus tempat penyimpanan buku.
Setelah lapak Tuak Lii selesai, giliran dia mempersiapkan diri menggelar dagangannya, Tuak Lii heran melihat barang yang dikeluarkan dari tas Randa.
“Rand! Emang kamu mau jual apaan?” tanya Tuak Lii.
“Ada deh, Mas! Pokoknya lihat aja”
“Soalnya, saya liat dengan barang yang kamu keluar-in dari tas hanya sedikit. Terus yang kamu mau jual apa?”
“Pokoknya lihat aja kreasi saya Mas, yang penting Mas do’a-in biar laris”
Dia memajang beberapa contoh kartu yang sudah dibikin semalam, dengan gambar yang berfariasi bertuliskan syair yang beragam dibalik kartu. Tuak Lii terkejut dan terheran melihat dagangan Randa.
“Rand! Itu kartu kamu beli dimana? Gambarnya bagus-bagus dan menarik!”
“Kertasnya, yang saya beli kemaren mas, kemudian saya potong jadi empat bagian, lalu untuk gambar dan syairnya saya bikin sendiri”
“Haaahh! Becanda kamu, Rand!”
“Saya serius, Mas! Ini buatan saya sendiri. Saya menjual kartu ini untuk saya sekolah. Karena saya cinta pada sekolah!”
“Preeeeet, lebay! Paling kamu beli ditoko” ledek Tuak Lii.
“Auk-ah!” jawaban males dari Randa.
“Terus pesanan cewek kemaren sudah jadi?” tanya Tuak Lii.
Randa enggak jawab, karna dianggap enggak dipercaya. Sedangkan orang-orang hanya lalu-lalang saja, melirik dan pergi.
“Sabar-sabar, Rand!” kata Randa dalam hati sambil mengelus dada pelan.
Beberapa mahasiswa datang mencari buku keperluan kuliahnya, kemudian melirik kearah dagangan Randa, melihat sesuatu yang menarik, mahasiswa itu bergeser kelapak Randa.
“Mas! Kartunya berapaan?” tanyanya..
“Tiga ribuan mas yang sudah jadi, kalau pesan sesuai keinginan hanya lima ribu rupiah saja mas”
“Pesan! Gimana maksudnya?” tanyanya lagi.
“Pesan maksud saya, gambar dan syairnya bisa disesuaikan dengan keinginan pembeli.”
“Ok deh, lok gitu saya pesan satu, tapi diambil kapan?”
“Diambil sekarang pun bisa, kalo mau!” kata Randa.
“Ok bikin sesuai tema saya, saya tulis diatas kertas beserta syairnya!”
“Emang buat siapa mas?” tanya Randa keppo.
“Ada dehhhhh!”
Randa nyengir!
Randa kemudian menyiapkan wadah buat tinta cat airnya, warna diambil sesuai dengan kebutuhan, kuas dicelup kedalam air. Perlahan dia mulai menggambar, satu coretan kuas terlihat biasa, dua, tiga kali kuasan tambah aneh, kemudian guratan kuas selanjutnya berbentuk lalu terlihat seperti wajah seseorang.
“Mas! Sepertinya wajah digambar itu, enggak asing buat saya?” tanya pemesan.
Randa tersenyum.
“Ah! Itu wajahku bang! Bagus kali, ko gambar, bang!” kata pemesan yang nyerempet logat orang batak.
Kemudian gambar itu disimpan beberapa menit. Supaya lekas kering, pemesan membantu mengeringkannya dengan cara mengipas-ngipas, sambil menunggu, Randa mempersiapkan alat tulis untuk syairnya.
“Ok, Mas! Kartunya sudah kering, biar saya selesaikan” Tutur Randa sambil menadahkan tangan.
“Kayaknya jangan tulis syair dari saya” katanya ragu sambil menyodorkan kartu yang baru selesai dia kipas.
“Kenapa?” Tanya Randa.
“Enggak cocok sama gambarnya! Gambarnya terlalu bagus”
“Terus??” tanya Randa.
“Abang pake syair dari Abang ajalah, tapi yang romantis yaa, Bang? Buat calon pacarku!”  batak-nya masih dipake.
Randa menunjukan jempolnya.
Dia mulai menulis syair, menggunakan huruf yang menarik dengan tinta berwarna emas, nampak seperti tulisan dari langit.

Selalu tersebut namamu,
Diantara 2 sudut waktu,
Diatas lembar permadani,
Berangkat semoga menembus langit
untuk kembali turun kebumi
sebagai karunia. Hatimu..

Pemesan membacanya lalu berkata, “Cocok! Ajiiip deh! aku bayar lebih untuk kartu ini. Terima kasih ya, Mas!”  dia membayarnya dengan harga dua kali-lipat, lalu pergi dengan penuh sukacita.
Tuak Lii, geleng-geleng kepala.
Kemudian beberapa orang-pun datang, membeli dan memesan. Randa dikerumuni pembeli. Mereka terpukau dengan lukisan Randa, yang bisa menarik minat pemuda-pemudi yang melihat serta membaca isinya.

***

Matahari sudah tinggi! Waktu makan siang! Tuak Lii mengajak pergi. Berhubung masih ada milik pembeli yang belum diselesaikan, dia hanya bisa menitip dibelikan nasi.
 Randa menyelesaikan pesanan yang tersisa, bukan berarti tak ada yang datang membeli, tetapi dia menutupnya untuk sementara waktu, karna ingin istirahat dan sholat dzuhur.
Para pengunjung bersabar menunggu sebentar, ada yang sembari membaca buku, melihat karya yang sudah jadi, dan ada yang sambil merancang pesanannya bahkan menulis syair untuk kartu yang akan dipesan.
Dari arah barat berjalan Dewi beserta kedua temannya. Datang menghampiri lapak buku, dimana tempat yang dijanjikan kemaren. Mereka bingung melihat lapak tidak ada pemiliknya dan orang yang dicari bahkan tidak nampak batang hidungnya.
Melihat keadaan seperti itu, dia hampir putus asa, bahkan akan pulang, tapi sebelum pulang ia bertanya dulu pada orang disekitar. Belum selesai ia bertanya, seseroang datang menepuk pundaknya.
“Hay Wik! Dari tadi?” tanya Randa.
“Iya! Enggak! Baru!” jawab Dewi gelagapan karena terkejut.
“Maaf, kalo saya mengejutkanmu. Oh,ya tunggu sebentar!” Tutur Randa lalu membuka tas dan mengeluarkan pesanan milik Dewi.
“Nih Wik! Pesananmu  sudah jadi!” lanjut Randa sembari memberikan kartu.
“Baguus sekali,(kata dewi terpukau) ini buatanmu atau beli?” tanya Dewi sambil melihat lihat kartunya “tapi kok, ada dua?” katanya lagi.
“Iya! Yang satu itu pesanan kamu, dan yang satunya  saya titip untuk dipromosikan disekolahmu”
WANI-PIRO?”  kata Dewi sambil menadahkan tangan ke-Randa.
“Oh! Itu soal gampang. Dua puluh persen deh, buat kamu!”
“Banyak amat Rand? Biasanya sepuluh persen aja!”
“Ya, iya-lah! Sepuluh persennya dari hasil jual kartu dan sepuluh persenya lagi dari hatiku” kata Randa sambil tersenyum.
“Yeeee, mulai lagi gombalnya” kata Dewi sambil nepuk lengan Randa.
“Iya nih, Randa! Tukang gombal!” kata Nilluh dan Mita sambil ngeledek Randa dengan memonyongkan bibirnya.
“Coba Wik! Saya lihat?” pinta Nilluh penasaran dengan kartunya.
“Wik! Punyamu yang mana?” tanya Mita.
Dewi-pun bingung. “Punyaku yang mana Rand?” Tanya Dewi memastikan miliknya.
“Yang mana aja, yang pasti milikmu sesuai pesanannmu” kata Randa.
“Jangan keasikan ngobrol dong! Mas! Kita kok dilupain” kata pembeli yang lama menunggu.
“Oh! Iya, maaf! Wik, saya tinggal ya!” Randa langsung meluncur ketempat duduknya dan menyelesaikan PR dari pembeli.
Randa lagi asik melayani, disisi lain Dewi dan kedua temanya lagi sibuk memilah dan memilih kartu pemberian Randa. Memilih kartu untuk diberikan kepacarnya Dewi yang berulang tahun.
“Wik, yang mana yang paling bagus?” tanya Mita
“Perasaan bagus semua deh, Wik!” Kata Nilluh.
“Dari gambar sama bagusnya, terus syairnya juga sama bagusnya!” terang Dewi, kemudian membaca syair puisi didalam kartu. “Yang ini pesananku syairnya sederhana, berulang tahun memang indah, tapi lebih indah lagi bila berulang kali bersamammu.
“Iiih gombal! Emang Randa tukang gombal” kata Mita sambil menjulurkan lidah kearah Randa yang sedang asik duduk bersama bisnisnya.
Dewi terdiam, lalu kembali membaca isi kartu yang satunya
Teringat senyummu diawal jumpa, didalam kereta memecah suasana. Samakah yang kau rasa? Saat didekatmu, sejuta bahagia menghampiri. Saat kau jauh, hening rindu menyelimutiku. Saat kau berada dihatinya, api cemburu membakar diriku.”
“Oh.. so!sweet!” Kata Mita dan Nilluh.
Dewi terdiam, lalu menatap kearah Randa yang masih asik bergelut dengan bisnisnya. Tatapan Dewi, menatap dengan penuh rasa.
Nilluh dan Mita menepuk pundak Dewi, bersama-sama.  “Hay... Ngelamun aja”
“Ah! Enggak!” Dewi terkejut
“Ayooo ngelamunin apa?” tanya Mita.
“Enggak, cuma tersentuh aja sama syairnya, Mit!”
“Emm... syairnya emang menyentuh, sampai penulisnya terperangkap dilamunanmu. Ayooo, jujur?” Ledek Nilluh.
“Ahh, kalian bisa aja. Kita pulang, yuk?” ajak Dewi mengalihkan pembicaraan.
Mereka segera pergi dan tak lupa menyapa, “Randa, kita pulang!” teriak mereka sambil melambaikan tangan.
Randa mengangkat tangan kirinya dan ikut melambai. Dia masih sibuk dengan kartunya yang sudah menipis karna hampir habis. Mahasiswa-mahasiswi, siswa-siswi dan bahkan orang kantoran tertarik dengan karyanya. Tapi sayang stok kartu yang dibawa hanya lima puluh lembar.
Waktu sudah sore, dia paksa tutup karna harus pulang, sekalipun orang-orang masih ingin membeli. 
Lapak dibereskan. Menghitung laba yang didapat, tak lupa sepuluh persenya untuk Tuak Lii, lalu kembali menghitung uang yang tersisa, setelah menyisihkan jumlah modal usahanya.
Dia tak lupa juga untuk membantu membereskan lapak Tuak Lii, karna beliau juga bergegas untuk  pulang.
 Lapak masih banyak pengunjung, sekalipun demikian waktu istirahat juga perlu diperhatikan. Biarpun kita mengejar dunia sampai keujungnya pasti tak akan sampai, karna ujung dunia itu enggak ada.
“Untuk peminat, bisa kembali lagi besok, karna stok kertas saya sudah habis. Terimakasih.” Kata Randa.
Case 5. GAME GOMBAL!

Sore dirumah Dewi. Dia baru terbangun dari tidurnya, menatap jam yang selalu nempel ditembok kamar berwarna pink. Setelah tau waktu menandakan matahari beranjak pergi, ia lekas mengambil handuk dan pergi mandi. Suara gemericik air keluar dari lubang shower kamar mandi. Lagi asik mandi sambil bernyanyi kecil, tiba-tiba air berhenti mengalir. Tapi dia masih asik dengan lagunya, ngerasa ada yang aneh karena air tak kunjung keluar.
“Maaa! Mama!” Teriak Dewi.
“Mama! Mama!” teriaknya jadi histeris, kayak baru ngeliat hantu.
“Kenapa, Wik?” tanya Mama.
“Air, Ma!”
“Kenapa dengan air?”
“Ewik, lagi mandi. Kok airnya macet?”
“Lagi mati lampu nak!”
Saking keselnya, dia lalu keluar dari kamar mandi, hanya terbungkus selembar anduk. Mama yang lagi sibuk didapur, terkejut melihat dia yang keluar dengan kepala dipenuhi busa, muka masih bersabun.
“Ma! Trus gimana Ewik?”
“Udah! pake aja tu air digalon!” timpal Ketut, adeknya yang lagi otak-atik mainan TAMIYA dilantai.
“Kamu pikir korban bencana alam?”
“Emang, iya! Korban kemarau panjang!” ledeknya tanpa menoleh sedikitpun karna masih asik sama mainan.
Mata Dewi kedap-kedip, kelilipan air sabun. Nangis minta tolong, lalu siMama menyeret Dewi kehalaman belakang dan lekas membilas anak perawanya dengan air mineral yang ada digaloon.
“Maa! Mama belum bayar listrik ya?” tanya Dewi.
“Udah, kemaren!”
“Tapi, kok lampunya mati?”
“Emang lagi jatah pemadaman” terang Mama.
“Enggak, kak! Mama bayarnya setengah aja kemaren, makanya listrik dikasih jatah setengah juga!” nyerocos, Ketut sambil ketawa.
“Husss! Asal kalok ngomong” kata Mama sambil melotot kearah Ketut.
"Kasian!” ledek Ketut ngeliat Dewi masuk rumah.
“Apa! Dasar bauuuk!” balas Dewi.
“Yeee, bauuk apa!”
“Bauuuk, kentut! Ketut” ledek Dewi lalu masuk kamar.
Namanya juga cewek, kalo abis mandi lalu masuk kamar pasti bakalan lama baru keluar. Setelah keluar dari kamar, aroma harum nan mewangi, memenuhi area ruangan yang dilewati Dewik.
“Heemmmm. Wangi!” kata Ketut.
“Emberrr!” jawab Dewi yang udah rapi mengenakan gaun. Ia terlihat sangat cantik, rambutnya pajang ter-urai, lurus dan mendukung penampilanya.
Sembari menunggu waktu, ia merapikan kado kecil yang akan dibawa keacara ulang tahun Deni.
“Rapi amat, mau kemana?” tanya Mama.
“Mau pergi ke-party Deni, Maa!”
“Emangnya Deni ulang taun?”
“Iyaa..”
“Cie cie.. yang mau party. Bawa pulang kue yang banyak ya, kak!” kata Ketut.
Dewi menjulurkan lidah kearah Ketut. Kado udah siap, tinggal nyelippin kartu. Kartu dibuka dan dibaca kembali, setelah membaca, ia jadi teringat Randa.
“Lagi ngapain dia ya?” tanyanya sendiri “Coba saya ajak dia” lanjutnya dalam hati.

***

Langit sudah jingga, matahari pamit pulang. KRIING! KRIING! KRINGG! KRINGG! Suara telpon diruang tengah, tak ada yang angkat. Karna masing-masing berharap ada yang terlebih dahulu mengangkatnya, suara itu hilang, tak lama kemudian datang lagi.
“Hallo! Kediaman I Made Arta disini, ada yang bisa saya bantu?” tanya Ketut.
“Iya. Bisa bicara dengan Dewi, ini dari Mita”
“Oh, iya. Mau Minta apa ya?”
“Mita! Mita! Bukannya minta, tapi M, I, T, A. MITA!” Mita protes.
“Iya, ditunggu bentar.”
Ketut pergi memanggil Dewi yang baru masuk kekamar. “Kak! Ada telpon!”
“Dari siapa?” tanyanya dari dalam kamar.
“Dari orang Minta-Minta”
“What’s?” kata Dewi, lalu membuka pintu kamar “Minta apa?” tanyanya lagi.
“Auk, ah! Urus sendiri tu di telpon” ketus Ketut.
Dewi bingung, lalu lekas kearah telpon.
“Hallo, siapa?”
“Dewi! Ini Mita”
“Dasar bauuk!” kata Dewi ke-Ketut.
“What? Mita, Wik! Bukannya bauuk!”
“Maaf Mit? Bukannya bauk kamu, tapi sikentut!”
“Haaa, saya enggak kentut Wik!” Mita marah, karna enggak ada yang nyambung obrolan, padahal dia juga enggak nyambung. Mungkin karna ketutup emosi ya?
“Bukan-bukan! Bukan kamu, Mit! Tapi si-Ketut, adekku tadi”
“Ya, udah. Jadi nanti saya jemput jam berapa?”
“Jam berapa aja, saya udah siap kok! Tinggal meluncur!”
“Ok, deh! Lok gitu bentar lagi saya jemput”
TUUTTT.. TUUTTT..TUTTT.. Suara telpon.
“Dasar, Mita. Tutup telpon enggak bilang-bilang, sampe kedengeran suara kentut”
Dewi bersiap-siap nunggu jemputan, tapi sebelum pergi ia sempatkan diri untuk kedapur. Nyari camilan, biar cacing dalam perut enggak kaget nanti kalok pas makan CAKE. Soale, cacingnya rada-rada ndesooo.
“Siapa yang telpon Wik?” tanya Mama sambil gosok baju.
“Mita, Ma! Mau dijemput biar jalan bareng” sambil ngemil.
“Jangan pulang malem ya, nak?”
“Ih, Mama! Aneh aja nanyaknya! Ya, jelas pulang malem dong, Maa! Kan, acaranya malem”
“Maksud Mama, jangan terlalu larut malam, sayang!”
“Tenang, Ma! Ewik, bisa jaga diri. Mama berdo’a aja, biar Ewik pulang dengan selamet”
“Iya. Mama selalu berdoa buat kalian”
TINNS.. TINNS... Suara klakson terdengar dari halaman depan rumah. Dewi mengintip diselah gorden jendela ruang tamu.
“Maaa, Ewik pergi dulu!” teriaknya pamitan, lalu berlari kearah mobil jemputan yang sedang nunggu. Diatas mobil, sudah ada Nilluh dan Dina, sedangkan Mita yang bawa mobil.

***

“Hay!” Sapa Dina dan Nilluh ketika Dewi membuka pintu mobil.
“Hay, ternyata kalian udah duluan ya?” kata Dewi “Sopir, jalan.” Lanjutnya sambil menutup pintu.
“Ok, buu!”
Semua cekikikan ngeliat Mita yang malam itu jadi supir antar jemput teman-temannya. Ya! beginilah sebuah persahabatan. Remaja indonesia pasti berkarakter seperti itu.
“Wik! Bay the way. Kamu kelihatan cantik malam ini!” ujar Mita sambil nyetir, sesekali noleh ke-sohib-sohibnya.
“Nggak nyadar ya, lok saya emang cantik”
“Iya, cantik sayang” tutur Nilluh.
“Cantik, cantik, cantik” Dina niru kata-kata difilm kartun.
“Kalian tau nggk, perjalanan kita ini menuju kemana?” basa-basi Mita.
“Nggk,” jawab Nilluh dan Dina kompak.
“Kalo kamu Wik?”
“Ya, jelas tau dong, Mit!”
“Emang! Jalan kemana?” tanya Mita lagi
“Ke-HATI Deni dong, sayang!”
“Cie, cie, cie” serempak.
“Bisa-bisanya kamu aja, Wik!” kata Dina.
Mereka ngakak!
Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ternyata jalannya ditutup karena sedang lagi ada acara pernikahan. Terpaksa mereka berbalik arah dan mengambil jalur lain.
“Din! Sepertinya teman kita ini, udah pinter ngegombal, deh!” kata Mita.
“Iya, semenjak dia kenal dengan anak pasar yang namanya Panda. Kata-katanya bikin orang baper
 “Randa, Din! Bukannya Panda. Tapi Randa! Pake huruf ER didepan” saut Dewi.
“Iya, itu maksudnya. Terus btw, kamu kenal dimana, Wik?” tanya Dina.
“Ceritanya panjang, Din! Dia anak blezteran Jawa, keturunan Arab Bima dan lahir dikota ini. Cuman dia bakalan pindah ke-Bima, dengan alasan kedua orang tuanya yang sudah umur. Maksudnya mau nemani kedua orang tuannya. Gitu, katanya!”
“Yakin dia anak baik-baik?” tanya Dina lagi.
Dewi senyum sambil manggut-manggut, Nilluh asik nyemil sendiri sedangkan Mita konsent  sama setir mobil, sambil nguping.
Mita menurunkan kaca jendela mobil, begitu juga yang lain menurunkan dengan segerra, seperti orang yang sesak nafas kena asma. Jadi harus butuh udara segar. Kemudian satu-persatu dari mereka menatap kearah Nilluh, sambil menutup hidung! Mata mereka melotot penuh tanya.
Nilluh berhenti mengunyah karena ngerasa aneh diplototin, alisnya naik turun. Maksudnya nanya, kenapa saya diplototin? Ngelihat Nilluh yang tingkahnya nggk jelas dan tak dimengerti. Mereka semakin melotot, mita memberhentikan mobil dibahu kiri jalan.
Nilluh nyengir, sedangkan yang lain keluar dari mobil.
“Nilluh, jorok!” kata Dina.
“Hehehe, nggk tahan Din! Daripada saya dioperasi karna kelebihan angin, ya terpaksa harus saya keluarin, dong!” tuturnya merasa tak berdosa.
Mereka bertiga, mual-mual.
“Maaf! Ayo naik, udah telat kita nih!” terang Nilluh dan melanjutkan camilannya.
“Bodok! Daripada mati sesak nafas karena kentut! Kan nggak lucu kalok masuk koran. Tiga anak perawan mati sesak nafas didalam mobil karena keracunan kentut!” gerutu Dina.
Emang ya! Kalo udah namanya berkumpul dengan sahabat, mau ngapain juga sah-sah saja. Sekalipun itu ngusilin temennya. Contonya Nilluh, dia anaknya nggak jorok, tapi usil sama temen-temennya, kecuali dengan orang lain, dia sangat sopan.
Kalo Mita, anaknya pengertian ya walaupun rada-rada keppo gitu. Beda lagi dengan Dina, dia ini mulutnya nggak pernah pake saringan, mau sama siapa aja, dia libas. Asalkan dalam posisi yang bener. Dan diantara mereka berempat hanya Mita yang muslim, Dina nasrani sedangkan Nilluh dan Dewi beragama Hindu.
Mereka berempat ini dijuluki sebagai genk! BHINEKA TUNGGAL IKA, sekalipun berbeda tapi tetap satu rasa.
Kita lanjut kecerita.
“Dasar nih! Nilluh! Jadi hilang aura kecantikanku!” kata Dina.
Nilluh tetap senyum dan selalu asik ama camilannya yang nggak abis-abis. Nyemil terus, tapi nggak gemuk juga.
“Lanjut, Wik Ceritanya!” kata Mita, sambil mengemudikan kendaraannya lagi.
“Ya, seperti itu. Tapi yang bikin saya tertarik itu, ialah syair yang dia titipkan padaku. Mengenang! Seperti sebuah ungkapan saat awal kami jumpa!”
“Cie, cie, cie. Jadi kepikiran dia, nih!” suara Nilluh setelah camilannya sekarat.
“Tapi, dia Ok juga kok! Beneran deh! Suerr!” kata Dina sambil menodongkan jari manis dan jari telunjuknya.
Dewi jadi diam “Senyumnya tak pernah hilang disetiap orang mengenalnya, jauh sekali bedanya dengan Deni yang selalu ja’im. Segala sesuatu harus diatur” katanya dalam hati.
“Hayoooo! Ngelamun, ya?” Mita sambil menepuk paha Dewi.
“Nggk, tuh!” kilah Dewi.
              “Nah! Udah nyampe kita” tutur Dina.
“Rame banget, Mit!” kata Nilluh.
Mereka ragu untuk masuk kedalam, karena ngelihat kendaraan para tamu yang banyak. Tapi nggak jadi masalah buat Dewi, itu soal biasa. Teman Deni yang diundang bukan teman satu sekolah saja, bahkan Deni mengundang teman semasa SD, SMP dan teman sepergaulannya, bahkan temennya temen Deni.
“Ayo deh! Kita masuk. Hajar aja! nggak usah malu!” ajak Dina.


***


Didalam, ruangan hampir penuh, tempat yang disediakan udah ditempati masing-masing tamu. Sedangkan mereka berempat, clingak-clinguk nyari tempat. Suara berisik dari sound sistem semakin membuat acara meriah, lampu kerlap-kerlip. Tempat disulap jadi seperti diskotic. Maklumlah yang ultah anaknya orang berada.
MITAAA... MITTAAA.. suara orang memanggil dengan nama Mita.
Mita mencari sumber suara. Dia dapat seorang teman lama sedang melambaikan tangannya, memanggil mereka supaya dapat bergabung. Mereka berempatpun segera menghampiri. Karna tempat mereka berdiri penuh!
“Hay, apa kabar?” tanya Mita pada teman lamanya.
“Baik! Kamu gimana? Dateng sama siapa?” tanyanya.
Fine. Oh, iya! Kenalin  temen-temen saya” kata Mita.
“Dina”
“Nilluh”
“Dewi”
“Saya, Lina. Teman SMP Mita!” katanya sambil berjabat tangan.
Sembari menunggu acara dimulai, mereka berbincang sambil minum juz yang sudah disediakan. Suara music semakin mengecil.
“Ok, selamat malam para tamu dan undangan. Semoga bahagia menikmati jamuan kami dimalam ini” kata kedua MC membuka acara.
“Baiklah, semoga malam ini sangat mengihur kalian, saya Lingling bersama teman saya”...”Saya Joni” ... “Kami berdua akan membuka acara ini. Tapi, sebelum dibuka sebaiknya tuan rumah memberikan beberapa cuap-cuapnya untuk kita semua”
Deni melangkah naik keatas panggung, tepuk tangan meriah dari para tamu.
“Ok, guys! Sekarang Deni udah berada diatas panggung” kata Joni.
“Iya! Sebagai awal pembukaan acara, Deni harus cuap-cuap dulu. Gimana Jon?” tanya Ling-ling
“Iya, bener sekali Ling, dipersilahkan Deni” lanjut Joni.
Cuap-cuap dikeluarkan Deni sebagai tanda acara dimulai.
“Ok, baiklah! Terima kasih, sepertinya ini syarat mutlak dalam sebuah acara! Tapi enggak masalah. Selamat malam untuk semua!” teriaknya.
“MALAAAAAAM” semua menjawab serempak.
“Baik, terimakasih untuk semua yang udah pada mau datang keacara ini. Dirumah saya, saya menganggap rumah ini adalah hati saya. Terimakasih udah masuk kehati saya dan semoga ada yang mau tinggal didalamnya” kata Deni, tapi dibales sorakan. HUU!!!
 “Untuk seseorang yang tersepesial dimalamku ini. Terima kasih udah dateng! Untuk sayangku yang berada dipojok sana, I DEWI AYU! Selamat datang dan berbahagialah didalam hatiku.” Katanya sambil menunjuk kearah Dewi yang lagi bersama teman-temannya.“Baiklah, terima kasih dan selamat berpesta” katanya lagi.
Dewi sumringah dan tersipu malu, plus bahagia karena benar-benar disebut sebagai kekasih hati Deni. Tak lama kemudian waktu untuk sesi penting yaitu tiup lilin beserta potong cake.
“Sebagai simbol acara ini, langsung saja kita kesesi inti supaya acara selanjutnya bisa dimainkan. Langsung saja Deni, disamping cake-nya. Tapi sebelumnya, seperti biasa sebelum tiup lilin biar sakral yang bersangkutan membuat permohonan dan jangan lupa kekasih hati harus mendampingi ya!” tutur Joni.
Tak lupa menyanyikan lagu panjang umurnya terus potong cake-nya, kemudian potongan pertama disuapin ke Dewi. Sebagai simbol yang tersayang. Setelah sesi tiup lilin dan potong cake, dilanjutkan kesesi game.
Game disini terdiri dari beberapa sesi, sesi pertama. Game lempar kaset, dimana para pemain saling mengoper kaset sambil nungguin lagu selesai. Nah jika lagu selesai dan kaset ditangan seseorang, maka yang megang kaset paling terakhirlah yang maju untuk berdansa atau bernyanyi. Sesi ini dibagi dua kubu, yaitu satu kubu perempuan dan kubu laki-laki, jadi cocok bisa berpasangan, tapi nggak bakalan bisa dengan pasangan masing-masing, karena tergantung dari posisi kaset terakhir.
Game ini sudah biasa dilakukan diberbagai acara ulang tahun, istilahnya sekarang game basi. Setelah sesi game basi selesai kemudian berlanjut ke-game balon pecah, dimana game ini aturan permainannya menggunakan cara yang sama yaitu melempar kaset. Perbedaan game ini adalah pada sesi akhirnya yaitu memecahkan balon menggunakan perut.
Dimana para pemain yang terpilih wajib memecahkan ballon menggunakan perut mereka, yaitu satu ballon dipecahkan secara berpasangan, balonya dihimpit dengan perut para pemain, setelah pecah didalam balon ada sebuah kertas yang bertuliskan panduan.
Misalnya bertuliskan Daun. Nah, untuk para pemain harus bisa menggunakan kata tersebut untuk merayu satu sama lain. Game ini juga masih sering dilakukan diacara-acara seperti ini, istilahnya masih lumrah. Setelah kedua game selesai, kemudian beranjak ke game yang terakhir.
“Ok, guys. Sekarang kita ke-game ketiga, Game Gombal. Cara bermain game ini sedikit berbeda tapi berhadiah dan mendapatkan gelar Ratu-Raja gombal. Jadi untuk siapapun boleh bermain tapi syaratnya pemain harus genap dan tak boleh sejenis, kalo sejenis ntar bukannya cocok malah jadi cucok-deh!” Tutur Joni si MC likog!
“Iyappss! Bener sekali Jon! Di game ini bisa siapapun jadi pemain, tapi kalo nggk ada yang mau main. Terpaksa kita harus memilih sepuluh pasang pemain, dimana lima pemain dari kaum hawa dan lima dari kaum adam. Cara memilihnya kita undi dari nama-nama yang ada didaftar buku tamu. Gitu, guays!” sambung Ling-ling
“Gimana, guys? Semua jelas setujukan?” Tannya Joni.
SETUJU!! serempak menjawab.
Tapi tak satupun dari para tamu yang mau ikut, entah karna nggak bisa atau karna malu. Nggak ada yang tau.
“Karena nggk ada yang mengajukan diri, jadi harus melakukan pengundian, apabila ada calon yang diusulkan itupun sangat baik. Gimana, Ling?”
“Iyapss! Harus seperti itu, Jon. Biar seru!”
Pengundian udah dilakukan, beberapa orang diundi dan beberapa lagi dari usulan temen-temennya. Skema lalu dibuat, pasangan kembali diundi agar dapat mengisi skema yang telah ada.
“Kocok! Kocok! Kocok!” ujar MC.
“Darwis, berpasangan dengan Iin-Lebay” kata Ling-ling.
“Reni-jutek, bareng sama Agus-yes”
“Kita kocok lagi”
“La-Randa, berpasangan dengan Nadin-cuper”
Mendengar nama Randa, Dewi cs terkejut. Penasaran! Mereka lalu mencari tau! Tanya-bertanya, alhasil memang bener kalau itu adalah orang yang mereka maksud.
“Loh, Wik! Kok Randa ada disini?” Tanya Mita.
Dewi bengong.
“Iya, kok bisa disini!” kata Dina.
“Mungkin kebetulan, kali! Atau orang lain!” tutur Nilluh.
“Ok, selanjutnya. Dina-CS sama Kapten-Bobi” ujar Joni.
“Loh, Jon. Kok ganjil skemanya? Sisanya gimana?” tanya Ling, heran.
HUUUU!! Sorak penonton serentak.“MC-nya, asal tuh!” kata salah seorang.“Skema abal-abal” lanjut yang lain.
“Ok! Ok! Tenang semua!” tutur Joni menenangkan suasana.
“Untuk sisanya, kita jadikan skema cadangan, melawan pasangan tuan rumah Deni dan Dewi. Gimana?” tanya Ling-ling.
Ok! Ok! Setuju! Setuju! kata penonton.
Kemudian sebagai juri penilai adalah penonton sendiri.


***


“Game Gombal, dimulai berurutan dari pasangan Darwis vs Iin-Lebay” tutur MC.
“Iin! Hewan apa yang paling aneh?” tanya Darwis.
Iin sedikit mikir “Emm! belalang kupu-kupu!”
“Lho! Kok bisa?”
“Bisa dong! Soalnya siang dia makan nasi dan kalo malem dia minum susu!”
Sorak penonton terus pada cekikikan.
Darwis enggak mau kalah! Kedua tangannya diangkat lalu dilambaikan “Tenang-tenang. Oh, gitu! Aku kira yang paling aneh itu HEiWANitaku.” Lanjut Darwis.
Serentak orang pada bengong lalu mikir.
“Maksudnya?” tanya Iin, bingung.
“Maksudku, hewan paling aneh itu ya hewan-itaku. Karna dia bisa segalanya, bahkan bisa masuk kehati dan pikiranku. Salah satunya adalah kamu!” terang Darwis.
Penonton ngakak karna baru nyambung, akhirnya Iin-Lebay tereliminasy, karena nggak bisa berkata lagi. Tepuk tangan yang meriah diberikan untuk Darwis.
“Ok, selanjutnya pasangan nomer dua, yaitu Reni-jutek vs Agus-yess.” kata Ling-ling.
“Apa perbedaan rok dengan roket?” tanya Reni-jutek.
“Ah! Itumah gampang! Yess! Yes! Kalo roket makin keatas makin nggak kelihatan, tapi kalo rok makin keatas makin kelihatan!” jawab Agus.
“Kelihatan apanya cuy?” tanya salah seorang penonton.
“Kelihatan ladangnya!” kata Agus menghadap kepenonton.
Penonton ngakak lagi.
“Ok! Tenang! Sekarang giliran Agus” instruksi MC.
“Sekarang! Apa bedanya matahari sama bulan?” tanya Agus.
“Soal kok cemen gitu, kecil!” kata Reni sambil melentingkan kuku kelingkingnya “Kalo secara biologi, sudah jelas Matahari itu panas dan Bulan itu sejuk. Tapi kalo secara ekonomi, Matahari itu penuh dengan diskon! Sedangkan Bulan nggak ada” Lanjut Reni.
“Ok, deh satu sama” tutur Agus.
“Sejak tadi kita naik keatas panggung, bikin saya pengen belajar terus!” ujar Reni.
“Emang kita belajar apa?” tanya agus.
“Saya pengen belajar jadi yang terbaik buat kamu!” lanjut Reni.
CIE! CIE!, CIE! kata penonton.
Langsung disamber Agus yang nggak mau kalah. “Iya, emang bener. Seperti yang kamu kata, kita memang butuh belajar tapi dalam belajar kita butuh dua hal!”
“Apa itu?” Tanya Reni.
“Yang pertama kita butuh matahari sebagai penerang kita dalam belajar, kemudian yang kedua kita butuh mata-hati untuk kita bisa saling mengenal anatara hatiku dan hatimu!”
Ngakak penonton.
Reni nggak mau kalah juga “Semua orang bisa memberikan cinta, tapi tak semua orang bisa memberikan kesetiaan! Tau nggak kenapa sekarang gelap?”
“Enggak! Kenapa?” tanya Agus.
“Mataharinya malu karena sinar hatimu jauh lebih terang!” lanjut Reni.
Penonton bersorak menyebut nama RENI! RENI! RENI! Pendukung Reni makin banyak.
Agus tetep ngotot. “Suasana langit malam ini memang teramat gelap, tapi akan lebih gelap lagi bila kau tak ada dihatiku”
BALESSS!! BALESSS!! BALESSS!! Sorak penonton. Lalu Reni mengangkat tangan, bukan berarti menyerah, tapi berharap penonton untuk tenang.
“Gus! Tolong beri saya waktu!” kata Reni.
“Waktu untuk apa?” tanya Agus bingung.
“Waktu! Agar saya bisa menjadi yang terbaik dihatimu” lanjut Reni.
Agus-yess nggak bisa bekutik, mulutnya membeku tanpa kata. Sedangkan penonton bersorak-sorai menyebut nama Reni dan Agus ter-eliminasi.
Untuk pasangan ketiga dimenangkan Dina-cs, lalu pasangan empat La-Randa unggul jauh. Kemudian group cadangan, Rini vs Iwan dimenangkan Iwan sedangkan pasangan tuan rumah Deni terkapar tak berdaya karena terkena racun gombal dari Dewi.
Untuk group cadangan dipegang oleh Dewi, sedangkan untuk group pemain masih tahap semi final antara La-Randa vs Reni-jutek. Pertarungan semifinal ini sangat mendebarkan, adu gombal saling bersahutan, waktu cukup tersita oleh ulah mereka berdua.
Sorak-sorai penonton tiada henti, hingga perut terasa keram karena cekikikan terus. Alhasil, semi final dimenangkan Randa, Reni kehabisan kata.
“Ok, penonton. Sekarang kita menuju ke-final, tapi sebelumnya kita break dulu ya?” tanya Joni.
“Iya, break dulu buat nenangin diri biar selagalas nggak penuh sama orang yang ngakak” canda Ling-ling.
Selagalas adalah nama salah satu tempat orang-orang yang sakit jiwa dikumpulkan.


***


Sesi final akan segera dimulai, panggung udah disiapkan.
“Ok, penonton. Segera bersiap diposisi masing-masing karena partai final akan segera dimulai. Untuk yang lagi makan diharap hentikan dulu biar nggak keselek, terus yang lagi minum segera diselesaikan biar nanti nggak nyembur” ujar Joni.
“Pertandingan dimulai” kata Ling-ling sambil meniup pluit.
“Sebelum kita mulai, sebaiknya kita berkenalan dulu supaya nanti bisa saling mengenal” Randa memulai permainan sembari mengacungkan tangan untuk berjabat tangan.
“Saya, Dewi!”
“Saya Tonggeranda, tapi lebih umum dipanggil Randa!”
“Umum! Maksudnya?”
“Ya, umum! Randa adalah singkatan dari RemajA iNDonesiA. Saya senang berkenalan denganmu. Namamu Dewi, kan?”
“Iya..”
“Namamu sesuai dengan dirimu, tapi saya berharap lagi dirimu sesuai dengan namamu!”
“Maksudnya?” Dewi bingung.
“Maksud saya, namamu secantik dirimu dan saya berharap kamu se-Ayu namamu!”
Penonton bersorak GARINGGGG!
“Ya, memang nama saya Dewi Ayu”
“Oh, pantes!”
“Pantes kenapa?” tanya Dewi lagi.
“Karena melihat kamu dadaku semakin berdebar-debar!”
HHUUUUUU!! GARINGGG!! Sorak penonton.
Randa menguasai awal pertandingan, tapi Dewi nggak mau kalah.
“Sumpah, deh! Kamu itu nakutin saya!” kata Dewi.
“Nakutin?” tanya Randa bingung.
“Iya! Kata-kata kamu itu bikin saya takut! Maksud saya bikin saya takut kehilangan kamu!”
Penonton ngakak.
“Ahh! Kamu, bisa aja. Padahal kata-kata saya biasa saja” Randa merendah.
“Menurut kamu biasa, tapi bagi saya itu luar biasa”(GUBRAAAKK!!)
Randa nggak mau kalah.
“Ya, ketika kamu bilang itu luar biasa! Pikiran saya jadi tersesat, tapi tak masalah buat saya karena saya lebih senang tersesat karna kamu!”
Dewi KEJEBURR!! Tapi dia segera berenang nggak mau tenggelam.
“Saya sangat berharap kamu tau. Bahwa saya takkan pernah menyesali hari ini, karna bagi saya hari ini bersamamu itu sudah cukup membuat hati saya bahagia”
“Tak semestinya kamu berkata seperti itu!” kata Randa dengan wajah sedikit memelas dan kecewa.
“Kenapa?” tanya Dewi heran dengan sikap Randa.
“Karna saya sangat bahagia mendengarnya!”
Dewi KEJEBUR! lagi. Berenang lagi.
“Randa! Saya juga senang mendengarnya. Bisakah kamu jujur pada saya? Angin apa yang membawamu datang kemari?”
“Entah angin apa? Tapi saya rasa, angin ini membawa saya kehadapan putri yang menawan! Putri yang akan menghias hati ini dengan bunga! Bunga suka cita, kuncup kerinduan! Benih kebahagiaan! Dan pohon kesetiaan yang kokoh! Sehingga berbuah, buah keabadian!”
BLUUR!!BLUURR!!BLURR!! Dewi kelelep.
“Nafas buatan! Nafas buatan! Cepet!!” teriak salah seorang penonton, membuat MC terkejut. Semua serentak mengarahkan pandangan ke-anak tersebut.
“Ada apa? Siapa yang sesak nafas?” tanya Ling-ling panik.
“Dewi tenggelam dikolam gombalnya Randa!” katanya lalu dia ngakak.
Para penonton-pun pecah oleh tawa. Dewi terlihat tersipu malu, sedangkan Deni tak mampu berkata karena diselimuti rasa cemburu.
DEWI!! DEWI!! DEWI! Sorak penonton memberi semangat. Tapi sayang,dia kehabisan kata karena terlalu banyak meminum air karena tenggelam dikolam gombalnya Randa. Alhasil..
Pertandingan dimenangkan Randa, dia berhak mendapat hadiah sebesar lima ratus ribu rupiah dan menerima titah sebagai Raja Gombal diacara tersebut. Dilain tempat, Deni masih berselimut api cemburu, sedangkan Dewi masih sama malu-malu.
“Baiklah, sepertinya semua acara sudah kita jalani dan kita sudah mendapat pemenang dari game yang kita mainkan. Untuk penutupan acara, tuan rumah yang bersangkutan diharap memberikan cuap-cuapnya lagi” kata Joni.
Setelah Deni bercuap-cuap ria, akhirnya acara resmi dibubarkan. Randa menjabat tangan untuk pamitan kepada Deni beserta teman-temannya karna waktu sudah larut malam. Tak lupa pula ia menyantroni Dewi beserta yang lain.
“Loh! cepet kali pulang Rand?” tanya Dewi.
“Udah malem Wik! Takut nggak ada kendaraan pulang. Saya pamit ya!” tuturnya lalu pergi.



Case 6. JEMPUT BOLA

Hari sudah sangat tinggi, hampir sejajar dengan ubub-ubun. Hawa panas sudah sangat menyengat. Tapi Randa baru dalam perjalanan menuju lapak karena semalam dia pulang terlalu larut.
Angkot yang dia tumpangi seperti kura-kura, lambat! Sedangkan gelisah menemani Randa yang takut nggak dapet rejeki, karena keduluan dipatok ayam tadi pagi.
“Aduh, gawat nih! Bakal nggak ada yang beli, karna telat dateng” katanya dalam hati. Angkotpun berhenti.
“Pemisi bang!” katanya sambil lompat keluar pintu.
“Heeyy! Ongkosnya belum!” teriak kenek angkot.
“Oh, iya! Maaf bang!” lanjut Randa kembali kearah kenek yang cemberut ngeliat tingkah dia. “Nih, bang! Ongkosnya, makasi yaa!” tutur Randa membayar sewa, lalu lekas pergi.
Setiba dilapak, dadanya naik turun karena capek berlari.
“Mau jualan kok datang jam segini!” tutur Tuak Lii.
“Maaf bang! Saya telat bangun karena pulang larut malam!”
“Semalem kamu kemana? Begadang? Persiapan buat dagang?”
“Nggak, bang! Semalem saya pergi keacara temennya temen. Katanya diacara itu ada permainan game gombal namanya. Nah! Katanya lagi, hadiahnya lumayan” teraang Randa sambil membenahi lapak buat tangkringannya.
“Trusss! Kamu ikut maen atau ikut nonton?”
“Maen dong, bang!”
“Lalu, kalah?”
“Kok, kalah. Menang dong! Randa gituloh!”
“Gayamu! Berarti banyak duit, dong!”
“Lumayan, tapi tinggal setengah. Soalnya setengah lagi buat neraktir temen semalem”
“Bilang aja, nggak mau traktir kita disini!” sindir Tuak Lii.
“Oh, tenang bang. Udah saya siapin itu, walau beberapa aja”
“Alhamdulillah yang penting kamu ikhlas”
“Insyaa Allah, bang!”
“Oh, ya Rand. Tadi orang pada cari kamu, tapi kamu baru nongol”
“Nggak apa-apa bang, mungkin belum rejeki saya!”
“Iya. Saya juga beritahu, kalau kamu datangnya agak siang”
“Iya, terima kasih. Saya tinggal dulu sebentar”
Setelah tangkringannya beres, Randa pergi membeli nasi ayam krispi lengkap dengan soft drink. Waktu untuk sarapan siang. Janji traktir harus ditepati karena janji sama dengan nazar, tapi bukan nazarudin yang kasus korupsi proyek wisma olahraga hampa-lang loh!!!!
Randa terlihat dari jauh, membawa bungkusan ukuran medium. Senyuman terpancar dari Randa hingga membuat Tuak Lii bertanya-tanya. Tetapi, pertanyaan Tuak Lii terjawab dengan melihat isi bungkusan yang dibawa Randa. Senyum simpul menghiasi raut Tuak Lii.
“Aseeeeekkk! Ternyata bukan sekedar mimpi! Walhasil terkabul juga” katanya setelah Randa menyodorkan bingkisan.
“Yaa, iyalah! Masa harus mendengar angin berhembus saja, tanpa bisa menikmati kesejukannya” jawab Randa.
“Makasi Rand!”
Lalu mereka lekas menyelesaikan waktu sarapan siang karena jam pulang sekolah sudah menunggu dengan harapan dagangan banyak laku terjual oleh anak-anak sekolah.
Mentraktir teman bukan berarti membuat Randa lupa akan tujuannya. Mengumpulkan uang lebih banyak adalah yang harus dicapai, guna memdaftarkan diri disekolah baru nanti. Berhubung biaya pendaftaran sekolah yang mahal jadi harus ekstra kerja keras.
Entah kenapa untuk sekolah saja di negeri ini begitu mahal, padahal sumber daya alam kita begitu melimpah untuk dimanfaatkan. Alasannya selalu garing, untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia di-negeri ini sangat kecil.
Ya makanya sekolah itu mahal, harus bayar SPP dan sekerabatnya. Ya pokoknya gitu deh! Mending kita kembali kecerita.
“Rand! Kamu jadi mau pulang kampung atau sekolah disini?” tanya Tuak Lii.
“Rencana saya, kalau keluarga saya belum tau hal ini, saya akan meneruskan sekolah disini, seandainya mereka sudah tau, berarti saya harus membuka lembaran baru diBima”
“Kamu sudah tau berapa biaya pindah sekolahmu?”
“Sudah, bang!”
“Berapa?”
“Semuanya satu juta dua ratus. Tapi btw, abang tau darimana tentang rencana saya?”
“Kan! Kamu yang cerita kemaren. Waktu minta lapak buat jualan, ayo!!”
“Oh! Saya lupa!”
“Mas, kartunya berapa?” tanya pembeli.
“Banyak, mas!” jawab Randa.
“Maksud saya, harganya!”
“Ohh!! Lumayanlah, ada yang tiga ribu dan lima ribu mas. Kalau yang tiga ribu, kata-katanya bikin sendiri terus yang lima ribu kata-katanya dari saya”
“Ya udah, lok gitu yang lima ribu ya!! Terus ceritanya  saya mau ngerayu pacar saya yang lagi ngambek, gito!!!”
“Ok, ditunggu aja boss!”
Dia langsung sabet alat kerjanya, melukis seorang pria sedang jongkok dihadapan kekasihnya. Sedangkan kekasihnya membelakangi sang pria yang lagi memohon sembari membawa setangkai mawar sebagai bukti permohonan maaf. Lalu untuk syairnya, Randa sedikit berfikir keras karna dia belum pernah mengalami yang namanya pacaran.
“Tunggu sebentar dulu ya mas! Saya mau kebelakang dulu. Sekalian sambil nugguin kering gambarnya dan juga siapa tau saya dapet ilham dibelakang, biar bisa nulis puisi yang terbaik” ujar Randa yang bingung mikirin puisi.
“Ok, saya tunggu!” Sembari menunggu pemuda tersebut membaca-baca kartu yang ada, kemudian berpindah kebuku dilapak Tuak Lii.
Lukisan sudah mengering, Randa belum datang juga, pembeli sedikit jenuh karena lama menunggu.
“Pantatnya lagi bocor ya? Lama amat!” tanya pemuda tersebut dalam hati.
“Maaf, mas! Kelamaan ya?” tanya Randa setelah dia kembali.
“Ya, Lumayan! Saya kira kamu udah kemakan sama kecoak dibelakang!” katanya nyindir.
“Ah, bisa aja! Tapi untung waktu ngecor tadi langsung dapet ilham”
“Maksud kamu puisi untuk saya dapet dari jamban? Atau jangan-jangan syairnya cintaku berlapis coklat dari jamban?” lanjut pembeli rada panas.
“Maaf, mas! Maksud saya bukan gitu dan nggak kesitu!” Randa sambil nyengir.
“Ya, udah. Selesaikan cepet punyaku, biar saya pulang”
Randa segera menyelesaikan syairnya tanpa berfikir panjang. Seakan-akan tulisan itu sudah ada dari langit dengan tanpa harus berfikir beserta tulisannya begitu indah. Lalu diserahkan ke-pembeli.
“Silahkan mas! Tapi dilihat dan dibaca dulu! Maaf, menunggu lama!” suara Randa sedikit seperti memelas. Biar dikasiani dan takut nggak dibayar.
“Cepet sekali?” tanyanya heran.
“Iya, Mas! Kan sudah saya bilang, wahyunya turun!” Randa bernada agak sombong.
Pembeli melihat gambar, kemudian membaca syairnya dengan nada sedikit keras, seperti orang lagi baca puisi diatas panggung.
“Setangkai bunga kupetik dari sudut hatiku yang mawar. Betapa matangnya setangan kasih yang memberi dari kuburan perih. Inilah tanda untuk cinta. Inilah kesederhanaan yang kupunya. Memang mataku kadang berawan. Dan aku tak bisa mengatakannya bulan. Inilah tanda yang paling putih yang dimatangkan perih”
Randa dan Tuak Lii kemudian bertepuk tangan lalu menyanjungnya.
“Hebat, mas! Anak sastra, ya?” Tanya Tuak Lii.
“Bukan, Mas. Cuman suka sama puisi aja, tapi nggak bisa bikinnya”
“Oh, gitu” lanjut Tuak Lii.
“Puisinya mantap, Mas! Mas-nya pinter sekali bikinnya!” sanjung pembeli tersebut lalu membayar dengan lembaran sepuluh ribu dan lekas pergi.
Dia pergi tanpa kata lagi, mungkin terbungkam puisi atau terselimut rasa haru dihati. Padahal syair tadi dikutip dari buku yang dibeli Randa, karya azhar dari buku Mata yang Memberi. Dia kutip waktu kebelakang, bukannya kebelakang untuk buang hajat, tapi emang sengaja kebelakang buat ngutip buku. Karena kehabisan akal buat nulis puisi kayak gitu dan karena nggak pernah ngerasain pacaran. Jadi wajarlah. Terus yang bikin lama, ya ngehafalnya itu!


***


Hari menjelang sore, kartu baru terjual satu lembar, rasa putus asa menemani pikiran Randa. Sempat terbayang pepatah tua mengatakan, apabila kita bangun pagi maka rejeki nggak akan dipatok ayam, tapi kalau kita bagun kesiangan sisa dipatok ayam yang kita dapat. Kira-kira sperti itulah kata pepatah.
“Mas! Hari ini sepertinya rada sepi, karena daganganku belum banyak terjual!” keluh Randa.
“Makanya Rand! Besok kamu datengnya pagian dikit, atau bila perlu kamu datang sebelum matahari terbit. Biar semua rejeki ayam bisa kamu ambil, terus kamu makan ayamnya karena ayamnya sekarat nggak dapet makan!” Tutur Tuak Lii ngeledek.
“Ahh! Tuak Lii pedes!”
“Cabe, kalik pedes!”
“Terus, saya harus gimana biar cepet terkumpul anggarannya?”
“Gini aja Rand! Coba kamu jemput bola!”
“Maksudnya?”
“Maksud saya, kamu datangi tempat-tempat yang menurut kamu prospeknya bagus buat daganganmu. Misalnya, kamu nongkrong didepan gerbang sekolah atau diparkiran dan taman kampus yang tempatnya banyak orang, mungkin mereka tertarik dengan daganganmu!”
“Bener juga, bang! Tapi, kira-kira ada yang mau nggak ya?” Randa ragu.
“Eh, cuy! Hidup harus optimis, jangan takut untuk mencoba. Allah SWT akan sangat senang dengan hambanya yang mau berusaha, maka tidak ada yang tidak mungkin didunia ini. Semua bisa saja terjadi atas kehendakNYA, tapi jangan lupa sama lima waktu yang wajib kita lakukan, sambil berdo’a juga. Oke!”
“Oce! Terus, untuk yang disini gimana?”
“Kamu juga harus pinter ngatur waktu, dong! Misalnya, skedjuel senin sampai kamis kamu jemput bola sambilan promosi tempat tangkringan kamu disini kalau kamu nangkring dari hari jum’at sampai minggu. Nah! Sekalian, kamu bisa juga beramal!”
“Ber-amal?”
“Iyalah! Kalok pelanggan kamu kesini, nggak mungkin-kan semuanya nggak ada yang melirik dagangan saya!” Tuak Lii sambil nyengir.
“Oh, gicu! Ok! Mulai besok, saya jemput bola!”
Matahari menukik dibarat, adzan ashar udah berlalu. Mereka mulai merapikan lapak dagangan karena udah waktunya untuk pulang. Sembari merapikan, Randa berfikir kemana arah tujuan esok, lalu harus bagaimana besok sedangkan sekolah dan tempat tinggal dia sangat jauh, harus dua kali naik angkot.
“Bang! Abang punya sepeda nggak?” tanya Randa.
“Buat apa?”
“Mau saya pinjem, untuk saya pake keliling sekolah-sekolah. Biar hemat bang! Goes sepeda!”
“Ada! Tapi kamu sanggup goes segitu jauhnya?”
“Harus sanggup bang! Demi cita-cita!”
“Ya, udah!  Ntar pulang bareng aja, biar kamu bisa langsung pake sepedanya”
“Ok, boss! Makaci”
Bersama mereka pulang kekontrakan Tuak Lii, disana mereka disambut oleh istri dan anak-anak Tuak Lii melompat kearah orang tua yang baru pulang kerja. Cumbu rayu antara orang tua dan anak mengingatkan Randa pada sosok seorang Ayah kala ia kecil.
Tuak Lii memperkenalkan Randa ke-keluarganya, keramahan keluarga kecil itu membuat Randa merasa nyaman. Kopi dan kue khas daerah disuguhkan oleh sang istri, tanda penghormatan terhadap tamu. Inilah kelebihan kita sebagai orang Indonesia yang tak dimiliki negara lain.
Kalau diNegara lain, jika kita ingin bertemu kita harus membuat janji temu dulu atau janji kunjung terdahulu, baru kita bisa bersua. Sekalipun itu terhadap saudara dan orang tua. Demikian yang diceritakan sodara saya yang ada di-German. Kalok saya! Nggak tau persis karena belum pernah keluar Negeri.


***


KAYUH! KAYUH! KAYUH! Pagi sebelum sinar matahari membakar diri, Randa asik mengayuh sepeda menuju SMA 3 Mataram, perjalanan yang sangat jauh. Alasanya karena sekolah tersebut sangat strategis dan berada diantara sekolah-sekolah yang lain, juga berada dekat dengan kampus Universitas Mataram. Jadi menurut dia, jika ingin pindah tempat bisa ngayuh dan jaraknya nggak bikin betis teriak minta tolong.
Jam delapan pagi, ia tiba tepat didepan pintu gerbang sekolah, menyandarkan sepeda dipagar disamping selokan. Menggelar tikar ukuran satu kali satu meter, setengahnya untuk jajalkan dagangan, setengahnya lagi tempat tongkrongannya dia.
“Hey! Ngapain kamu disitu?” Tanya Satpam.
Randa terkejut karena mendengar suara itu dari belakangnya.
“Maaf, pak! Saya numpang jajalkan dagangan disini sambil nunggu jam istirahat anak sekolah” Tutur Randa pelan dan sopan.
“Tidak bisa! Disini area steril buat pedagang”
“Sebentar aja, pak!”
“Tidak bisa! Cari tempat lain! Kalau tidak, saya bongkar!” Nadanya tinggi.
“Alasannya kenapa, pak?” tanya Randa.
“Karena disini area sekolah!” katanya sambil menunjuk tempat dagangan Randa.
“Baik, saya pindah!” Randa kecewa.
Dia lalu membereskan dagangannya dan pindah keseberang jalan tepat didepan gerbang sekolah yang jaraknya kurang lebih empat meter dari tempat tadi. Tak lama kemudian Satpam tadi datang menghampirirnya lagi.
“Saya sudah bilang, jangan jualan disini!”
“Emang apa yang salah dengan saya berjualan disini?” tanya Randa lagi.
“Tadi sudah saya jelaskan, atau mau secara kasar?” Satpam tadi marah.
“Tunggudulu! Tunggudulu!” Kata Randa sambil mengangkat kedua tangannya. “kita bicarakan baik-baik” lanjut Randa sambil menggiring Satpam kepinggir jalan, biar nggak ditabrak kendaraan.
“Begini, pak! Tadi bapak melarang saya karena saya berada diarea sekolah! Saya mengerti. Nah! Sekarang bapak melarang saya lagi dengan alasan yang sama! Tanya saya atas dasar apa anda melarang saya berdagang disini?” tanya Randa sambil menunjuk tempat dagangannya, meniru yang dilakukan Satpam tadi.
“Karena sepanjang jalur ini dilarang berdagang dan juga karena aktifitas anda bisa menyebabkan siswa keluar dari halaman sekolah untuk melihat dagangan anda dan bisa membahayakan mereka”
“Begini, bapak Satpam yang terhormat!” sok bijaknya Randa “Tolong tunjukan peraturan pemerintah yang mengatakan kalau jalur ini dilarang untuk berniaga atau sejenisnya, lalu kenapa rombong yang disana dibiarkan untuk berdagang?” tutur Randa sambil mengarahkan telunjuknya kerombong yang berada nggak jauh darinya.
“Itu beda!” kilahnya.
“Apanya yang beda, pak! Dia dan saya sama-sama berdagang. Malah dia yang setiap hari disini, sedangkan saya hanya sekali seminggu bakal kesini. Karena besok saya bakalan kesekolah yang lain untuk hal yang sama juga” bicara Randa tenang.
“Kamu, sok tau! Mau saya hajar?” Satpam tambah panas karena merasa digurui.
“Silahkan, pak! Bapak tinggal pilih! Pipi kanan atau pipi kiri saya? Tapi, kita hidup dinegara hukum, jangan harap saya akan melepaskan anda!”
“Kamu mengancam?”
Suasana sangat panas, tunggu lempengan berbenturan bakal gempa.
“Saya tidak mengancam, pak! Nggak ada gunanya saya ngancam bapak, saya masih mau sekolah! Dan juga, saya hanya menjelaskan akibat yang akan bapak lakukan kesaya!”
Mendengar kata Randa yang mengatakan masih ingin sekolah membuat dia bertanya-tanya.
“Kamu sekolah dimana?” nadanya turun.
“Saya kemarin, sekolah diSMK Muhammadiyah Mataram. Tapi sekarang sudah di-DO dan dibekali surat pindah”
“Oh! Pantes kamu kurangajar dan cukup pantas juga kamu dikeluarkan!”
“Jangan berkata seperti itu, pak! Biar saya jelaskan kenapanya!”
Dia menjelaskan kronologis hidupnya hingga sampai dia berdiri dihadapan pak satpam. Suasana mereda karena penjelasan sedikit agak panjang. Hikmahnya, tidak semua permasalahan itu dapat terselesaikan dengan kekerasan, tapi dengan berbicara semua bisa diatasi. Bagi yang mengerti, kalok nggak ngerti ya! Lemboade kata orang Bima.
Kemudian satpam itu pergi ketempat kerjanya, ke-POS istana peraduannya. Lonceng istirahat sekolah berbunyi, siswa berhamburan keluar kelas. Ada yang ditaman bersama teman-temannya. Ada yang asik dengan bukunya. Ada yang berduaan, kesempatan jam istirahat. Yang banyak lagi, ada yang memenuhi kantin.
Kehidupan sekolah seperti itu, membuat hati Randa bersedu. Kangen akan sekolah, menyesali yang pernah terjadi. Tapi dia optimis bakal sekolah lagi.
Lalu siswa tak satupun keluar dari halaman sekolah hingga jam istirahat selesai, karena aturan sekolah melarang keluar halaman sekolah, kecuali dengan alasan tertentu dan seijin satpam.
Terpaksa Randa harus menanti waktu pulang, untuk memastikan hasil kerjanya ditempat itu. Sembari menunggu waktu pulang sekolah, ada juga beberapa orang yang lalu lalang mampir karena penasaran.
Sekedar melihat-lihat, menurut dia sesuatu yang menguntungkan, karena menjadi daya tarik bagi orang lain. Rasa penasaran orang terhadap kerumunan menjadi peluang lebih, sekalipun belum ada satupun laku. Dia tetap optimis dan yakin bahwa Tuhan takkan buta akan usaha hambanya.
Memang Tuhan takkan buta, sekalipun untuk mengawalinya sangat pahit. Jam pulangpun berdering, siswa berhamburan lari keluar sekolah, angkot-angkot parkir didepan gerbang sekolah. Randa masih ditempatnya, duduk diatas bangku kecilnya, topi couple miring dikepala dan sebatang rokok yang baru dibeli, nyelip diselah jari. Sesekali dihirup dan dihembuskan asapnya.
Sebatang rokok itulah yang menemaninya, menanti pembeli menghampiri daganganya, kemudian beberapa siswa yang berdiri menanti angkot penasaran akan karyanya yang terlihat tak lazim. Tak semua hanya melihat saja, ternyata ada juga seorang siswa mencoba untuk membeli.
Tak perlu bertanya harga, karna sudah terpampang papan harga diatas tikar.
Rp. 3000 ,SYA’IR karangan sendiri.
Rp. 5000 ,SYA’IR dari penjual.
“Bang! Saya pesan satu. Tapi kata-katanya motifasi untuk belajar ya!” tanya seorang siswa.
“Ok!”
“Tapi harganya dikurangin dong? Jangan lima ribu tapi empat ribu. Biar seribunya buat saya bayar angkot buat pulang!”
“Okelah! Nggak apa-apa, buat penglaris!”
Lalu Randa melukiskan raut wajah mirip pembeli tadi yang lagi duduk dibalik meja dengan pena tersemat dijemari. Melihat gaya Randa, para siswa terkagum-kagum.
WUIIIIIH!!! KEREN ABIS BANG!!!!  Kata para pengunjung yang melihat tarian jari-jemari Randa bermain bersama kuas dan warna. Kemudian dia menulis kata motifasi dengan gaya huruf Brush Script MT .
“Mbak! Sudah selesai!” kata Randa menyodorkan kartunya.
“Makasi, bang! Lukisannya keren, abis! Terus motifasinya membuat saya termotifasi. Terimakasih, nih! Uangnya bang. Jangan lupa kembaliannya ya!” katanya menyodorkan uang lima ribu sambil senyum.
“Iya, sama-sama!” kata Randa dan membalas senyumnya.
Melihat hasil karya Randa, membuat yang lain menjadi tertarik untuk memesan. Ada juga yang memesan tapi nggak ada uang, terus Randa mengarahkan agar dia bisa ketemu lagi minggu depan ditempat yang sama diwaktu jam istirahat.
Cukup ramai tongkrongan Randa, itulah hasil dari buah kesabarannya menunggu. Setelah suasana sepi, siswa pagi pulang dan siswa siang masuk kelas. Randa-pun pindah kesekolah yang lain.


***


Selepas dari SMA 3 Mataram lalu Randa mengayuh sepedanya menuju SMK 3 Mataram, dimana sekolah ini dijuluki sama para jombolo yang tidak bertanggung jawab sebagai serambi bidadari. Kenapa? Karena sekolah ini lebih banyak kaum Hawa-nya dibanding kaum Adam-nya, makanya banyak para pelajar sering nangkring diwarung-warung depan sekolah. Buat nugguin kekasih hatinya dan ada juga jombolo yang datang buat godain bidadari yang keluar dari sekolah, harap-harap bisa jadi gandengannya.
Ya seperti itulah gambaran saya tentang salah satu sekolah favorit diMataram, termasuk favorit saya sama temen-temen dulu. Ups! Jangan berfikir kalau kami favorit karena banyak bidadarinya ya! Kalau kalian berfikir seperti itu, maka pemikiran kalian nggak salah.
Ups! Peace-peace pak kepala sekolah, jangan marah karena membaca cerita ini. Saya hanya becanda.
Ok, guys! Kita kembali kecerita.
Setelah tiba diserambi bidadari, langsung saja. Randa menggelarkan tikar lalu menyiapkan dagangannya tepat disamping gerbang sekolah sambil mencari tempat yang teduh. Maklum hari sudah tinggi, jadi matahari menguasai hawanya.
Bedannya disekolah ini, satpam nggak seperti yang tadi. Satpam disekolah ini cukup mengerti, dan yang mereka pikir. Paling mahasiswa yang lagi jajal dagangan buat nambahin biaya kuliah.
Suasana sepi karena siswa masih belajar, yang ada hanya mahasiswa yang lalu-lalang. Daerah ini sangat dekat dengan area kos-kosan, jadi wajarlah mereka sibuk dijalur ini dan jalur ini dipenuhi dengan warung-warung murah-meriah. Pass! Untuk kantong para siswa dan mahasiswa. Jalurnya sangat padat kendaraan, jadi kalu nyebrang harus hati-hati.
Pukul tiga sore lewat, adzan ashar. Waktunya sholat ashar. Randa sholat dimushola didalam sekolah, sholat berjamaah bersama para guru dan murid. Selepas sholat dia keluar dan menemukan dagangannya lagi dikerumuni siswa, tapi dia malah melewatinya. Berjalan lurus kearah warung didepanya.
Lapaknya dicuekin, para siswa mencari-cari pemilik lapak karena ada salah seorang siswa yang pernah membeli kartu waktu dipasar. Jadi dia kenal bentuk kartu yang mereka lihat. Sedangkan pemiliknya lagi asik makan didepan warung. Soalnya daritadi belum makan siang.
Melihat dagangannya dikerumunin orang, takut ditinggal pergi ia segera menyelesaikan makannya. Selesai makan kemudian kembali ketempat.
“Permisi mbak! Saya mau duduk. Ada yang bisa saya bantu?” Kata Randa.
“Eh, Mas! Darimana aja? Kita cariin dari tadi!” Kata salah seorang siswa.
“Maaf, Mbak! Tadi saya makan siang sehabis sholat ashar. Ada yang bisa saya bantu” Tutur Randa ramah.
“Iya, Mas! Ini, kita pengen pesan kartu. Bisa jadi sekarang nggak?”
“Bisa! Berapa banyak dan siapa saja?”
“Saya” “Saya” “Saya” Kata para-siswa berebut.
“Upss!! Tenang! Tenang! Biar satu-persatu! mau yang tiga ribu atau yang lima ribu?” tanya Randa.
“Saya yang tiga ribu, ini syair saya” kata salah satu siswa.
“Saya yang lima ribu, ini judulnya” kata yang lain.
“Saya juga sama yang lima ribu. Nih! judulnya” kata yang lain lagi.
“Kalok saya yang tiga ribu aja, deh! Tapi ntar, saya nulis dulu syairnya” kata yang satunya.
“Saya sya’irnya yang terbaik, deh! Tapi gratis, nih judulnya” kata salah seorang siswa sambil menyodorkan selembar nota tentang judul sya’irnya.
Randa tersenyum mendengar kata itu, lalu dia mendongak kearah sumber suara. Yang dia dapat senyum manis seorang gadis yang dikenal.
“Hey! Dewi!” tutur Randa terkejut sembari mengambil nota yang disodorkan.
Begitu banyak pesanan namun bell masuk sekolah berbunyi. Siswa lekas ingin pergi.
“Mas! Tunggu kita sepulang sekolah, ya?” kata salah seorang siswa.
“Pulang sekolah nanti harus selesai, yaaa?”
“Ok, tapi jaminannya?” kata Randa.
Lalu para siswa membayar kartunya sebagai jaminan.
“Punyaku juga harus selesai, loh! Rand! Baca baik-baik notanya” kata Dewi.
“Ok, Wik!” balas Randa.
Para siswa lekas beranjak pergi ke-kelas masing-masing, sedangkan Randa tersenyum setelah membaca nota pemberian Dewi. Satu-persatu kartu diselesaikan untung saja persediaan kartu yang dibawa cukup banyak. Jadi dia tidak terlalu khawatir. Sya’ir-sya’ir yang dipesan cukup rumit, untung juga dia punya stok buku sya’ir yang selain di-otaknya.
Sya’ir yang ada didalam buku, lumayan membantunya dalam bekerja jadi dia tidak perlu terlalu khawatir.
“Alhamdulillah, hamba bersyukur atas nikmat dan rizki yang engkau berikan Ya Allah SWT” kata Randa dalam hati sembari mengerjakan tugas dari parasiswa.
Kemudian datanglah seorang mahasiswa, ia lalu duduk disamping Randa yang lagi asik dengan gawe-nya. Memperhatikan kegiatan Randa, melihat satu demi satu hasil karya Randa. Membuat dia tertarik, terkagum-kagum.
“Mas! Asli mana?” Tanyaknya.
“Kenapa, Mas?” Tanya balik Randa.
“Pengen tau aja, Mas!”
“Kalau ditanya asli? Saya asli Indonesia!” kata Randa sambil kerja.
“Yang lebih spesifik dong, Mas?”
“Saya nggak ngerti bahasa ilmiah, kalau bahasa Indonesia saya ngerti. Maklumlah, saya nggak sekolah!” terang Randa santai.
“Ah, Mas! Bisa aja. Nggak mungkin Mas nggak sekolah, kalau nggak sekolah nggak bakalan bisa baca dan tulis, dong! Mas!”
“Ya, sekolah. Tapi nggak setinggi Mas-nya, saya hanya sampai SMP saja Mas! SMA-nya belum. Jadi untuk bahasa seperti itu, menurut saya berat mikirnya”
“Mas, pernah ikut Drama, ya?”
“Nggak! Kenapa?”
“Kok, candaannya beruntun kayak pelawak!”
“Bushet,dah! Satu kosong!” kata Randa dalam hati “Saya serius loh, Mas!”
“Saya juga serius, tapi seiusnya kamu kenapa?”
“Iya! Saya serius, karna Mas mirip juri di API!”
“Api? Panas, dong! Maksudnya?”
“Mas itu mirip juri di Akademi Pelawak Indonesia yang suka seleksi pelawak!”
“Hahahaha, kamu bisa adja. Satu sama dong! Sudahlah kita serius adja” katanya.
“Emang! Kita nggak serius dari tadi?”
“Udah! Saya nyerah deh! Gini, karya kamu tergolong unik, gimana kalau kamu nongkrong dihalaman kampus UNRAM tepatnya di-fakultas Seni? Itupun kalok kamu ada waktu, besok?” ajaknya.
“In syaa Allah. Tapi pagi sampai jam sepuluh ya, Mas?” Kata Randa.
“Ok, deh! Besok saya tunggu” lalu dia pergi.
“Ehh! Mas! Main pergi aja” panggil Randa.
“Kenapa, Mas?”
“Tak kenal maka tak sayang. Gitu kata pepatah. Saya nggak mau nongkrong disana, tanpa saya tau nama anda! Ntar saya diusir sama Satpam!”
Dia malah ngakak. “Nama saya SUDIRMAN tapi panggil saja dengan nama ASNI!”
Randa bengong, diatas kepalanya berputar tanda tanya yang banyak.
“Hey, jangan bengong. ASNI itu nama panggilan saya, singkatan dari Anak SeNI. Anak kampus, kenal saya dengan nama itu!” lanjutnya menjelaskan.
“Oh, gitu! Saya pikir, Mas rada-rada cucok!” kata Randa sambil nyengir.
Dia membalas dengan senyum juga “Banyak yang bilang gitu, tapi itu ciri has saya, jadi gampang di-ingat! Kalau kamu?”
“Panggil saja saya RANDA!”
“Apa itu singkatan?”
“Kalok singkatan, artinya RemajA iNDonesiA. Nama asli saya TONGGERANDA. Jadi panggil saja Randa. Ok?”
“Sipp!!!!” sambil menunjukan jempolnya, lalu pergi.
Tak terasa lama berbincang dengan Asni, ternyata bell sekolah berbunyi. Menandakan waktu belajar hari itu selesai. Haripun sudah sangat sore, jingga mulai terlihat dilangit sebelah barat.
Siswapun berhamburan keluar, seperti sudah terhipnotis. Angkot parkir berjejer didepan gerbang sekolah. Tak ingin kalah saing, ojek-pun melintang parkir dibahu kiri jalan. Tapi Randa tak tersaingi, dikerumuni para-siswa yang sibuk menagih miliknya dari Randa.
 Ucapan terima kasih menghujani, ada pula yang protes karena tidak sesuai dengan keinginan. Namun tak sebanding dengan kata terimakasih.
“Sabar Rand! Itu hal yang wajar” kata Dewi sambil menepu-nepuk pelan bahu Randa.
“Yang membuat saya sedih, bukan karena letih yang saya rasa dan bukan karena upah yang kukembalikan. Tapi saya sedih, karena saya tak bisa membuat dia senang oleh karya saya” keluh Randa.
“Nggak semua orang bisa kita bikin bahagia! Karena kebahagian itu bukan sekedar dari keinginan saja, tapi dari bagaimana kita bisa mengerti orang lain dan dimengerti oleh orang lain” kata Dewi.
“Makin puitis aja kamu, Wik!” kata Randa.
“Emmm!! Mulaideh! Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Punyaku mana?”
“Iya, lupa!” Randa sambil senyum.
“Haaaa!!!! Lupa?” kening Dewi mengkerut.
“Maksudnya, lupa saya kasih!”
Dewi mencubit lengan Randa.
“Emang, mau dikasih apa?” tanya Randa.
“Kasih punyaku, lah! Mana! Sini pesananku?” pinta Dewik sembari menadahkan tangan.
“Saya kira kamu minta dikasih-sayang!”
KEDEBUUUKKK!!! Suara bahu Randa karena mendarat telapak tangan Dewi yang dibarengi dengan kata GOMBAALLL!!! Keluar dari bibir manisnya.
Randa-pun memberikan yang diminta Dewi. Diapun tersenyum setelah membaca kata-kata yang ada dalam kartu.
“Nggak usah senyum dan jangan dibaca berkali-kali” kata Randa.
“Masalah! Buat, loh!”
“Ya, iyalah masalah! Masalahnya ntar orang bertanya-tanya ngeliat saya berdiri sama orang yang senyum-senyum sendiri, lalu kalo kamu baca terus. Ntar kam... Aaoooo” belum selesai Randa melanjutkan kata-kata, dia udah menjerit kesakitan karena perutnya dicubit Dewi.
“Nggak usah diterusin. Pasti kamu mau bilang, entar kamu kangenkan. Ayo!”
“Saya nggak ngomong gitu loh, Wik! Tapi hatimu udah mengatakannya”
Cubitan bertubi-tubi bersarang ketubuh Randa. Entah karena malu atau salah tingkah Dewi, sehingga dia melakukannya.
“Udahlah, Wik! Malu dilihat orang!”
“Biarin!!” kata Dewik lalu menghentikannya. “Rand! Besok ada wanktu nggak? Temeni saya ke-MP. Mataram Plaza maksudnya! Tapi sepulang sekolah ya?”
“Ok! Tapi gratisan, loh!” kata Randa
“Iya! Dasar matre! Besok kamu masih mangkal disini?” tanya Dewi.
“Nggak! Saya ditempat lain. Pokoknya besok saya tunggu disini sepulang sekolah, tenang aja! Tapi kamu sekolah pagi apa siang sih?”
“Keppo!” kata Dewi sambil menjulurkan lidah.
Dewi lalu pergi, karena udah dijemput Deni. Sang pacar! Randa kemudian berbenah untuk segera pulang. Adzan Magrib bentar lagi berkumandang, dia mikir mau pulang tapi jauhnya minta ampun. Tapi untung, disamping sekolah tadi ada PUL Bus PO. JAKARTA INDAH milik kakak dari Mama Randa. Jadinya dia nginap semalam disana.
Membersihkan diri, kemudian menghitung hasil hari itu dan menggabungkan dengan hasil-hasil yang lalu.
“Allhamdulillah, hampir satu juta. Berarti kalok minggu ini kerja keras, minggu depan saya bisa mendaftar kesekolah baru. Ternyata emang bener kata Tuak Lii kalok kita berani jemput bola, in syaa Allah pintu rizki lebih terbuka” Randa berbicara sendiri setelah menghitung uangnya yang telah terkumpul.





















Case 7. JANJI TEMU!

Kicau burung bersahutan diantara pepohonan yang rindang! Saking rindangnya matahari tak sanggup untuk mengintip. Sejuk dan tenang suasana pagi didepan fakultas seni UNRAM! Randa duduk bersila, bertemankan kopi hangat yang baru dibeli depan gerbang kampus, sambil membaca buku puisi yang belum kelar dibaca hingga halaman akhir.
Diatas rerumputan hijau yang masih basah oleh embun! Kampus belum begitu ramai karena dia datang terlalu pagi, datang untuk bertemu ASNI si-anak seni, dan sekalian nongkrong buat jajalkan dagangannya. Berharap! Mungkin ada yang tertarik dengan karyanya.
Kampus mulai terlihat hidup setelah beberapa mahasiswa datang duduk dibangku-bangku taman. Bercanda bersama teman, berbagi cerita, bertukar pikiran.
“Hay, Rand!” sapa Asni si-anak seni.
Randa hanya senyum.
“Dari tadi?” tanyanya.
“Lumayan, lah!”
“Planing hari ini apa?”
“Hari ini terlalu banyak planing, As! Termasuk memenuhi undanganmu. Tapi! Dalam rangka apa saya di-undang kemari?” tanya Randa.
“Oh, iya! Saya ngajak kamu kemari karena kami mau rapat untuk pementasan!”
“Lalu hubungannya dengan saya, apa?”
“Ya, karena kami akan mengajak kamu untuk bergabung!” katanya.
“Aduh! Saya ini pelajar yang terancam putus sekolah, jadi tak pantas untuk ikut bergabung dan juga saya harus memenuhi target saya minggu ini!”
“Target! Maksudnya?”
“Ya! Saya harus bekerja, agar saya dapat melanjutkan sekolah. Tapi saya sangat senang karena kamu mau ngajak saya! Sebelumnya bolehkah saya tau? Pementasan apa yang sedang kalian kerjakan?”
“Kami sedang menggagas sebuah pementasan seni teater, yang didalamnya ada satu peran yang cocok buat kamu”
Randa senyum. “Apakah harus saya? Sedangkan saya belum pernah bermain teater!”
“Saya tertarik dengan karya kamu yang suka bermain dengan sya’ir, jadi saya berharap kamu bisa membantu saya!”
“Salah jika kamu meminta bantuan pada saya yang hanya anak kemaren sore!”
“Jangan merendah seperti itu, Rand! Saya tau kalau kamu punya bakat yang terpendam!”
Randa ngakak! “Kamu terlalu berani berspekulasi! Saya hanya penjual kartu jalanan yang membuat sya’ir tak seratus persen hasil karya sendiri. Jadi saya mengatakan kalau kamu salah orang!”
“Udahlah! Pokoknya kamu ikut rapat aja, biar tau dan siapa tau kamu tertarik. Karena saya nggak bisa terlalu memaksa”
“Planing saya bertemu denganmu hanya sampai jam sepuluh, karena selepas itu saya harus jualan!” kata Randa sambil menyeruput kopi!
“Ok, makasih! Nih dicoba! Tapi linting sendiri” Asni menyodorkan tembakau asli lombok beserta kertas rokoknya.
Lama berbincang! Satu persatu teman Asni datang dan diperkenalkan ke-Randa! Kemudian rapat mereka mulai. Skeduel kerja mereka begitu padat karena waktu pementasan nggak akan lama lagi.
Randa juga sedikit terbawa arus pembicaraan, namun ada yang mengganjal dipikiran dia. Tentang naskah pementasan, menurutnya ada yang kurang.
“Gimana menurut kamu, Rand?” tanya Asni.
“Bagus! Boleh saya rtanya, As?”
Asni mempersilahkan dia untuk berbicara.
“Begini temen-temen! Sebenernya nggak pantas saya untuk berbicara, tapi mendengar naskah kalian! Seperti  sebuah sindiran! Yang menjadi pertanyaan saya! Tujuan dari pementasan ini apa? Lalu target perhatiannya siapa dan untuk apa?”
“Gimana! Ada yang ingin menerangkan?” Lempar Asni ke-forum.
Forum mengembalikannya ke-Asni karena dia penggagas acara.
“Baiklah! Begini Rand! Tujuan pementasan ini yang pertama adalah eksistensi dari komunitas kami, agar bisa lebih dikenal. Kedua! Target kami adalah tokoh masyarakat, dimana kami memperkenalkan seni teater kepada mereka. Lalu yang terakhir! Kami  menyindir kinerja pemerintah yang kurang peduli terhadap masyarakat, dalam bentuk program-programnya, yang tak pernah melihat langsung keadaan dilapangan. Begitu Rand!”
Randa jadi bingung, terjebak oleh pertanyaannya sendiri.
“Kalok menurut saya! Naskah yang kalian bawa sangat bagus, tapi dengan naskah seperti itu kalian mengkritik pemerintah terlalu berlebihan, itu yang pertama! Kedua! Dengan naskah ini kalian memperlihatkan bahwa komunitas kalian adalah komunitas yang anti pemerintah! Kenapa? Karena kalian memperlihatkan sisi buruk pemerintah saja. Jadi pandangan orang dan juga pemerintah bakal negatif terhadap kalian. Alhasil! Mungkin untuk pementasan pertama dianggap bagus. Kedua! masih dianggap sama. Ketiga! orang akan bosan” terang Randa dengan serius.
 “Seperti itulah pandangan orang. Itu menurut saya! Anggap saja saya salah satu dari orang yang ada dibawah panggung pementasan kalian” lanjut Randa menggurui sembari melinting tembakau.
“Lalu, menurut kamu harus gimana?” tanya salah seorang anggota forum.
“Apa naskah ini harus diganti? Sedangkan pementasan sebentar lagi!” tanya Asni.
“Nggak harus diganti, tapi cukup dipoles dikit aja!”
“Contohnya?” lanjut Asni.
“Contohnya! Dalam naskah Sang Raja Nusa Tenggara ini, kalian tampilkan sang raja hanya sekali dua kali saja. Misal! Sesi pertama! Sang raja tampil sebagai pahlawan yang penuh dengan janji-janjinya! Kemudian tampilkan dia disesi yang lain sebagai raja pecundang, diselimuti alibi-alibi nggak jelas! Lalu disesi pamungkas sang raja! Jadikan dia raja yang nggak ada artinya bagi rakyat. Itu sudah cukup menampar! Untuk yang lain perbanyak cerita realis yang menghibur. Seperti candaan rakyat yang menggelitik perut penonton. Karena penonton butuh hiburan bukan keseriusan, kalok penonton ingin serius! Mereka bakal nonton berita, buat apa nonton teater kalok harus serius seperti nonton berita”
Mereka semua terdiam. Padahal Randa nggak pernah nonton bahkan maen teater.
“Ok, cui! Saya tinggal, karena waktunya saya keparkiran kampus! Mau menjajalkan dagangan” pamit Randa karena ngelihat suasana udah beda.
“Buru-buru, Rand!” kata Asni.
“Ngerti ajalah, As! Lain kali kita bersua lagi”
Setelah berjabat tangan ala anak kuliahan, dia pun segera menuju parkiran kampus yang nggak jauh dari tempat mereka nongkrong tadi. Menggelar tikar dan menyiapkan alat-alat kerjanya, nggak lupa sepeda ikutan diparkir bersama motor-motor yang ada.


***


Tak lama nangkring, lagi-lagi satpam mendatanginya. Sama seperti waktu disekolah kemarin. Tapi alasan Randa diterima dengan baik, karena bawa-bawa nama Asni dari fakultas seni.
Asni adalah tipe anak yang ambisius dalam menggapai tujuan dan keinginannya. Postur tubuh cukup tinggi diatas Randa, tepatnya dengan tinggi kurang lebih seratus delapan puluh, rambut gondrong sedikit ikal seperti halnya anak kuliahan, raut asli Indonesia.
Terlihat dari tempat duduk Randa, forum mereka berhenti dan bubar, lalu Asni berjalan kearah Randa yang lagi asik sama mainannya. Begitu pula dengan anggota komunitas Asni yang penasaran dengan aktifitas Randa, sirambut cepak yang disisir miring kekiri. Model rambut yang jarang ada dijaman itu. Ciri khas Randa yang suka berpenampilan berbeda dari yang lain.
“Udah bubar rapatnya?” tanya Randa pada Asni yang langsung duduk disampingnya..
“Udah! Sekarang saya bantuin kamu” kata Asni.
“Tank’s, brooo!”
Beberapa orang menganggap mainan Randa cukup aneh, ada yang cuek dan lebih banyak numpang lewat. Tapi nggak semua dari mereka lalulalang doang, ada juga yang sempatkan waktu buat jongkok dan berdiri ngeliatin Randa sedang asik bermain dengan kuas.
“Rand! Kamu bisa bikin sya’ir satu tentang sajak kasih sayang?” Tanya Asni.
“Untuk siapa?” Tanya balik Randa.
“Untuk-ku!”
“Jangan becanda, As! Kamu anak seni, malah minta sajak dari saya! Kamu mau permainkan saya?”
“Tidak, Rand! Nggak ada niat saya seperti itu. Malah saya akan jadikan sajak itu sebagai motifasi saya untuk pementasan yang akan datang”
“Haruskah sajak itu saya buat?”
“Harus, dong!”
“Baiklah. Tapi, wani piro?” ucap Randa sembari menadahkan tangan.
“Kampret! Sama temen aja, prekengan!” Prekengan itu bahasa Sasak yang artinya itung-itungan.
“Iyalah! Soalnya lagi butuh”
“Emang sehari kamu bisa dapet berapa?”
“Emm!!” sambil mikir “Kira-kira, seratus sampai dua ratus ribu, itupun belum dipotong dengan ini-itu!” terang Randa.
“Bushet!! Lumayan, tuh!”
“Emang kenapa? Sampe nanya masalah pendapatan. Kamu mau jadi pegawai DISPENMA, dinas pendapatan mahasiswa?” kata Randa.
Asni nyengir “Kamu bisa aja! Maksud saya, saya akan membayar kamu hari ini sesuai pendapatan kamu, gimana?”
Tangan dan pikiran Randa terhenti sejenak.
“Kereen! Lagi banyak duit, nih? Atau banyak hasil nyawer?” tanya Randa.
Mereka berdua cekikikan.
“Tapi ada saratnya, Rand!”
“Apa, tuh?”
“Sehari ini, kamu harus bareng dengan saya. Maksudnya kita bertukar pikiran dalam segala hal. Terus, kamu harus mau ikut dalam pementasan yang akan kami gelar nanti! Gimana, Rand?”
“Sebelum saya meng-iyakan, saya juga punya persaratan dan pertanyaan, As! Pertanyaan saya. Jika saya ikut dalam pementasaan, saya akan dapat peran apa? Terus, Sarat saya, pembayaran harus dimuka. Alias cash! Biar saya tutup nih, lapak!”
“Dasar matre!” kata Asni.
“Kebutuhan, As!” kata Randa sambil nyengir.
Asni merogok kantong dan mengeluarkan isi dompetnya lalu menyimpan lembaran lima puluh ribu sebanyak dua lembar, tepat diatas dagangan Randa.
“Nihhh!!!!!” Raut Asni sepet.
“Ok, cui! Makasi”
Kemudian Randa membereskan dagangannya.
“Mas! Kok ditutup?” Tanya salah seorang mahasiswa yang dari tadi Cuma nongkrong dan liat-liat doang!
“Seeeorry! Lapak tutup karna undah diborong!” kata Randa kesel karena ditontonin doang.
Setelah barang dikemas rapi dalam tas! Kemudian digantung dibelakang tempat gandengan sepeda. Mereka siap-siap pergi tapi nggak lupa pamitan sama penggemarnya.
“Ok guys! Mai fans, see you tumoroks! Artinya sampai jumpa lain-lain kali, lah!” kata Randa.
Mendengar kata-kata Randa, orang-orang langsung diam terus dikepala mereka muncul tanda tanya yang berkedap-kedip. Karena mereka bingung sama bahasa inggris Randa, lain kata lain cerita.
Randa-pun pergi bersama Asni sambil menyeret sepedanya. Berjalan menyusuri hutan pinus yang ada dihalaman kampus, menuju asrama kampus yang jaraknya lumayan jauh dan bikin betis kayak nge-Gimes! Tempat orang fitnes maksudnya.
Setiba digedung asrama kampus, dibelakangnya berdiri sebuah banguan yang sudah ter-blok-blok. Tempat aktifitas para-mahasiswa, lebih jelasnya tempat organisasi mahasiswa. Ruang ormahas bagian seni berada dipaling pojok kiri lantai dua, berdampingan dengan ormahas pecinta alam sedangkan untuk ruangan senat mahasiswa dan dewan perwakilan mahasiswa berada dipojok kanan lantai dasar.
Randa memarkirkan sepedanya dan beranjak naik keruangan kerja Asni di-ormahas seni. Setiba dipintu ruangan, dia sempat berhenti! Karena melihat seorang mahasiswa yang lagi geal-geol dengan tangan terbuka menyandar diatas kening terus telapak kiri tepat dibelakang pantat. Persis seperti kabayan yang lagi manggil Om-Jin-nya.
Lalu dipojok terdapat seorang mahasiswa lagi menghadap sudut dinding sedang berbincang pada se-ekor laba-laba yang asik merajut sarang. “wahai serangga kecil, sungguh indah karyamu, anugrah sang pencipta...” sepertinya dia lagi dapet tugas dari Dosen seni untuk membuat sebuah puisi tentang serangga. Randa geleng-geleng kepala ngeliatnya.
Yang paling bikin Randa bengong! Ketika melihat seorang gadis yang lagi berhadapan dengan cermin. Seorang gadis itu menatap dirinya, terus ketawa terbahak-bahak, lalu menangis, kemudian terdiam, ketawa lagi, nangis lagi, terdiam lagi, begitu terus berkali-kali.
“Wahh, bahaya! Bisa ikut kesambet nih!” kata Randa diam.
“Ayuk, Rand! Masuk” ajak Asni.
“Di luar aja, deh!” jawabnya.
“Kenapa?”
“Nggak! Saya takut mengganggu konsentrasi mereka” kata Randa. Padahal dia risih, karena mereka ngalah-ngalahin orang gila.
Ruangan senat siswa sengaja berada bertolak belakang dengan ruangan ormahas seni. Karena tingkah dan kegiatannya seperti itu bisa mengganggu aktifitas senat siswa yang agak serius dan juga bisa dibilang sangat cius!
“Terus kita duduk dimana, Rand?”
“Dibawah, aja! Disamping pepohonan yang berada dekat asrama!” ajak Randa.
“Ok!!”
Merekapun lekas pindah tempat, sesuai dengan keinginan Randa.
“Anggota yang lain kemana, As?” Tanya Randa.
“Yang lain masih dikampus dan sisanya lagi berada diatas ruangan tadi, Rand!”
“Ok, deh! Sekarang kita fokus kepembahasan yang mau kita bahas”
Mereka memulai pembahasan, saling bertukar cerita, berbagi pengtahuan tentang teater. Tentang sejarah awal teater yang berdasar dari awal kata TEATRON. Pembahasan jadi semakin serius menuju ke-pembahasan naskah dan seterusnya sampai Randa membuat sebuah sya’ir yang diminta oleh Asni.
Oh ya! Saya lupa kenapa Randa bisa mengerti tentang teater. Dulu diwaktu SMP dia pernah membaca sebuah buku cetak yang berada diperpustakaan sekolah dengan judul ASAL MULA TEATER. Buku itu dia pinjam dan nggak pernah dia kembalikan sampai saat mereka duduk sekarang. Seperti itulah sejarahnya.
Cukup lama waktu mereka berbincang dengan berbagai hal yang dibahas. Randa clingak-clinguk keatas langit.
“Ngapain kamu, Rand?” Tanya Asni.
“Saya lagi nyari keberadaan matahari, saya takut dia kabur, soalnya dia tersembunyi oleh awan dan kayaknya mendung” jawab Randa.
“Sialan! Kirain apa! Baru jam lima, Rand!”
“Nahh!! Itu dia maksud saya, cuma pengen tau waktu aja!” katanya cius! “Kalok gitu, saya pamit dulu yah?” lanjut Randa.
“Loh! Kok cepet? Tadikan saya udah kontrak kamu untuk sehari ini!”
“Kamu kan kontrak saya sehari ini, bukanya seharian!”
“Apa bedanya, Rand?”
“Ya jelas beda, dong! Sehari, seharian dan hari ini. Dari kata aja beda, apalagi artinya!” ucap randa membingungkan Asni.
“Terus bedanya apa?”
“Bedanya, kalok sehari-ini itu dari pagi sampai sore, terus seharian itu dari pagi sampai sore terus malem. Nah! Kalok hari-ini artinya dua puluh empat jam penuh! Sedangkan kamu kontrak saya cuma sehari ini!” kata Randa lalu meraih sepedanya yang sedang terparkir.
Penjelasan Randa bikin Asni tambah bingung.
“Kamu mau kemana?” tanya Asni lagi.
“Saya ada janji temu yang lain. See youk tumoroks, yah!”
“Artinya, Rand?”
“Allllah!!” sambil mengibaskan tangannya “Sampai jumpa lain-lain kali waktu, lah!” kata Randa mengartikan bahasa inggrisnya kemudian pergi.
Sedangkan Asni dipenuhi dengan tanda tanya dan tanda seru yang mengitari kepalanya, kayak tokoh film kartun yang lagi pusing.


***


Janji temu yang dimaksud Randa adalah janji bertemu dengan Dewi, karena dia mau nemenin Dewi pergi belanja diMataram Plasa. Sebelum menuju sekolah Dewi, Randa sempatkan diri singgah diPUL bus Jakarta Indah.
Ehh, ternyata disana ada sepupu-nya lagi duduk dikursi tunggu depan kantor yang baru tiba dari Bima. Sepupunya terkejut melihat Randa yang datang sambil mengayuh sepeda.
“Ahyar! Kapan datang?” tanya Randa.
“Kamu darimana?” tanya balik Ahyar.
“Ada, deh! Saya numpang mandi, bentar!” tutur Randa sambil menyandarkan sepedanya.
Randa segera kebelakang untuk mandi karena setengah jam lagi Dewi pulang sekolah. Setelah mandi dia masih mengenakan pakaiannya yang tadi.
“An! Mana tas kamu?” tanya Randa sama Ahyar yang sering disapa AN!
“Kenapa?”
“Iya, mana?”
“Tuhh!!” kata Ahyar menunjukan tas rangselnya yang nangkring diatas kursi.
Randa-pun menggapai tas itu, dibongkar mencari-cari sesuatu.
“Ehhh!! Ngapain kamu bongkar tas saya?” tanya Ahyar kaget ngeliat isi tas udah berhamburan keluar.
“Nahh!! Ini dia!” kata Randa setelah menemukan barang yang dicari.
CHUUSS!! CHUUSSS!!  Suara parfum yang disemprotkan keseluruh kujur badannya.
“Ok, tanks brooo!!” sambil menyimpan botol parfum diatas meja dan beranjak keluar.
“Eeeeeeehh! Mau kemana?” tanya Ahyar sambil menarik baju Randa yang lewat didepannya.
“Mau pergi, ada janji!”
“Pergi sih pergi! Janji tinggal janji! Tapi jangan barang saya diberantakin kayak gitu, dong!” tutur Ahyar kesel.
“Upss!! Lupa!” telapak tangan Randa nempel dijidad dan kembali kedalam.
“Huhhhh!!” sambil duduk, kaki Ahyar terbang hampir nyerempet pantat Randa yang berjalan masuk untuk merapikan kembali isi tas Ahyar.
Seperti itulah salah satu candaan Randa bersama sepupunya.
“Ok, cui! Udah beres, sekarang ana cabut! Sekalian titip sepeda ya, An!”


***


Setiba dipintu gerbang sekolah Dewi! Ternyata masih sepi karena belum ada yang pulang. Tapi nggak lama dia nunggu, akhirnya bell sekolah-pun berbunyi dan rasa penat yang sedikit lagi menghampiri Randa telah pergi. Rasa penat karena menunggu.
Murid sekolah berhamburan keluar dari ruang-ruang yang dianggap menyiksa dan menguras pikiran mereka untuk belajar-belajar dan belajar. Padahal belajar bisa membuat kita mengenal dunia, bisa tau tentang apa yang kita tidak ketahui, bisa mengerti akan apa yang tak dimengerti. Bisa menjangkau hingga langit ketujuh.
Itulah salah satu manfaat dari belajar. Belajar juga bisa bikin kita melihat sisi dunia yang tak terlihat dan bahkan sisi dunia lain, uka-uka.
Kembali kecerita. Setelah murid berhamburan keluar yang diiringi dengan suara gemuruh sepeda motor para siswa. Dari jauh terlihat senyum yang terpancar dari Dewi karena melihat Randa sedang menantinya.
“Dari tadi, Rand?” tanya Dewi.
“Nggak juga!”
“Sepedahmu mana?”
“Saya titip ditempat temen!”
“Ya udah, lok gitu kita jalan ketempat jalur angkot”
sore-sore jalan sama temen emang asik, apalagi kalok temennya cewek, tapi kita juga jangan sampek lupa diri.
“Bay the way, Wik! Deni kok nggak diajak?” Tanya Randa.
“Deni? Dia lagi sibuk dan juga dia nggak pernah mau nemenin saya untuk pergi-pergi.”
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Rand! Jalannya agak kepinggir dikit, ntar keserempet motor, loh!”
Randa nurut.
“Sepertinya ada toko berjalan, Rand!”
“Mana? Toko apa? Kok nggak ada?” Randa sambil nyarik.
Sedangkan Dewi mengendus-enduskan hidungnya. Kayak kucing nyium bauk ikan.
“Iya, Rand! Ada toko berjalan”
“Toko apa?” Randa melihat Dewi sedang mengenduskan hidungnya.
“Ada toko parfum lewat, Rand!”
“Emmmm!!!” kata Randa setelah sadar kalok Dewi sedang mengendus karena aroma wangi ditubuhnya.
“Kamu wangi sekali, pake parfum berapa botol?” sindir Dewi sambil senyum.
Randa membalas dengan senyum “Sengaja, Wik! Biar nggak malu-malu-in. masak saya jalan sama bidadari kayak kamu beraroma sepet! Kan, nggak banget!” tutur Randa.
“Kamu bisa, aja! Emang saya bidadari?”
“Menurut saya, kamu adalah bidadari dihatiku” Randa sambil nebar pesona.
“Emmm!! Mulai deh! Gombalnyatapi Dewi tersipu malu.
Mereka menyebrangi jalan, menunggu angkot yang mengarah kearah tujuan yang mereka maksud. Angkot-pun tak kunjung datang, giliran datang. Eh! ternyata udah penuh. Berkali-kali angkot lewat dengan kondisi yang sama, penuh! Sedangkan waktu sudah semakin gelap.
“Nah! Ini dia, Wik!” kata Randa melihat angkot datang, dia lalu melambai-lambaikan tangannya berharap dapet tempat.
Angkotpun berhenti dan mereka naik. Didalam angkot penuh sesak, duduk berhimpitan, dipenuhi oleh pelajar-pelajar yang baru pulang sekolah. Tubuh Randa dan Dewi menciut karena berdesakan.
“Ada sebuah cerita, Wik!” kata Randa bersuara pelan.
“Cerita apa?” Tanya Dewi yang ikut bersuara pelan hampir mendekati bahasa isarat.
“Cerita tentang orang yang tak pernah beruntung!”
“Gimana ceritanya?” Dewi penasaran.
“Dia selalu mengeluh karena nggak pernah beruntung. Tapi, suatu ketika dia menaiki sebuah kendaraan yang kondisinya nggak jauh beda dengan saat ini” Dewi mendengarkan dengan serius “Ternyata, dia sangat lebih dari beruntung, katanya dalam hati”
“Kok, bisa?” Tanya Dewi.
Iya! Yang bikin dia sangat beruntung adalah ketika dia berhimpitan dengan seorang gadis yang sangat cantik seperti putri raja. Lalu dia berkata dalam hatinya, ya tuhan inikah salah satu kebahabagiaan yang akan kau berikan padaku”
Dewi bingung.
“Maksud saya, keadaan orang itu hampir sama dengan saya, terhimpit oleh gadis secantik kamu, membuat saya merasa sangat bahagia” lanjut Randa.
Dewi mencubit Randa sambil berkata dengan suara berbisik “Gombal! Gombal! Gombal!
Akhirnya mereka tiba juga ditempat tujuan.
“Kok cemberut, Rand! Nyesel yaa nemenin saya?” tanya Dewi ngeliat wajah Randa agak kusut.
“Iya!”
“Kok, gitu?” Dewi ikutan cemberut.
“Yang bikin saya nyesel, karena kita keburu turun dari angkot. Soalnya lagi asik tadi!”
Cubitan Dewi nempel lagi dibadan Randa. Lalu diraihnya tangan Randa kemudian diseret untuk nyeberang jalan dan lekas naik kelantai dua MP.
Disana, Randa menemani Dewi berbelanja kebutuhannya. Yang dibelanjain nggak seberapa, tapi yang dikelilingi malah hampir satu MP. Randa jadi bingung.
“Wik! Nyari apa lagi? Perasaan dari tadi kita keliling MP berkali-kali, malah yang dicari nggak dapet juga. Emang nyari apa?” tanya Randa.
Emang ya, kalok cewek udah belanja. Minta ampun! Yang dibeli Cuma secuil, tapi nyariknya yang naudzubillah!
“Saya, nyari rantai sama gembok. Nggak ketemu juga!” Dewi kesel.
“Mungkin, nggak ada kalik!”
“Padahal saya butuh, Rand!”
“Sabar, dah! Lain tempat mungkin ada”
“Kok, kamu nggak nanya saya buat apa?”
“Ngarep, yah? Biar saya kena gombalnya kamu, karena dari tadi kamu kegombal terus. Paling kamu mau bilang, kalok rantai dan gembok itu buat ngikat hati saya!” kata Randa sambil cekikikan.
Randa kena cubit lagi. Terus mereka berdua pada cekikikan.
Hari sudah malam, sedangkan diluar hujan deras. Mereka duduk ditangga depan MP sambil ngemil burger.
“Wik! Suasana hujan gini mengingatkan saya pada sebuah sajak, karya azhar dalam bukunya mata yang memberi cetakan pertama. Dengan judul sajak memandang hujan
“Bunyi sajaknya gimana, Rand?”
“Sajaknya seperti ini. SAJAK MEMANDANG HUJAN. karya Azhar. Dalam pelukan sejuk anginMu, aku mengail jejak usia, berapa jauh kebajikan tersemai dalam waktu, lalu meruah doa bagi kelam ketemu. Sebuah cermin tersangkut di kailku, cermin kitab suci penuntun kalbu, tiba-tiba aku memandang hujanMu, karena dinginnya menjadikan benciku pada jalan, panas ruh yang menjanjikan kepedihan. Ah, mengental juga cinta, untuk menghanyutkan diri padaMu semata, dan pikiran kailku, terkait kasih rindu-ku padamu, Wik!”
Tanpa sadar, Dewi menyandarkan diri pada bahu Randa, setelah mendengar sajak yang keluar dari nada seorang Randa. Kedua tangan Dewi memeluk erat lengan kiri Randa. Mereka seperti sepasang kekasih padahal tiada ikatan dalam pengakuan, hanya nada yang mengetuk hati mereka.
Hujan-pun tak kunjung reda.
“TAXI!” teriak Randa.
Waktu sudah hampir larut, mereka lekas pulang. Tapi Dewi masih erat memeluk lengan Randa. TAXI berangkat mengantarkan Dewi pulang terlebih dahulu, kemudian berlanjut ketempat Randa.
“Berapa, Pak?” tanya Randa pada supir Taxi setelah tiba ditempatnya.
“Udah, Mas! Udah dibayar sama temennya tadi” jawab Pak sopir.
“Kapan?” tanya Randa heran.
“Makanya, Mas! Jangan keasikan pacaran. Temennya bayar aja kamu nggak tau!”
Randa menggaruk-garukkan kepala mendengar kata pak sopir.






















Case 8. PENCURI

Setelah beberapa hari berkelana menjajalkan dagangannya. Mengikuti instruksi yang diberikan oleh Tuak Lii. Hasil yang didapat cukup menggembirakan. Sekarang dia kembali ketempat tangkringannya dipasar.
Menuju lapak Tuak Lii, Randa menggeret sepeda. Karena suatu hal yang nggak mungkin jika dia harus mengayuh sepeda sedangkan kondisi pasar dengan keadaan ramai. Berjalan diselah orang-orang yang lalu-lalang sambil menggeret sepeda, menjadikan dia sebagai bahan cemo-oh orang lain. Karena sepedanya menghambat jalan.
Mau bagaimana lagi! Jika dia tidak membawa sepedanya dan menyimpan ditempat parkir, alamat bakalan hilang! Jadi terpaksa dia harus membawanya karena sepeda bukan miliknya.
Lagi asik menggeret sepeda, tiba-tiba sepeda terasa tersangkut dibelakang. Seperti ada yang mengganjal. Perasaan itu membuat dia harus menoleh kebelakang karena dia takut sepeda bagian belakangnya tersangkut, entah itu tersangkut dengan pakaian orang atau tersangkut yang lain.
Ehh! Ternyata tas yang biasa menggantung dibelakang sepedanya, hilang! Randa panik! Tapi dia melihat ada seorang yang berlari tergesa-gesa diantara kerumunan, berlari menjauh darinya. Dari sosok orang yang berlari tadi, mata Randa menangkap kalau apa yang ada ditangan orang itu persis seperti tas miliknya. Tidak salah lagi! Memang itu adalah tas miliknya.
Setelah sudah merasa pasti! Randa dengan segera melepaskan sepedanya lalu melompat kecil dan berlari menuju orang tadi sambil berteriak.
“JA-JA-MBREEEET”
Dia berlari sekuat tenaga, orang disekitar pasar terkejut tapi tak ada reaksi karena tidak ingin terlibat. Randa menabrak siapapun yang mencoba untuk menghalangi langkah kakinya. “Permisi! Permisi!” katanya kepada orang-orang yang berada dilorong itu.
Langkah kakinya semakin lincah, lompat kiri, lompat kanan. Terkadang ada yang terjatuh karena ditabrak oleh jambret dan Randa.
Diperempatan lorong, Randa kehilangan bayangan jambret tadi. Dia sempat terdiam sebentar untuk mencari-cari, melihat kearah kanan lalu kearah lain. Dia mendapatkan bayangan itu sedang berlari dilorong yang  mengarah kesebalah kiri.
Randa kembali berlari lebih kuat lagi! Orang-orang yang dilaluinya banyak yang berjatuhan dan banyak pula yang melemparkan caci-maki untuk mereka berdua.
“Masa bodo! Yang penting tas saya harus kembali!” Kata Randa dalam hati sambil berlari.
Dalam usahanya mengejar pencuri tadi bagitu banyak rintangan, lagi asik mengejar tiba-tiba didepan ada orang yang sedang memikul balok bangunan. Dia tetap berlari sambil menjongkok. “Upss!!” katanya dan berlari lagi..
Sesekali dia melompati orang yang sedang terjatuh karena ditabrak pencuri tadi, “Permisi” sambil menoleh kebelakang, kearah orang yang dilompati. Nafasnya mulai terengah-engah tetapi daya juangnya tiada henti.
“Ayo Randa! Kejar!!” katanya dalam hati memberi semangat dirinya sendiri.
Sebelum sampai diujung lorong, Randa terpental dan jatuh karena dia tidak melihat seutas tali yang melintang. Tali untuk mengikat tenda pedagang kaki lima. “Aduh!!” katanya lalu bangkit berlari lagi sambil memegang pinggang dengan tangan kirinya, sedangkan raut sudah menyeringai kesakitan.
Diujung lorong disamping jalan raya, dia berhenti. Tangan kanannya menukik dilutut, dadanya naik turun dengan cepat, detak jantung memompa sangat laju, sedangkan tangan kiri masih menempel dipinggang.
Sangat menyedihkan!
Dia kembali memaksakan diri untuk berdiri, lalu mencari keberadaan pencuri tadi. Randa mendapatkannya sedang  berlari masuk kelorong pasar yang berada diseberang jalan. Dengan sangat terpaksa harus dia kejar.
“Kejar lagi Rand!” katanya dalam hati, dengan nafas terengah-engah.
Berlari memotong dijalan raya bukan hal yang mudah. Jalan raya dipenuhi oleh kendaraan yang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Selagi Randa berlari memotong jalan dijalur ramai diantara mobil dan sepeda motor. Tiba-tiba sebuah mobil berjenis sedan, ngerem medadak karena melihat Randa yang mencoba menerobos jalan. Randa melompat  dan berseluncur diatas kap-mesin mobil. Persis seperti aksi aktor laga Jucky Chunk.
Kelakson kendaraan berbunyi bersahutan, sepertinya mobil-mobil itu marah padanya. Sedangkan para pengendaranya nongol di-jendela sambil ngomel dan mengacungkan tangan. HEY!! MAU MATI YAA???? Kata para pengendara.
Randa menjawab dengan melambai-lambaikan tangan sambil berlari terus, pantang mundur.


***


Di lain tempat, sepeda Randa masih tergeletak yang nggak jauh dari lapak Tuak Lii. Medengar suara jeritan jambret membuat Tuak Lii terkejut, sehingga dia bangkit dari singgasananya. Melangkah kearah sumber kejadian, disana dia melihat sebuah sepeda tergeletak yang tak asing baginya.
“Randa!” katanya pelan.
Terbesit dalam pikirannya yang menimbulkan tanda tanya mengambang diatas kepala. Mencoba mencari tahu pada orang-orang yang berada dekat dengan sepeda.
“Mas! Ada apa, yah?” tanyanya pada salah seorang yang berdiri dekat sepeda.
“Iniloh, Pak! Pemilik sepeda ini kejambret!” kata orang itu.
“Terus, pemilik sepeda ini kemana?”
“Dia pergi mengejar tersangka. Dia lari menelusuri lorong, lalu kearah kiri!”
Mendengar keterangan itu, lalu Tuak Lii segera memindahkan sepeda ketempat yang lebih aman, yaitu dilapaknya.
“Broo!! Saya titip sebentar” kata Tuak Lii pada sesama pedagang dekat lapaknya.
“Ada apa Lii?” tanya pedagang itu.
“Randa ke-jambret. Saya susul dia dulu!”
Kemudian Tuak Lii pergi kearah sesuai dengan keterangan orang tadi. Berlari menyusuri lorong membuat orang-orang bertanya padanya.
“Hey, Lii! Ada apa?” tanya orang-orang yang melihat dia berlari kebingungan.
“Adek saya kejambret”
Dipasar Cakre, Tuak Lii sudah cukup dikenal oleh sesama pedagang, apalagi untuk masalah komplotan jambret. Karena dia adalah salah seorang mantan pejambret di-daerah itu.
Dia berlari mengitari pasar, bertanya pada tukang-tukang parkir. Orang-orang yang ditanyain-pun bingung dan lebih banyak menggelengkan kepala karena tidak tahu dan tak melihat.
Tambah membikin Tuak Lii cemas.
Soalnya, didaerah pasar itu para preman dan pejamret bahkan pencopetnya, jika ketahuan dan terpojok, mereka tidak segan-segan menghabisi sang korban. Maka dari itu, pemikiran Tuak Lii menjadi tak menentu.
“Randa! Randa!” keluh Tuak Lii dalam hati, cemas!
Tuak Lii berlari lagi menelusuri pasar di-Blok bagian loak-kan. Dia berdiri diperempatan lorong, bagai seorang pengawas lalu-lintas. Lalu pergi menyamperi seorang preman yang sedang asik duduk dipangkalan, ditemani sebotol minuman ber-alkohol. Duduk menunggu anggota yang datang untuk setoran harian padanya.
“Hey, KACUNG!” sapa Tuak Lii.
“Ada apa, CEPER?” tanya balik Kacung.
Kacung adalah nama samaran dari kepala preman di-Blok pasar Loak, dia dikenal beringas oleh orang-orang yang ada didaerah kekuasaanya. Sedangkan Ceper adalah nama samaran masa lalu Tuak Lii, dikala dia menjadi salah satu preman dipasar itu.
Hanya saja dia sudah insyaf setelah dia berkeluarga, dia tidak ingin menafkahi keluarganya dengan yang haram. Sekalipun dia sudah insyaf, tapi dia masih jadi orang yang sangat dihargai oleh sesama preman. Karena dia juga sangat peduli terhadap siapapun.
“Begini, Cung! Adek saya kejambret, lalu dia mengejar jambret itu. Nah! Mendengar itu, membuat saya cemas. Kamu tau sendirikan? Bagaimana anggota disini?”
“Ngapain dia harus ngejar? Sedangkan kamu kenal orang-orang disini!” kata kacung yang rada nggak nyambung.
“Itullah masalahnya, Cung! Adek saya ini, nggak tau bagaimana saya dulu!”
“Emang! Kejadiannya dimana?”
“Di lorong pangkalan saya dan saya juga nggak tau siapa yang megang kawasan itu setelah Geng kita bubar” terang Tuak Lii.
“Alamak!! Tunggu sebentar”
Viiiiiuuuuuuuuuwiiiitttt!!! Siul kacung memanggil salah satu anak buahnya yang lagi patroli dilapangan.
“Kamu tunggu disini, beritahu yang lain, kalok ada anggota yang dikejar orang. Kamu tahan dia, terus orang yang ngejar jangan kamu apa-apain, sampai kami datang” pesan Kacung ke-anggotanya.
Anak buahnya ngangguk-ngangguk.
“Cabut, Per!” kata Kacung ngajak pergi Tuak Lii.
Mereka pergi mencari Randa, mengelilingi pasar, menyantroni para tetua komplotan yang memegang daerah-daerah pangkalan para pejambret.
Dimana-mana, Indonesia saat itu masih banyak terdapat para preman. Berbeda dengan sekarang, pemerintah menginstruksikan untuk menyapu bersih aktifitas mereka, karena mengganggu keamanan masyarakat dan mencemarkan nama baik bangsa dan negara. Kehadiran mereka membuat turis mancanegara dan lokal jadi enggan untuk berkunjung, sehingga pendapatan negara untuk bagian pariwisata sangat kecil.


***


Kembali ke-Randa. Dia berlari menyebrangi jalan, tibalah dia didepan lorong. Tangan kanannya bersandar didinding sambil membungkuk kelelahan. Hal yang sama dilakukan oleh si-pencuri yang berada nggak jauh dari Randa! Tas masih menggantung dibahunya. Pecuri itupun tak mau kalah, ia berlari lagi walau daya tinggal secuil karena melihat Randa berada dibelakangnya.
“HEYY!!!” teriak Randa lemah dan kembali mengejar.
Pencuri itu berlari kelorong yang lain dan masih diikuti Randa. Tapi sayang! Pencuri terperangkap dilorong buntu.
“Akhirnya!!” kata Randa setelah melihat pencuri yang kebingungan diujung lorong. Yang ada hanya tinggal tembok tinggi pembatas lorong. Sedangkan Randa kembali bersandar didinding karena kelelahan.
“Mau kemana kamu?” tanya Randa sambil menunjuk.
Karena ketakutan, sang pencuri mencari cara untuk meloloskan diri, sedangkan Randa masih bersandar mengumpulkan tenaga. Lagi asik istirahat, ketika dia menoleh kearah pencuri, ternyata kaki sang pencuri sedang bergelantungan diatas tembok, mencoba melopati dinding yang tingginya kurang lebih tiga meter.
Randa terkejut dan berlari, kemudian melompat mencoba menggapai kaki pencuri. Tapi sayang sang pencuri sudah berada dibalik tembok. Randa-pun nggak mau kalah, dia melompat seperti kera, berpijak pada sisa pijakan sang pencuri.
Sang pencuri lagi berjalan santai karena merasa sudah terlepas dari masalah. Tapi sayang! Teriakan Randa  mengusik kebahagiannya. Dia menoleh kebelakang, ternyata Randa sedang berdiri diatas tembok, bersiap untuk melompat dan mengejarnya.
Sang pencuri berlari lagi menuju sudut tembok yang lain. Mencoba kabur! Dia melompat, tapi sayang tak mampu digapai. Melihat si pencuri berusaha kabur, Randa terjun bebas. KEDEBUUK!!! Suara Randa terjatuh. Mendengar suara itu, sipencuri menoleh dan mendapatkan Randa sedang berguling-guling diatas semak-semak yang berada dihalam belakang rumah orang. Sang pencuri tertawa, karena melihat Randa terjatuh seperti buah nangka!
Randa kembali bangkit dan melangkah kearah sipencuri yang berusaha melompati tembok. Sang pencuri sadar karena nggak bisa menggapai tembok, lalu dia berlari kearah pohon pisang, begitu juga Randa. Mereka berdua kejar-kejaran mengelilingi pohon pisang yang hanya dua pohon.
“Tunggu! Tunggu!” kata si Pencuri mengangkat tangan sambil menunduk dan dengan nafas ter-engah-engah. Begitu juga Randa.
“Kenapa? Capek ya?” tanya Randa.
“Iya! Ngapain kamu ngejar saya?”
“Saya juga nggak sudi ngejar kamu, kalok kamu nggak ngambil tas saya!”
“Emang tas ini isinya apaan sih? Sampek kamu ngejar segitunya?”
“Seandainya kamu seorang wanita, nggak akan mungkin saya ngejar kamu!”
“Kenapa?”
“Karena didalam tas itu terdapat kata hatiku. Jika kamu yang mengambil dan kamu membacanya! Saya takut kamu ngejar-ngejar saya. Karena kamu jatuh hati sama saya! Setelah kamu membacanya! Oooeeeekk!!” kata Randa sambil muntah-muntah karena telah menggombalin orang yang salah.
Sipencuri-pun muntah-muntah mendengar kata-kata Randa.
“Emangnya, saya bencong!” kata Sipencuri.
“Iya! Yang saya takutkan seperti itu! Karena tingkah kamu mirip sama bencong!” jawab Randa sambil melambai-lambaikan telapak tangannya kayak bencong.
“Sial!!”
“Sial kenapa?” tanya Randa.
“Ada anjing dibelakang kamu”
Mendengar kata itu, lalu Randa menoleh kebelakang. Tapi! Batang hidung dan bayangan seekor anjing-pun tak ada terlihat. Merasa tertipu! Dia menatap kearah siPencuri, namun siPencuri malah kabur menuju pintu belakang rumah orang yang terbuka. Randa ikut mengejar.
Si-Pencuri lari masuk, “Permisi!” katanya pada ibu sipemilik rumah yang lagi masak. Ibu itu terkejut, namun Ibu mendapatkan Randa sedang berlari masuk. “Maaf, Bu!” kata Randa sambil mengejar Pencuri.
Lalu mereka berdua menuju ruang tengah, “Awas!!” kata Pencuri sambil melompati para penghuni rumah yang lagi asik nonton tv, begitu juga Randa “Awas!!” katanya. Para penghuni rumah menunduk karena dilompati. Seisi rumah bingung!
Mereka berdua lari keluar melalui pintu depan dan melewati gerbang yang terbuka setengah. KLEMPANGGGG!! Suara gerbang terbanting karena dihempas dengan keras. Para penghuni rumah berhamburan keluar, hanya melihati mereka yang kejar-kejaran.
Lalu mereka memotong jalan, masuk ke-gang yang berada diseberang jalan. Tepatnya diperkampungan umat hindu. Dalam gang itu dipenuhi anjing-anjing berkeliaran, menggonggong sambil berlari. Berlari bukannya mengejar mereka berdua, tetapi berlari ketakutan. Mungkin disangka bakalan ditangkap untuk disantap.
Digerbang sebuah rumah! Terdapat sepasang anjing sedang bermalas-malasan. Saking malasnya! Kedua anjing itu tidak menghiraukan mereka yang lari, dia hanya berdiri dan menggonggong sebentar setelah Sipencuri dan Randa melewatinya, kedua anjing itu kembali bermalas-malasan. Mungkin kalok diartikan gonggongannya dia bilang seperti ini. “Dasar pengganggu, nggak bisa lihat kita lagi asik berduaan, main lewat aja!” yah! Kira-kira seperti itulah kata si guguk!
Sipencuri udah nggak sanggup lagi untuk berlari. Dia berhenti, begitu juga Randa. Nafas mereka tak beraturan, dada mereka naik turun dengan cepat dan detak jantung mereka apalagi!
Sipencuri angkat tangan, bukan untuk menyerah, melainkan menantang Randa.
“Hey! Kita selesaikan secara jantan!” kata si-Pencuri.
“Nah! Ini yang saya suka!” ucap Randa dalam hati, lalu mengacungkan ibu jarinya keatas kemudian mengarahkannya kebawah.
Sipencuri naik darah! Dia membuat ancang-ancang dengan melompat kecil ditempat, kekiri dan kekanan. Kakinya bergantian kedepan dan kebelakang, tangannya dikepal. Bagaikan seorang petinju handal.
“Ayo!!” kata Pencuri memanggil sambil memainkan tangannya.
Randa berdiri tenang sambil mengatur nafas dan siaga satu.
“Ayo, maju!” kata si-Pencuri lagi.
Jari telunjuk Randa mengarah ke-si-Pencuri, dia memainkan jarinya. Tanda menantang!
Merasa tertantang, si-Pencuri menyerang. Tangan kanan melesat kearah Randa, dengan sigap Randa menepisnya menggunakan telapak tangan kanan. Tangan kiri ikut melesat, Randa menepisnya dengan punggung telapak tangan kanan. Berkali-kali Randa diserang dengan cara yang sama, berkali-kali juga Randa menepisnya dengan hal yang serupa.
Langkah kaki Randa mundur karena menangkis serangan yang bertubi-tubi. Merasa tertekan, Randa menepis serangan dan mendorong dada si-Pencuri hingga mundur beberapa langkah.
Merasa unggul karena serangan. Si-Pencuri kembali menghujamkan serangan dengan jurus yang sama, lalu kaki kirinya berusaha meraih kaki Randa, dengan sigap Randa mundur selangkah. Namun sayang! Si-Pencuri berkesempatan bergerak memutar dan melayangkan kaki kanannya kearah dada Randa. Tapi untung kedua lengan Randa membentengi, hingga dia mundur beberapa langkah.
Randa kembali siaga, walau lengan nyeri tersambar kaki.
Si-Pencuri kembali menyerang, kaki kanannya terbang, mencoba meraih telinga Randa. Dengan sigap tangan kiri Randa menahan, lalu tangan kanan Randa terkepal, melesat secepat kilat menghantam lutut si-Pencuri.
Si-Pencuri jatuh ditanah dan segera berdiri, sedangkan Randa mundur beberapa langkah untuk kembali siaga.
Kaki si-Pencuri terlihat pincang sebelah. Melihat keadaan lawan seperti itu, Randa menyerang, namun tak satupun serangannya berarti. Malah! Kepalan tangan bersarang dipipinya. Randa tersungkur dan lekas bangun.
Ia kembali diserang dan saling menyerang. Tangan kanan si-Pencuri meninju Randa, namun Randa menangkisnya dengan telapak tangan kanan, kemudian dikepalnya lalu dihujamkan tepat dihidung si-Pencuri.
Sang lawan mundur beberapa langkah sambil memegangi hidung yang sudah bersimbah darah. Melihat kelengahan lawan, Randa melesatkan pukulan kirinya, tepat bersarang ditulang rahang lawan yang berdekatan dengan telinga. Musuh miring kekiri, sebelum terjatuh. Randa kembali menyarangkan pukulan hingga merobek pelipis mata lawan.
Sang Pencuri terkapar.
Randa meraih tasnya yang menggantung ditubuh si-Pencuri. Sebelum dia pergi, Randa menjambak rambut lawan dan segera melesatkan pukulan terakhir. Tapi sayang! Tangannya terhenti karena Tuak Lii memeganginya dari belakang.
“Sudah, Rand! Kasihan!” katanya.
Tuak Lii mencoba menenangkan Randa. Sedangkan Kacung! Melihat keadaan si-Pencuri yang sudah tak berdaya lalu membawanya pergi.
Randa berjalan bersama Tuak Lii menuju lapak. Wajah Randa sudah hampir tak berbentuk, persis seperti ayam jago baru selesai diadu.


***


Setiba dilapak, Randa disuguhin es batu buat ngompres memar-nya.
“Apa saja yang hilang, Rand?” tanya Tuak Lii.
“Nggak ada, Bang!” tutur Randa lemah.
“Syukurlah! Ngomong-ngomong isi tas-mu apa aja? Segitu ngototnya kamu ngejar itu pencuri!”
Randa mengeluarkan semua isi tas-nya. Tuak Lii tertawa setelah melihat kertas-kertas dan alat kerja Randa yang dimuntahkan, berserakan dilantai.
“Apanya yang berharga?” Tanya Tuak Lii lagi.
“Yang paling berharga adalah amplop ini Tuak Lii! Karena isinya adalah surat pindah dari sekolah lama saya dan uang hasil kerja yang saya kumpulkan untuk mendaftar kesekolah baru!” terang Randa.
Tuak Lii meng-angguk-anggukkan kepala. Pantas saja Randa ngotot ngejar miliknya, sampai-sampai harus bertarung dan babak belur seperti telur pecah.
“Oh-iya, Rand! Tadi banyak orang yang nyari kamu, saat kamu ngejar si-Pencuri tadi” kata pedagang disamping lapak Tuak Lii.
“Mending kamu istirahat dulu beberapa hari, biar fit dulu badan-mu!” ucap Tuak Lii “sudah terkumpul berapa uangmu?” tanya-nya.
“Lumayan, Bang! Udah satu juta seratus!” jawab Randa.
Hari udah sangat tinggi, Randa berbaring disamping lapak. Memar-nya udah terasa cenut-cenut dan terlihat membengkak.
“Pak! Berapa harga buku ini?” tanya seorang pembeli pada Tuak Lii.
“Lima belas ribu, Bu!”
Ibu itu membayar dengan uang pass, lalu merogok kantong untuk mengambil uang receh dan melemparkan kearah Randa yang sedang berbaring. Melihat itu Tuak Lii ngikik.
Setiap kali orang lewat, ketika melihat Randa, mereka menyempatkan untuk melempar koin. Tuak Lii ngikik terus.
Randa tidurnya udah mirip pengemis!!
Ngerasa ada yang aneh, Randa lalu terbangun dan terkejut ketika melihat dibawah kakinya udah banyak uang receh.
“Bang! Uang receh siapa yang berserakan, nih?” tanyanya.
Tuak Lii masih ngikik.
Kemudian orang lewat dan melemparkan uang receh didepan Randa. Dia bengong! sambil ngelihatin orang yang ngelempar koin.
“Bushett!! Saya disangka pengemis kali, yak! Nggak pantes saya nerima uang ini! Nggak butuh!!” Randa ngomel sambil ngompres mukanya.
Tuak Lii tambah ngakak, “Tampilanmu kayak gembel! Jadi, gembel dan pengemis bedanya tipis, Rand!”
Randa jadi garuk-garuk kepala sambil ngeliatin seluruh badannya yang udah nggak karuan. Kotor!
“Ya, udahlah! Saya pulang dulu! Udah lama nggak pulang, jadi kangen rumah!” sambil ngumpulin receh yang berserakan.
“Katanya nggak butuh!!” kata Tuak Lii nyindir.
“Lumayan! Buat ongkos ojek!!” ucap Randa sambil nyengir.
Randa lalu berkemas.
“Bang! Makasi sepedanya, besok-besok saya pinjam lagi, yah?”
Tuak Lii ngasih jempol.

***

Esoknya, dipagi yang cerah. Randa sibuk dengan cucian, udah hampir seminggu nggak pulang. Batang hidungnya baru diliat tetangga sebelah yang lagi nyapu halaman.
“Mas, Randa! Baru keliatan, dari mana aja?” Tanya Om-Lido keppo, karena ngeliat dia lagi jemur pakaian.
“Iya, Om! Baru pulang syuth-ing!” jawab Randa.
“Syuting film apa, Rand?”
“Film doku-men-ntar, Om!”
“Judulnya apa?”
Randa jadi kesel.
“Judulnya, Tetangga-ku Keppo!! Om!”
Dahi si-Om mengkerut.
“Oh! Pantes!”
“Pantes kenapa, Om?”
“Pantes! Banyak yang nyari-in!” si-Om ikut kesel
“Ya, gitullah fans, Om!”
“Sibuk sekali ya, Rand? Sampe orang tua susah ngehubungi kamu!”
Tada tanya muncul dibenak Randa.
“Siapa ya, Om?”
“Mama-mu! Telfon setiap hari, nanyain kabarmu” nadanya agak tinggi.
Randa gelagapan dan berhenti menjemur.
“Terus, Om bilang apa?” tanyanya pada Om yang berdiri diluar pagar sambil pegang sapu.
“Yah! Saya bilang aja, kalok kamu nggak pernah pulang dan nggak pernah sekolah”
“Tau darimana?” Randa kembali menjemur pakaian yang tersisa.
“Gosip gurumu disini!”
Randa nggak bisa berkata.
“Ntar kalok mamamu nelpon, saya harus bilang apa?” lanjut Om-Lido.
“Nggak usah bilang apa-apa, atau sekalian aja nggak usah diangkat” kata Randa yang udah kebingungan.
“Terus??”
“Dan! Nggak usah terus-terus, Om! Besok saya telfon Mama! Saya juga males disini, serba be’ol aja ditanya, pulang malem disangka maling. Emangnya saya pencuri apa!” gerutu Randa.
Setelah pakain dijemur semua, dia noleh ke-si-Om, ternyata udah ilang.
Si-Om-Lido ini perawakannya tinggi dan gaya rada cucok, deh! Dia guru disalah satu sekolah yang ada diMataram-Lombok.
Dia orang yang paling keppo sekomplek, semua serba pengen diaturnya, jadi orang-orang rada nggak suka. Tapi! Dia jago dalam berbisnis, segala jenis bisnis dia pernah lakukan, sampai-sampai kacang goreng-pun dia jajalin disekolah tempatnya ngajar. Alasanya buat nambahin uang saku dan dari pada jadi PENCURI  lebih baik bisnis, cui!

Case 9. PENCURI HATI

Tiga hari berlalu. Randa kembali kepasar menjajalkan kartu yang tersisa. Memar diwajah udah samar-samar, yang tersisa hanya cerita. Belum sempat dia menggelar dagangan, Tuak Lii melarangnya!
“Kenapa, Bang?” tanya Randa.
“Pokok-nya jangan!”
“Iya! Tapi kenapa, bang? Apa bayaran saya kurang? Kalok kurang, abang minta berapa, Biar saya tau, bang?”
“Bukan! Bukan itu maksud saya! Saya melarang kamu berjualan karena kemarin ada yang mencari kamu.”
“Siapa? Polisi? Atau pencuri kemaren pengen balas dendam?” tanya Randa bingung dan dada berdebar-debar.
“Bukan itu juga! Masalah si-Pencuri itu udah nggak berlanjut. Tapi yang jadi masalahnya, kemaren ada seorang remaja perempuan yang cari kamu. Kamu punya masalah sama tuh, cewek?”
“Siapa namanya?”
“Namanya, kalok nggak salah!” Tuak Lii mikir.
“Siapa, bang?” Randa penasaran.
Tuak Lii, lupa-lupa inget.
“Kalok nggak salah, namanya De! De! De!.. Dea! Bukan. Pokoknya ada De dan Yu-nya.” sambil menghadap langit.
“Dewi Ayu, maksudnya?”
“Yap!!” Tuak Lii nodong jempol.
“Terus dia ngomong apa?”
“Dia nitip pesan, kalok ketemu kamu, dia minta tolong kamu untuk datang kesekolahnya!”
“Ada apa, yah?”
“Aa-uuk!! Tanya aja ndiri”
“Kapan, bang?”
“Pagi ini, katanya!”
“Pagi ini? Jam berapa?”
“Ya, pagi ini lah! Rand!”
“Ya udah! Saya cabut, Bang!”
“Cabut apa, Rand?”
“Cabut rumput buat makan sapi!” sambil berjalan pergi.


***


Didepan gerbang sekolah Dewi, Randa berdiri kebingungan. Clingak-clinguk ngintip keberadaan Dewi.
“Hey!” Sapa Dewi sambil nepuk pundak Randa dari belakang.
Randa terkejut.
Dewi menarik tangan Randa dan membawanya menjauh dari lingkungan sekolah.
“Eh! Mau kemana kita?” tanya Randa.
“Udah, ikut aja!” kata Dewi  lalu memanggil taxi.
Mereka naik dalam taxi, sedangkan Randa masih bingung.
“Pak! Kita ke-Seng-gigi, yah!”
Randa tambah bingung.
“Wik! Kita mau ngapain kesana?”
“Pokok-nya temenin saya, mbolos!”
“Tapi!”
“Udah, nggak usah banyak tanya. Omzet-mu hari ini, saya yang borong!”
“Maksud saya bukan itu. Dari pada kesana mending ketempat lain”
“Kemana?” tanya Dewi.
“Ke-Hatiku!”
“AAOOOO!” Teriak Randa karena dicubit.
Kebiasaan buruk Randa yang baik adalah suka gombal kalo deket cewek.
“Maaf ya, Rand! Kalok saya ngerepotin kamu!”
“Ngerepotin kenapa? Toh juga saya malah seneng dekat, kamu!”
“Makasi, Rand! Udah ngerti-in saya”
“Emang kamu ada masalah apa sampai mbolos, kan kamu sekolah ntar sore?”
“Nggak ada masalah apa-apa, sih! Cuman pengen aja jalan sama kamu sampai ntar sore”
“Gimana sekolahmu?”
“Nggak usah bahas masalah sekolah deh, Rand! Pokoknya temenin saya, saya lagi kepengen suasana pantai!”
“Oce, sayang!”
“Sayang! Kayak apa aja pake sayang!”
“Ups! Maaf, saya lancang. Kata-kata itu keluar dari sini!” Randa menunjuk dadanya.
“Gombal!”
“Nggak pecaya!”
Setelah itu selama dalam taxi, Randa dan Dewi awkward moment tanpa bahan pembicaraan. Diam membisu! Randa bingung harus mengawalinya dengan apa, sedangkan Dewi menatap keluar jendela, seperti ada beban dihati dan pikirannya.
Pak sopir yang ngerasa suasana mobil kayak kuburan! Tape mobil dinyalakannya, biar bisa memecah suasana. Sepertinya Pak Sopir tau bener situasinya!
“Aduh!” Randa menepuk kepalanya.
“Ada apa pak?” tanya Pak Sopir.
“Ada yang kelupaan, Pak!”
“Lupa apa, Rand?” tanya Dewi.
“Lupa, Wik! Kalok saya duduk samping bidadari!”
Kejeburrr!! Dewi klepek-kelepek. Tapi balik lagi menghadap keluar kaca setelah menipuk Randa.
“Kirain lupa apa, Pak!”
“Beneran kok, Pak! Saya minta tolong mampir di WARTEL terdekat ya pak?”
“Siap, BOSS!” ucap pak sopir.
“Naik mobil Ferrari ke pulau Bali, buat nonton orang menari!” Randa ngomong sendiri.
“Asek!” kata Pak Sopir!
“Kaullah bidadari yang paling kunanti sepanjang hari, bikin hati berseri-seri”
“Tapi sayang, Pak! Ini bukan mobil Ferrari!” kata Pak Sopir sambil cekikikan.
Dewi tetap aja cuek, nyender ke-jendela. Sekalipun hati berbinar-binar.
“Lagi Pak!” lanjut Pak Sopir.
“Jalan jalan ke-kota paris, banyak tempat yang romantis!” Randa sambil ngelirik keDewi.
“Terus, Pak!”
“Saya rela ditusuk-tusuk keris, Pak! Demi cintaku pada dinda yang manis!”
Sudut bibir Dewi mulai melebar.
“Dulu delman sekarang dokar! Kira-kira bisa nggak pak? Kalok dulu teman terus sekarang jadi pacar!”
“Bisa aja, Pak! Apa yang nggak bisa didunia ini!”
“Nggak usah panggil bapak lah, Pak! Panggil adek aja!”
Pak Sopi ngangkat jempolnya.
“Lagi, dek! Asik tuh, buat bekal saya dijalan!”
“Laper kalik! Pake bekal-bekal dijalan!” kata Dewi.
Pak Sopir noleh kebelakang sebentar, buat pelototin Randa dan Randa membalas melotot bengong! Lalu mereka cekikikan bareng.
“Anak pramuka bawa peluit, bawa peluit untuk jaga-jaga” kata Pak Sopir.
“Cakep!!” kata Randa.
“Mengatakan cinta emang sulit, tapi apa salahnya untuk dicoba!” lanjut Pak Sopir.
Randa cekikikan.
“Pak Sopir udah kena firus!” kata Dewi.
Randa dan Pak Sopir jadi cekukukan mendengar suara Dewi.
“Ulangan Fisika emang sulit apalagi matematika, mengatakan cinta emang sulit apalagi cinta pertama” ucap Dewi.
Mendengar kata Dewi! Pak Sopir menepikan kendaraannya.
“Kok berhenti, Pak?” tanya Dewi.
“Di-depan ada wartel, Mbak!”
“Kirain!”
“Kirain kenapa, Mbak?”
“Kiarain mau pada muntah denger pantun saya!”
Pak Sopir dan Randa kembali cekukukan.


***

Randa turun dan masuk salah box telpon. Randa ke wartel karena saat itu, handphone masih jarang. Hanya orang-orang tertentu yang menggunakannya. Sedangkan Dewi menunggu dalam taxi.
TUUTTTT!! TUUTTTT!! TUUTTT!! Suara telpon menyambung.
“Hallo!!” suara dari dalam telpon.
“Iya, hallo. Siapa, nih? Dian?” tanya Randa.
“Iya! Nih sapa?”
“Mas Randa, dek! Mana Mama?”
“Tunggu sebentar, Mama lagi dibelakang! Dian panggil dulu” lalu menyimpan gagang telpon.
Randa menunggu sambil berfikir dan memainkan jarinya disamping pesawat telpon. Dia berfikir bagaimana cara membuat alasan yang bagus, tapi suara hatinya berkata agar dia berbicara jujur. Karena kejujuran adalah hal yang baik, sekalipun itu pahit hasilnya.
“Hallo, Randa!” suara Mama.
“Iya, Ma! Gimana kabar dibima, Ma?”
“Disini kerusuhan, nak! Kamu gimana?”
“Alhamdulillah, baik Ma!”
“Mama nonton diTV, beritanya dimana-mana lagi kerusuhan. Kamu nggak apa-apa, Nak?” tanya Mama khawatir.
“Nggak apa-apa, Ma!”
“Mama denger, kamu udah dua bulan nggak sekolah. Kenapa?”
“Iya, Ma!” Randa sedih mendengar pertanyaan Mama, karena dia ngerasa udah ngecewain harapan Mama dan Ayah-nya.
“Kenapa, nak?” suara Mama mulai berumah karena menahan emosi.
“Ceritanya panjang, Ma!”
Mama menangis karena terlalu menahan emosinya.
“Ma! Mama nggak usah nangis! Randa nggak tahan dengernya!”
“Mama nggak nangis, nak! Terus gimana sekolahmu?”
“Maaf sebelumnya, Ma! Karena Randa udah ngecewain Mama dan Ayah! Randa nggak tahan seperti ini!” air mata Randa berlinang.
“Kenapa, nak! Apa kamu nggak sanggup sekolah disitu?” tanya Mama sambil menangis.
“Bukan, Ma!”
“Terus?”
“Randa nggak sanggup, bukan berarti Randa nggak bisa bersaing disini. Tapi Randa nggak tega sama Mama dan Ayah yang menyekolahkan Randa disini. Mama dan Ayah harus berhutang kiri-kanan hanya untuk sekolah Randa. Randa lebih senang sekolah di-Bima tapi nggak merepotkan Mama dan Ayah, nggak membuat utang Mama bertambah dan nggak dihina orang” Randa sambil menangis.
“Nggak, nak! Mama nggak berhutang kesiapapun!”
“Nggak mungkin, Mama! Sedangkan kerjaan Mama hanya pembuat roti bak-pao dan Ayah sudah nggak kerja lagi karena ditipu temennya ratusan juta. Terus Mama dapet uang darimana setiap minggunya yang dikirimin ke-Randa?”
Mama nggak bisa ngomong apa-apa karena hatinya telah tercuri.
“Ma! Randa lebih ikhlas sekolah di-Bima tapi nggak menyusahkan kalian. Cukup Mama dan Ayah berhutang banyak untuk menyekolahkan abang Farid di-Jakarta. Dan semoga dia menjadi tulang punggung keluarga kita dan bisa mengangkat derajat keluarga dari kehinaan. Amin!”
“Amin!” ucap Mama.
“Itu yang pertama alasan Randa, Ma! Yang kedua, nanti Randa cerita setelah tiba dirumah”
“Lalu kamu gimana dan Mama harus ngomong apa sama Ayah-mu?”
“Mama bilang aja kalok Randa mau pindah ke-Bima, untuk alasannya, biar Randa yang ngomong sendiri dan nggak usah lewat telpon”
“Kapan kamu pulang, nak?”
“Se-segera mungkin, Ma! Besok atau lusa! Yang penting Mama setuju!”
Dewi keluar dari mobil karena ngerasa menunggu terlalu lama, lalu dia masuk kedalam wartel. Dia melihat Randa sedang berbicara serius, mondar-mandir didalam box. Dewi bertanya-tanya dan sedikit bimbang karena raut wajah Randa berubah tak seperti biasanya. Matanya berlinang.
Randa menoleh keluar bingkai, dia mendapatkan Dewi sedang menunggunya cemas. Rautnyapun berubah. Melihat itu Randa segera untuk menyelesaikan pembicaraan.
“Ma! Sudah dulu, jangan khawatir untuk masa depan Randa, tuhan sudah mengaturnya! Sepertinya ini jalan lain yang ditunjukanNYA untuk Randa. Mama bersabar dan ikhlas, tuhan maha mengetahui, Ma! Jangan putus asa! Yang penting kita yakin bahwa Allah SWT nggak akan menyusahkan hambanya. Seperti dalam Al-Qurhan surah Al Baqarah Ayat 286. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya
“Iya, nak!”
Kemudian randa menutup telpon dan keluar.
Setelah membayar wartel Randa segera naik kedalam taxi di-ikuti Dewi.
“Ada apa, Rand?” tanya Dewi.
“Nggak ada apa-apa!”
“Tapi kok kamu murung? Nggak seperti biasanya?”
Dia masih memikirkan pembicaraannya tadi.
“Ikan kakap jadi radja, kuharap kamu baik-baik adja!” tutur Dewi.
Randa senyum.
“Kamu makin pinter gombal, Wik!”
“Sapa dulu dong yang ngajarin! Kena firus kamu, nih!”
Mereka berdua cekikikan.
“Kamu kenapa sih, Rand?” tanya Dewi lagi.
“Nggak, apa-apa!”
“Dek! Turun dimana nih? Digerbang depan atau dimana?” tanya Pak Sopir.
“Di gerbang depan aja, Pak! Biar kita sambil jalan-jalan!” tutur Dewi.
“Ok!” kata Pak Sopir.

***

Taxi-pun berhenti. Mereka berdua berjalan masuk kepantai. Dewi meraih tangan Randa, mencoba untuk menguatkan hatinya. Mereka seperti orang yang kasmaran, padahal diantara mereka belum pernah meng-ikrarkan sebuah hubungan.
Randa noleh kearah Dewi karena ngerasa tangannya digenggam, kemudian dia pura-pura batuk.
“Kenapa?” Tanya Dewi ngelihat Randa yang pangling tangannya digandeng.
Randa salah tingkah.
“Udah! Nggak kayak gitu. Nggak pernah diganteng cewek ya?”
Randa nyengir. Tapi tangan Dewi semakin erat menggenggam.
“Saya malu, Wik!”
“Segitunya!”
“Bukan malu karena kamu gandeng!”
“Terus, kenapa?”
“Malu karena hati ini nggak bisa bohong kalok saya jalan sama bidadari!”
Dewi kesandung pasir. Tapi untung Randa memegangnya erat sampai nggak sempat tersungkur.
“Kenapa, Wik?” tanyanya.
“Mendengar kata-katamu, membuat persendianku lemah!”
“Kok, bisa?”
“Ya bisalah! Karena kamu pencuri hatiku” sambil melepaskan sepatunya yang kemasukan pasir, lalu ditentengnya dan berjalan tanpa las kaki.
“Lebay!” kata Randa.
Berjalan diatas pasir bersama pasangan sambil bergandengan tangan, emang maknyus! Bayangin aja kalok kita seperti itu. Terasa Dunia milik berdua, apalagi kalok duduk berdua dihamparan pasir sambil minum kelapa muda. Satu kelapa muda diminum berdua dan menanti jingga datang. Aseeeek!!
“Wik! Gimana kabar Deni?” basa-basi Randa, padahal dia males ngebahasnya. Hanya sekedar mengilah pembicaraan.
“Nggak usah bahas dia, cari bahan yang lain napa? Kayak nggak ada bahan adja!”
Hati Randa merasa senang mendengar keterangan Dewi seperti itu.
“Ups, sorry! Ada sebuah cerita, Wik! Tentang sepasang remaja”
Mereka sambil duduk dihamparan pasir, dibawah pohon kelapa.
“Sepasang remaja ini adalah remaja yang hidup di kota kecil! Mereka bertemu disebuah tempat yang tak diduga, yaitu dijalan. Diawal pertemuan mereka biasa-biasa saja, tapi lambat laun mereka menjadi teman akrab. Teman yang saling mengisi kekurangan masing-masing, teman yang selalu ada disaat susah dan senang. Namun! Dengan sikap mereka seperti itu, mereka tanpa sadar bahwa merasa ada yang berbeda dengan hati mereka. Ketika mereka jauh, seakan jiwa mereka hanya separuh. Ketika mereka bersama, jiwa itu terisi dan merasa sempurna!”
“Randa ngarang, ya?” Kata Dewi sambil menunjuk hidung Randa yang pesek kayak orang Arab.
“Ini kisah nyata, Wik! Ya udah, nggak usah dilanjutin ceritanya”
“Idih! Randa ngambek!”
Randa cuek lalu memesan kelapa muda!
“Gayamu, Rand! Pakek mesan kelapa muda!”
“Biar keliatan romantis, Wik!” ucap Randa.
“Maksud saya, kayak kamu punya duit adja!”
Randa menatap Dewi sambil nyengir. Lalu mereka cekikikan. Mereka bersenda gurau, bersandar pada pagar hotel yang ada dipantai senggigi. Duduk menghadap kearah peraduan sang matahari. Tapi sayang, hari masih terlalu siang.
“Wik! Sebenarnya kamu ngajak saya kesini, untuk apa?”
Dewi diam dan malu.
“Ayollah Wik cerita. Kok diem?” Randa penasaran.
Dewi menarik nafas panjang dan melepaskannya.
“Sebenernya ada yang akan saya bicarakan, Rand! Tentang kita”
“Tentang kita?” kening Randa mengkerut karena bingung.
“Iya! Tentang kita. Tapi masak harus saya!” pipinya memerah.
“Maksudnya?” Randa tambah bingung.
“Udahlah, kamu nggak ngerti!”
“Emmmm! Pasti kamu putus sama dia karena suka sama saya, hayo!” kata Randa dengan becanda.
“Ge-eR!!” lalu diam.
“Ayolah, Wik! Cerita?”
“Sebenernya, emang iya, Rand! Kalok saya suka sama kamu!” kata Dewi dalam hati sambil menatap Randa dengan penuh harap.
Dewi berharap Randa mengeluarkan kata-kata untuk meng-ikrarkan hubungan mereka. Tapi sayang! Randa adalah tipe remaja yang ja’im untuk mengucapkan kata suka yang sebenarnya. Sekalipun benar, pasti orang menganggap perkataannya adalah candaan. Karena dia terlalu sering guyon.
“Kenapa menatap saya seperti itu? Emang saya punya salah apa?”
Dewi sebel lalu menipuk Randa dengan tas-nya.
“Kamu nggak ngerti perasaan saya” kata Dewi sambil berdiri dan berjalan pergi.
Randa semakin bingung karena ditimpuk.
“Ayooo!! Ceweknya marah, tuh!” kata penjual kelapa muda.
Lalu Randa mengejar Dewi yang pergi meninggalkannya.
“Kenapa, Wik? Kok marah?” ucap Randa sembari meraih tangan Dewi yang lagi ngambek.
Dewi diem aja sembari menatap kearah Randa, matanya berlinang.
“Wik! Tolonglah, saya salah apa?”
Dewi semakin ngambek dan mencoba pergi, tapi Randa masih memegang erat jemarinya. Randa meraih kedua bahu Dewi, memegangnya erat hingga Dewi tak bisa berkutik.
“Wik! Ayolah? Apa yang salah dengan saya?” tanya Randa sembari menggoyangkan bahu Dewi, berharap dia mengatakan sesuatu.
“Rand! Udah, ah! Emangnya saya pohon mangga,apa? Di goyang-goyang, ntar saya rontok!”
Randa-pun berhenti.
“Wik! Katakan apa yang salah dengan kata-kata saya, sehingga kamu seperti ini?”
“Apa yang salah? Kamu nggak ngerasa?”
Randa geleng-geleng kepala.
“Kamu!” tunjuk Dewi marah “kamu nggak ngerasa? Kalok perkataan kamu selama ini sudah mencuri isi hatiku! Kamu nggak ngerasa? Kalok sikap kamu udah membuat saya. Jat! Jat! Jat! Sudahlah!” tutur Dewi marah lalu membelakangi Randa.
Randa senyum, hatinya berbunga-bunga.
“Wik! Apa harus dengan kata-kata? Apa semua tingkah laku saya terhadap kamu, tidak mengartikan sesuatu?” tanya Randa.
Dewi menjauh dan pergi ke ujung pantai. Berdiri diantara karang yang dihempas gelombang.
Randa bernafas panjang dan berdiri disampingnya. Mereka bersama-sama memandang lautan.
“Wik! Apakah sedekat itu pandanganmu terhadapku? Jika seperti itu, saya menolak!” Dewi menatap Randa yang berada disampingnya. Mata yang berlinang tak terbendung, hingga membasahi pipi. Randa tak menoleh sedikitpun, padangannya jauh kedepan, kearah laut yang luas. “Saya ingin kamu melihat saya seperti kamu melihat lautan yang luas, agar kamu bisa tau perasaan saya kepadamu. Seluas lautan yang tanpa ujung ini. Begitulah perasaan saya terhadap kamu dan saya harap demikian juga kamu! Untuk membuktikannya, saya minta kamu datang esok jam enam pagi diterminal, disana kamu bisa tau alasan kenapa saya harus diam”
Dewi tersenyum dan menipuk Randa dengan tinjunya sambil berkata “GOMBAL!”






Case 10. SAMPAI JUMPA

Rencana Randa untuk kembali sekolah diMataram sudah tidak ada harapan, usaha yang dilakukan sia-sia, karena aib yang dia sembunyikan telah diketahui oleh keluarga. Daripada dia harus berbohong dan menyiksa diri, lebih baik dia kembali kekota yang membesarkannya.
 Sebelum dia kembali, orang yang pernah membantunya untuk bertahan, dikunjungi sepulang dari pantai senggigi dan setelah dia mengantar pulang Dewi. Bidadari yang dia kenal diatas angkot, angkot tempat dia mencari modal untuk membuka usaha.
Hari sudah malam. Dia singgah dirumah Tuak Lii. Disana dia dijamu dengan makan malam. Setelah makan malam, Randa tidak langsung pulang tapi duduk dibale-bale atau berugak kata orang lombok.
“Kemana aja tadi, Rand?” tanya Tuak Lii.
“Saya diajak jalan-jalan, bang! Pergi kepantai Senggigi”
“Sama siapa?”
“Berdua aja, Bang!”
“Asik, dong! Berdua bareng cewek! Udah lama jadiannya?”
Randa senyum.
“Kenapa diem? Kamu juga kelihatan murung. Ada apa?” lanjut tanya Tuak Lii sambil melinting rokok dan menyodorkan tembakau ke-Randa.
“Ada masalah dikit, bang!”
“Masalah! Bekas memar diwajah kamu belum hilang, sudah ada masalah lagi! Mau jadi jagoan?” kata Tuak Lii.
“Bukan masalah kayak gitu lagi bang, yang ini lain cerita!”
Istri Tuak Lii datang membawa kopi dan jajanan.
“Kamu darimana aja?” tanya Istri Tuak Lii.
“Ah, Mbak! Saya dateng dari tadi baru ditanya sekarang!”
Istri Tuak Lii tersenyum dan mempersilahkan Randa minum kopi.
“Kopinya aja yang disuruh minum, Mbak? Kuenya?” kata Randa.
“Emang, kamu mau minum kue?” tanya balik istri Tuak Lii.
Randa nyengir!
Istri Tuak Lii sudah menganggap Randa sebagai adiknya, sama seperti suaminya. Jadi Randa sering memanggil istri Tuak Lii dengan panggilan Mbak!
“Begini, Bang! Kalok saya punya salah sama abang sekeluarga atau ada kata yang membuat abang sekeluarga tersinggung. Mohon dimaafkan, Bang?”
Tuak Lii bingung.
“Sekali lagi, mohon dimaafkan?” lanjut Randa.
 “Kamu udah mau mati, Rand?” tanya Tuak Lii sambil ketawa.
“Aduh, abang! Amit-amit, Bang!” Randa sambil ngetok-ngetok lantai tempat duduknya.
“Terus! maksud kamu apa?”
“Begini, Bang! Besok saya balik ke-Bima karena keluarga saya sudah tau permasalahan saya disini!”
“Mereka tau darimana?”
“Itu nggak penting mereka tau darimananya, yang penting bagi saya. Beban pikiran yang ada sudah hilang, tinggal bagaimana cara saya menjelaskan ke Ayah saya saja!”
“Ya sudah! Kalok itu yang terbaik menurut kamu, kami doa-kan semoga sukses disana. Tapi jangan sampai terulang kembali!”
“Iya, Bang!”
“Ya, sudah. Kamu kan belum pulang. Bukannya saya ngusir, tapi saya nggak enak liat kamu disini!”
“Aduh! Sama aja ngusir, Bang!”
“Maksud saya biar kamu siap-siap barang dirumah! Kamu balik kapan dan jam berapa?”
“Besok, Bang! Jam enam pagi!”
“Ya, udah! Ayok saya anter pulang”
Tuak Lii mengambil sepeda motornya untuk mengantar Randa. Setiba dirumah, Tuak Lii berpesan.
Rand, kamu di dunia ini hanya hidup sementara, jadi jagalah ibadahmu.
Entah mengejek atau sekedar guyonan, Randa menjawab, “Justru itu Bang! Kita manfaatkan hidup di dunia sekarang dengan hura-hura.
Kepala Randa diketok Tuak Lii.
“Randa, permisalan yang bagus dapat kamu renungkan dalam hadits berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di dunia hanyalah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu meninggalkannya. (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud). Jadi ingat itu baik-baik” tutur Tuak Lii
“Siap, boss!!” kata Randa sambil hormat.
Tuak Lii berpamitan lalu pulang.

***

Dirumah! Randa mengemas pakaian dan segala sesuatu yang dia anggap penting untuk dibawa. Yang nggak perlu dibawa, disimpan dengan rapi dalam kardus. Setelah semua dianggap selesai. Dia duduk dipojok tempat tidur sambil bersandar pada dinding. Pikirannya melayang sejenak, mengarungi dunia hayalan.
Lagi serius melamun, aroma kurang sedap mampir dipenciumannya. Randa mengendus-enduskan hidung untuk mencari sumber bau yang kurang sedap, sembari berfikir. Dia juga mengenali aroma itu, tapi dia masih bingung nama bau tersebut. Lambat laun! Setelah mengetahui namanya!
“Buhsiiiet!! Nasi gosong!”
Randa loncat dari tempat tidur dan menuju dapur. Periuk buat dia masak nasi udah hitam kecoklatan, sedangkan beras yang dimasak! Berubah mirip nasi goreng, coklat kemerahan.
Dia menipuk jidat.
“Kirain bau setan lewat! Eh, ternyata! Nasi yang teriak minta tolong!” dia ngomong sendiri.
Randa mematikan api kompor tapi masih geleng-geleng kepala, sedangkan hari sudah larut malam. Nasi didinginkan sementara dia bikin sambal dan goreng ikan asin. Setelah semua siap! Dia makan sambil dengerin radio.
Lagi enak makan tiba-tiba kucing lewat.
“Lah! Nih kucing masuk lewat mana?” dia tanya dirinya sendiri.
Bulu kuduknya berdiri! Langsung ngebayangin hal-hal aneh. Randa segera menyelesaikan makan malamnya.
Randa tinggal dirumah sendirian, rumah yang sudah lama ditinggalkan. Karena mereka hijrah ke-Bima. Rumah itu lumayan besar, kamar tidur empat, raung tamu, ruang keluarga, ruang tengah dan dapur. Sedangkan Randa menempati kamar paling belakang yang bergandengan dengan ruang dapur dan sumur didalam rumah!
Dia mencoba untuk memberanikan diri.“Masa bodo!” katanya dalam hati. Tapi teringat kata orang-orang yang sering lewat depan rumahnya yang menceritakan hal-hal aneh ada dirumah Randa. Dia lekas membereskan sisa makananya lalu kembali masuk kamar.
Diramah Randa memang rada-rada angker. Soalnya udah hampir enam tahun enggak ditempati. Jadi wajarlah!
Setelah masuk kamar dan dikuci rapat lalu suara radio dibesarkan. Buat ngilangin rasa takutnya, kemudian dia tidur sehabis corat-coret kertas.

***

Adzan subuh berkumandang! Randa bangun sambil sempoyongan karena kurang tidur dan terpaksa harus bangun karena kalok nggak dia bakal ketinggalan bus! Ia lalu kekamar mandi kemudian sholat subuh.
Berat rasa hatinya untuk pergi, karena sangat banyak kenangan yang harus ditinggalkan. Randa mengunci semua rungan kemudian pergi kerumah Om Lado untuk menitipkan kunci rumah dan berpamitan.
Subuh itu dia berjalan menuju terminal yang kurang lebih dua kilometer jauhnya. Dia jalan kaki bukan karena nggak sanggup sewa angkot tapi karena angkot jam segitu sangat jarang.
Setiba diterminal, Randa sarapan dan minum kopi untuk menghangatkan badan. Sedangkan bus yang ditunggu nggak kunjung datang, ketika menunggu. Dia teringat Dewi dan menghayalkan apa yang akan dia katakan nanti.
Matahari udah mulai bangkit dari persembunyiannya. Bus yang ditunggu juga udah masuk terminal, berarti Randa harus siap-siap. Tapi! Dewi tak kunjung datang.
“Abang! Jam berapa berangkat?” tanya Randa pada Jimmi sepupunya sekaligu anak pemilik bus dan juga yang bertanggung jawab atas busnya diMataram.
“Nanti jam tujuh! Kenapa?”
“Alhamdulillah! Saya nungguin cewek, bang!”
“Dia juga mau ke-Bima?” tanya Jimmi.
“Nggak bang! Cuma nganterin saya aja!”
“Gayamu!” lalu Jimmi pergi kewarung, sedangkan Randa nyengir aja dibilang kayak gitu.
Setengah jam lagi bus berangkat! Randa masih menunggu. Rasa putus asa mulai meracuninya.
“Sudahlah Rand! Dia nggak bakal dateng, karena dia hanya bergurau saja kemarin!” kata Randa dalam hati.
Nggak lama kemudian Randa ngeliat cewek sedang naik turun diatas bus yang ada diterminal. Panik! Seperti mencari-cari seseorang. Ternyata gadis itu adalah Dewi.
“Wik!” teriak Randa berkali-kali sambil melambaikan tangan.
Dewi berlari kearah Randa setelah melihat Randa berdiri dibawah pohon ketapang yang menanti bus berangkat.
“Rand! Ngapain kamu pagi-pagi disini?” tanya Dewi.
“Menurut kamu?” tanya balik Randa.
“Kamu mau kemana?” Dewi sambil nyubit Randa.
Randa diam.
“Kamu mau ke-Bima, Rand?” Dewi cemas.
“Iya, Wik!” suara Randa datar.
“Berapa lama?”
“Nggak tau, Wik!”
Dewi bertubi-tubi memukul bahu Randa.
“Terus kita gimana?” tanya Dewi dengan berlinang airmata.
Randa kembali diam. Sedangkan Dewi memeluk lengan Randa.
“Kamu tega, Rand! Padahal saya baru saja ngerasa bahagia sama kamu!”
“Baru? Berarti selama ini kamu nggak senang dekat sama saya?” kata Randa dengan nada datar.
“Nggak gitu, Rand! Maksudnya, baru sama kamu saya ngerasain sesuatu yang membuat saya bahagia! Sekalipun itu baru kemaren kita bisa saling berbagi rasa. Karena selama ini hanya gombal yang keluar dari lidah kamu dan sepertinya kemarin kamu becanda, deh! Atau kamu permainkan saya, biar bisa buat hati saya senang?”
“Nggak!”
“Terus, kenapa kamu mau pergi?”
“Kan! Saya sudah bilang, wik! Sebelum kita kenal lebih dekat, disaat kita diatas angkot. Bahwa saya harus kembali untuk menemani orang tua saya, tapi kita terlanjur kenal lebih jauh sehingga saya nggak dapat memungkiri kalok saya juga sayang sama kamu!”
“Tapi?”
“Apa mau dikata, Wik! Tuhan mengaturnya lain dari keinginan dan rencana kita”
Pelukan Dewi semakin erat!
“Sudahlah, Wik! Mungkin setelah lulus. Saya akan kembali melanjutkannya disini dan kita bisa merajutnya lebih indah!”
“Tapi kenapa harus seperti ini?” Dewi meneteskan airmata.
“Inilah hidup, Wik! Bersabarlah! Kita hanya bisa berusaha dan berencana, sedangkan tuhan yang menentukan”
Dewi mulai tenang.
“Rand! Sepertinnya saya akan sangat merindukan kamu?”
“Sama, Wik!” Randa sambil mikir lalu senyum.
Melihat Randa tersenyum, Dewi mencubitnya dan Randa merintih kesakitan.
“Seneng, yah! Jauh dari saya?”
“Nggak, Wik! Saya cuma mikir. Sekarang bukan seperti jaman sebelu kemerdekaan. Sekarang itu tahun milenium, Wik! Kita bisa telfon-telfonan, surat-suratan dan ketika libur! Saya bisa datang kesini! Tenanglah, rumahku juga nggak bakal saya tinggal lama. Saya bakal kembali kesini, ketanah kelahiran saya”
“Yang bener?”
“Iya! Itupun kalok kamu masih sayang sama saya?” goda Randa.
“Kamu kalik! Yang nggak sayang lagi sama saya” sambil mencubit Randa.
Seperempat jam lagi bus akan diberangkatkan.
“Wik! Semalam saya menulis sesuatu, semoga bermanfaat buat kamu” Randa sambil merogok tasnya.
“Kertas apa, nih?” tanya Dewi sambil memegang kertas.
“Ups!! Jangan dibaca sekarang!” Randa menahan tangan Dewi yang berusaha membuka lipatan kertas pemberiannya.
“Kenapa?”
“Biar kamu bisa merasakan sebagian dari hati ini!”
TING-NONG!! BUS JAKARTA INDAH TUJUAN BIMA SEGERA DIBERANGKATKAN, PARA PENUMPANG DIHARAP UNTUK LEKAS NAIK!! Suara operator yang keluar dari pengeras suara.
Dewi semakin erat memeluk lengan Randa.
“Wik! Maafkan saya, nggak ada niat untuk meninggalkan kamu sendiri!”
“NGGAKK!!” kata Dewi mencoba menahan Randa.
Randa memegang bahu Dewi.
“Wik! Liat saya! Jangan sampai airmatamu membutakan mata hati kamu. Percaya pada saya! Saya akan kembali, Wik! Untuk-mu”
Airmata Dewi mulai membasahi pipi. Randa mengusap dengan kedua ibu jarinya.
“Wik! Bersabarlah”
“Sabar? Kamu enteng ngomong kayak gitu!” suara Dewi serak-serak.
“Saya berani bilang kayak gitu, karena saya percaya kamu bisa! Kamu bisa!” tekan Randa.
“Maafkan saya!” Randa sambil mengecup kening Dewi yang sedang menahan tangis.
“Janji, Rand!” suara Dewi lemah.
Randa menganggukkan kepala.
Dia-pun naik keatas bus! Dewi mengantar sampai pintu dan dia mundur beberapa langkah sambil mencari keberadaan Randa.
Setelah Dewi mendapatkan Randa yang berada dibalik kaca sedang melambaikan tangan padanya. Dewi membalas dengan lambaian yang pilu.
Bus diberangkatkan dan meninggalkan terminal. Tapi Randa dan Dewi masih melambaikan tangan, hingga mereka kehilangan salah satu diantara mereka. Hilang ditikungan jalan.

***

Dewi membuka surat pemberian Randa, dia membaca diatas taxi dalam perjalanan pulang!
“Ketika hati telah meneteskan air mata, bukan berarti itu semua karna rasa, tetapi air mata ini mulai menetes, karna kaki ini telah melangkah untuk pergi, meninggalkanmu walaupun bukan untuk selamanya” tangan Dewi sedikit gemetar.
“Hati ini terasa lemah sunyi dan sepi, membekas pelukan indahmu waktu itu” Dewi terdiam sejenak sembari mengingat hari kemarin bersama Randa.
“Mbak! Kok melamun, kita kemana nih?” tanya pak sopir taxi yang belum menjalankan kendaraannya karena dia belum tahu arah tujuannya.
“Oh, iya Pak! Maaf! Kita kemonjok ya, Pak!” titah Dewi karena dia tadi masuk taxi langsung duduk diem baca surat.
Setelah taxi bergerak, Dewi kembali membaca surat.
Kini tiba waktunya kita untuk menjauh sementara, berpisah untuk kebaikan masa depan kita, namun perlu kamu ketahui, kamu tidak akan pernah pergi dari hati ini.” Dewi mulai tersenyum dan memandang keluar kaca.
“Nggak! Randa nggak pergi!” katanya dalam hati. Dia merasa Randa masih disampingnya dan dia menoleh kesamping, dibangku kosong dekatnya lalu tersenyum sendiri.
“Kasih, selamat tinggal untukmu, hati-hati selama jauh dari aku, jaga hatimu untukku disini yang akan kembali, aku akan selalu bersamamu sekalipun itu hanya dalam hati, sampai kita bersua kembali. Sayang!” dia memmbuka lipatan surat berikutnya.
“Hati ini merintih sedih ketika di harus meninggalkanmu, takut akan kamu kenapa-kenapa saat kita jauh, tubuh ini serasa ingin selalu mendekapmu dan tidak ikhlas untuk jauh darimu.” Senyum Dewi semakin melebar.
“Randa! Randa! Kamu memang bisa membuat orang untuk tersenyum sekalipun itu hanya sebuah tinta hitam” kata Dewi dalam hati.
Pertemuan mereka memang teramat singkat, tetapi dimata Dewi dia adalah orang yang bisa membuat orang lain tersenyum, sekalipun itu sakit banginya.
Dewi kembali membaca “Jaga kesehatan selama kita jauh ya! Saya minta jangan nakal ya di sana! Saya  takut kamu di ambil orang lain! Ingatlah selalu kalau saya disini akan kembali dan masih merajai hatimu. Saya  takut ketika kita jauh pasti hati ini akan selalu merindukan kamu, saya masih pengen selalu bersamamu, namun apa daya, kita harus berpisah untuk sementara. Sampai jumpa sayang!” kemudian Dewi membuka lipatan terakhir dan dia menemukan alamat dan nomer telefon rumah Randa.
Setelah membaca surat. Dewi kembali bersemangat untuk menghadapi hari kedepan.

***

“Maafkan saya, Wik! Tidak ada niat untuk membuatmu bersedih!” kata Randa dalam hati yang sedang duduk dibangku bus paling belakang.
Randa menatap keluar kaca, melihat indahnya suasana pulau lombok yang rindang. Gunung Rinjani menjulang tinggi kokoh, seakan menggapai langit. Menjadi pemandangan menemani perjalanan Randa pulang.
Banyak kenangan yang tak dapat dilupakan, tertinggal diKota kelahiran. Seakan kota itu mengusirnya secara halus dengan cerita yang penuh derita, sekalipun cinta mulai hadir. Namun kehadiranya hanyalah sebuah cerita.
“Rand! Masih ada tempat yang kosong?” tanya Jimmi yang berteriak dari depan.
“Kenapa, bang?” Randa sambil noleh cari tempat kosong.
“Ada muatan satu orang!”
“Nggak ada tempat kosong, bang!”
“Tempat kamu duduk ada orang nggak?”
Randa melambaikan tangan.
“Ya, udah! Kamu duduk dibangku tengah aja?”
Randa nggak bisa berkata lagi hanya bisa menunjukan jempolnya. Namanya juga numpang gratis, jadi mau diapain juga harus terima.
 Sampai dilombok timur, tempat pertemuan andara bus dari Bima dan yag mau keBima. Jimmi turun untuk naik ke bus yang mengarah keMataram.
Pak sopir, Resso! Nama pengendara bus tempat Randa numpang. Setelah Jimmi pergi, dia mengintip lewat kaca spion yang ada diatas tempat duduknya, melambaikan tangan kearah Randa. Menginstruksikan agar Randa duduk didepan, tepat dekat pintu depan bersama kernet bus.
“Rand! Lemboade! Kamu duduk disini aja, ntar kalok ada yang turun disumbawa, baru kamu duduk dibangku yang kosong!” terang Resso
“Iya!” kata Randa sambil bernafas panjang.
“Kenapa kamu balik keBima?” tanya Resso.
Randa senyum aja.
“Kenapa senyum?”
“Iya pak! Saya nggak betah dimataram, jadi saya kembali karena ingin sekolah diBima saja!” jawab Randa.
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa”
Setelah pembicaraan itu, Randa diam dan lebih banyak berdiam diri sambil memikirkan masa depan dia dan nasib keluarganya.
Tak lama kemudian, bus tiba dipelabuhan kayangan. Intruksi pak sopir, Randa masuk terlebih dahulu kekapal dengan berjalan kaki, agar tidak masuk hitungan saat petugas pelabuhan menghitung penumpang. Berarti dia masuk secara ilegal.
Diatas kapal penyebrangan, Randa berdiri menghadap kearah gunung. Pemandangan wajib apabila bersandar dipelabuhan Kayangan, karena pelabuhan tepat berada dibawah kaki gunung Rinjani.
Dia membeli segelas kopi untuk menemani sebagai penghiburnya, tapi sayang dia teringat gurauan bersama Dewi kemarin.
“Rand! Jangan becanda kalok kamu sayang sama saya!” kata Dewi.
Randa cuman cenyum.
“Eh! Malah senyum! Berarti kamu becandakan?”
“Wik, Wik! Kamu selalu menganggap orang lain becanda. Padahal semua itu tulus, untuk apa saya harus berbuat seperti itu jika hanya untuk gurauan. Nggak ada hasilnya!”
“Terus! Dikartu, gimana?”
“Itukan ada hasilnya, Wik! Buat makan untuk  bayar sekolah dan lain-lain”
“Terus yang kesaya?” tanya Dewi yang pengen digombal.
“Yang ke kamu, ya untuk kamu! Masak untuk embek! Untuk mencuri hati dan perhatian kamu Wik!”
“Tapi, Rand! Jangan sampai ada kata sampai jumpa ya?” Dewi bersandar dibahu Randa.
“Ya, enggak lah Wik, kalokpun ada. Kata-kata itu pasti diakhiri dengan kata lagi. Sampai jumpa lagi, ketemu lagi, kangen lagi, see you lagi and miss you lagi. berarti kita akan bertemu lagi. Gichu sayang” terang Randa sembari senyum.
“Hey! Ngelamun aja!” kata Resso menepuk pundak Randa. “nggak usah dipikirin, bilang sampai jumpa Mataram” lanjut Resso.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar