Case1. PAKET MISTERIUS
“BUUUUUMMMMM”
suara ledakan.
Randa saking
terkejutnya mendengar suara ledakan,
tanpa sadar dia berlindung dibalik tiang listrik yang lebih kecil dari
tubuhnya. Sedangkan Zigot dan Man,
respeck menjonggkok sambil mencari-cari arah sumber suara. Begitupun dengan
orang-orang disekitarnya.
Setelah sumber
suara diketahui tempatnya yang hanya berjarak seratus meter di belakang mereka
bertiga, mereka segera menuju ketempat kejadian untuk memastikan apa yang
terjadi.
Melewati jalan
kecil yang baru saja mereka lalui. Di ujung jalan menuju jalan raya, asap dan
api menjulang tinggi, hampir melumat keseluruhan rumah ibadah yang berhadapan dengan
rumah sakit di seberang jalan raya.
Mataram 17
Januari 2000. Yap! Kurang lebih dua tahun setelah lengsernya orde baru, dimana
transisi kepemimpinan Presiden Habibi selaku presiden ke-tiga, dan Gus-dur yang
menjabat sebagai Presiden ke-empat di Indonesia. Masa-masa itu adalah masa-masa
sulit bagi bangsa Indonesia.
Reformasi, atau
masa perubahan. Dimana semua harapan masyarakat berubah, dari oligarki ke demokrasi. Sampai sampai sembako-pun harus berubah.
Asalkan jangan
berubah ke-Democrazy seperti judul
acara disalah satu tv swasta terkemuka.
Randa adalah
seorang pelajar sekolah kejuruan swasta yang bernama asli Tonggeranda dan lebih senang dipanggil Randa. Lahir dikota Mataram, enam belas tahun silam, dibesarkan di
kota Bima dan kembali meniti ilmu di tanah kelahirannya, yang dengan penuh
harapan dalam benak Randa. Kota-Mataram adalah kota impian.
Ditempat
kejadian, api yang membara dan asap yang menjulang tinggi, jeritan minta tolong
para-korban kebiadaban, meluluhkan hati pendengarnya. Randa beserta kedua
temannya tidak berani terlalu mendekat. Sorot mata Randa fokus pada sumber api.
“Randa, apa yang
barusan terjadi?” tanya Zigot dengan gelagat agak bingung melihat tempat
kejadian.
Randa menggelengkan kepala sambil melangkah mundur
di selah-selah orang banyak yang sedang menonton. Suara sirine ambulan semakin
membuat suasana pilu.
“Bukankah kita
baru saja dari tempat ini, Rand?” tanya Zigot lagi.
Dan dengan
pertanyaan yang tak dijawab. Zigot menoleh kearah Randa yang berada
disampingnya. Ternyata Randa telah berubah menjadi bapak tua dengan asap yang
mengepul diwajahnya, hampir sama dengan bangunan yang terbakar didepannya.
Bedanya saja asap tersebut dari asap sebatang rokok yang nyelip dibibir.
Sambil bingung Zigot
menoleh kekiri dan kekakan mencari keberadaan Randa. Lalu Zigot menoleh
kebelakang alhasil dia mendapatkan Randa sedang berjalan pergi, menjauh meninggalkan
tempat kejadian.
“Rand! Rand!” panggil
Zigot dan perlahan pergi kearah Randa sembari menarik tangan temannya Suherman
yang biasa dipanggil dengan Man.
Mereka bertiga
adalah teman semasa SMP dibima. Hanya saja Zigot atau bernama asli Iwan dan
Suherman yang sering disapa Man. Mereka adalah utusan daerah mewakili cabang
olahraga. Zigot pemain bulutangkis dan Man mewakili atlit tenis meja. Mereka
berdua satu tahun lebih dulu berada di Mataram.
“Randa tunggu!”
teriak mereka berdua.
“Tunggu, Rand!”
zigot sembari meraih bahu Randa.
Randa hanya
terdiam dan berjalan menjauhi tempat kejadian.
Sepanjang jalan
auranya terasa sunyi padahal orang-orang berkerumun dipinggir jalan. Mencari
tahu apa yang terjadi.
Mereka
melangkahkan kaki dengan cepat dan terburu-buru. Merasa waspada, Randa mencoba
untuk tenang. Setiap kali orang bertanya pada mereka, mereka geleng-geleng
kepala. Mereka pura-pura tidak tau.
Setelah jarak
sudah cukup jauh dari tempat kejadian, Zigot kembali bertanya.
“Randa,apa kamu
tahu kejadian tadi?”
“Nggak mungkin
saya nggak tau, kita berada disana!” jawab Randa ketus.
“Bukan gitu,
Rand! Maksud saya, apa kamu ngerti apa
yang terjadi ditempat tadi?”
“Nggak!”
lagi-lagi dijawab ketus oleh Randa.
Man hanya bisa
berdiam diri saja. Mungkin dia mengerti dengan kejadian tadi atau bahakan nggak
berani berkata-kata karena keadaan sekitar yang mulai aneh.
“Rand! Kok,
suasana cepat sekali berubah?” tanya Man.
“Iya, Man!
Sepertinya masalah besar, lebih baik pergi menjauh dulu. Cari aman!” kata
Randa.
“Bener, Rand!
Kita cabut aja!” ucap Zigot.
Setiap lorong
dan jalan-jalan yang dilalui mereka, didepan rumah-rumah selalu di jaga oleh
tiga atau empat orang penghuni rumah bersenjata lengkap. Tombak ditangan kiri
dan kanannya, badik terselip diikatan perut, sembari menatap kearah mereka
tajam dengan mata memerah karna Brem
atau Tuak minuman tradisional yang
memabukkan di kota tersebut.
Orang-orang berjaga disekitar rumah
masing-masing, mengantisipasi hal-hal yang tidak dinginkan.
Man berciri-ciri
hitam berkarakter penakut dan suka ikut-ikutan. Sedangkan Zigot putih berewokan dan setinggi bahu Randa, dia
adalah anak yang agresif apalagi kalau sudah menyangkut masalah perempuan,
semua jadi gelap.
Sedangkan Randa,
berambut cepak dan disisir miring kekanan, hidung mancung gigi agak gingsul,
kalok dia senyum orang nggak akan pernah lupa. Tapi dia juga tipe anak yang
sedikit susah ditebak. Oh ya! Kulit sawo matang dan rambut hitam juga sebagian
ciri dari Tonggeranda.
Mereka di juluki
TRISULA “Tidak RIbet Sama Urusan Lo yA” baimana menurut anda, nyambung apa enggak?
“Terus gimana,
Rand?” lanjut tanya Zigot.
“Gimana apannya,
Zig?”
“Ituloh, Rand!
Kejadian tadi!”
“Saya tanya
balik sama kalian berdua. Sebelum kejadian, kita membawakan paket orang,
iyakan?” tanya Randa menekan.
“ Iya...” jawab
Man dan Zigot.
“Menurut kalian
apa isi paket yang kita bawa tadi?”
“Yang saya tau,
masing-masing dari kita hanya membawa dua jerigen yang isinya penuh. Tapi saya
tidak tahu apa isinya?” jawab zigot sambil garuk kepala.
“Lalu, kamu,
Man?” Randa sambil menaikan alis.
Man hanya
geleng-geleng.
Semakin lama
langkah mereka semakin pelan, karena telah berada jauh dari lokasi kejadian.
Tapi mereka sering digogong anjing. Sebab mereka berjalan diperkampungan umat Hindu.
Karena merasa risih
dan takut disangka macem-macem sama orang, mereka keluar dari perkampungan.
Lalu mereka berjalan di jalan raya. Suara sirine pemadam kebakaran terdengar
dimana-mana. Mereka tetap mencoba untuk tenang.
Kemudian mereka berjalan
diatas parit yang sudah ditutupi beton cor dan dijadikan trotoar jalan.
Berjalan ditrotoar mereka tak lupa jarak sepuluh meter, sesekali harus melompat
karena ada lubang untuk membersihkan parit.
Sudah cukup lama
selah pembicaraan. Eh! Si-Man Suherman bertanya “Maksudnya?” dia bertanya
karena dari tadi dia mikir makan dan nggak fokus dengan pembicaraan Randa.
Hanya saja diakhir kalimat Randa yang mengiang ditelinganya makanya dia keppo.
“Kamu darimana
aja? Ditanyain malah geleng-geleng kayak orang triping!”
“Maaf, cuy!
Pikiran saya ketutup makanan, makanya nggak nyambung!” kata Man.
“Sotoi!!!” kata
Zigot.
“Saya juga nggak
tau jelas apa isinya, yang saya tahu kita diberi upah masing masing seratus
ribu rupiah untuk membawakan paket tersebut dan kita sudah menerima
masing-masing upah tersebut”
“Maksudnya?”
tanya balik Man sembari memutar otaknya yang sedikit agak bikin bingung dirinya
sendiri.
“Maksudnya, kita
telah dijebak! Dengan mengantar paket tersebut.” Tegas Randa
“Makin nggak ngerti
saya, Rand!” Man menggelengkan kepala dan se-sekali melompat.
“Sepertinya!
Paket tadi adalah bahan mudah menyala atau bahan bakar minyak dan di tempat
kita diinstruksikan menyimpan, ada
sebuah paket terbungkus plastik hitam. Sepertinya juga, paket itu adalah paket
yang misterius! Apa kalian memperhatikan?”
Terheran mereka
berdua mendengar penjelasan Randa.
“Terus! Kok bisa
meledak, Rand?” tanya Zigot.
“Nah! Itu dia
yang nggak habis pikir. Mungkin paket misterius itu sumber awal dari
masalahnya, sehingga menyambar ke yang lain!”
Man masih
geleng-geleng kepala.
“Sudahlah!
Lupakan, kita balik keKosh” ajak Randa.
***
Perjalanan
menuju kosh masih jauh. Harus melewati beberapa block lagi, sedangkan Zigot.
Mendengar cerita Randa, dia masih penasaran. Saking penasarannya, ia lalu ingin
bertanya.
“Randa, saya
ingin kamu ceritakan dengan jelas dari awal semua ini!” kata Zigot.
“Cerita apa,
Zig-ot?”
“Ya!! Kamu
ceritainlah awal mulanya gimana”
“Awal mula apa?”
Randa sambil melompat.
“Kayak nggak tau
adja kamu! Ituloh, Rand!” suara Zigot hilang.
Karena Randa merasa
kehilangan suara Zigot, dia menoleh kesamping lalu kebelakang dan terkejut
melihat Zigot yang sedang dibantu untuk berdiri oleh Man, dengan kaki
sebelahnya tercebur kedalam lubang. Randa-pun merasa iba sembari tertawa
melihat temannya.
“Ngapain kamu, Wan?”
tanya Randa sambil ketawa.
“Zigot, Rand!
Zigot” protesnya karna dipanggil dengan nama Wan!
“Biasa..” jawab
Man, angguk-angguk kepala.
“Biasa kenapa,
Man?” Randa bingung.
“Biasa Rand! Ada
bidadari. Tuuuh!!” kata Man sambil menunjuk dengan sorot matanya kearah gadis
bali yang sedang berdiri sambil tersenyum melihat tingkah mereka. Tau
sendirilah gadis bali itu gimana manisnya?
Zigot tersenyum
sambil malu-malu dan semua tertawa. Termasuk bidadari tadi.
Meningkatkan konsentrasi sangatlah penting untuk mengoptimalkan
kompetensi kita dalam menyelesaikan setiap kegiatan atau pekerjaan. Pengaruh konsentrasi yang kurang baik,
sudah pasti akan berakibat buruk pada hasil dari semua kegiatan atau
pekerjaan. Meskipun pada dasarnya kompetensi/kemampuan kita untuk menyelesaikan
pekerjaan itu terbilang baik.
Ditambah dengan
posted by: Haryanto, S.pd .Yang mengatakan bahwa Hal terpenting dalam proses belajar adalah konsentrasi belajar anak. Anak
akan mudah menangkap materi pelajaran jika anak merasa nyaman dan dapat berkonsentrasi dalam belajar.
Pertanyaan
saya, Apakah kita merasa nyaman?
Oh ya, saya lupa
menjelaskan kenapa Randa bisa sekolah disana. Randa adalah anak seorang
kontraktor Listrik diBima, dia mendaftar disekolah kejuruan diMataram jurusan
kelistrikan.
Sesuai keinginan
ayahnya yang ingin agar dia lulus nanti bisa melamar di PT. PLN “Perusahaan
Listrik Negara”. Tetapi karena pembagian Ijasah dan nilai akhir ujian diBima
terlambat. Alhasil dia terlambat satu hari mendaftar.
Karena sekolah
diMataram sangat disiplin, jadi dia tidak bisa ditolerir keterlambatannya. Inilah
awal masalah Randa.
Terpaksa dia
harus mendaftar di sekolah kejuruan swasta dengan mengambil jurusan bangunan,
mau tidak mau karna disekolah tersebut tidak ada jurusan kelistrikan. Hingga
bertemu kedua teman semasa SMP. Ooo..ya. Zigot dan Man suherman, mereka sekolah
di sekolah umum. Sekolah yang berbeda dengan Randa.
Kembali
kecerita.
Setelah dikosh!
Randa mencoba menjelaskan semuanya. Ada yang saya lupa, kosh disini yang
dimaksud bukan koshnya Randa, tapi koshnya Erwin sianak Dompu. Dia pergi mudik
karena ada hal penting yang mengharuskan dia kembali.
Selama Erwin
mudik! Kosh tersebut dititip kemereka bertiga.
“Begini Zigot
dan dengarkan, jangan dulu motong akan apa yang saya ceritakan. Ok?”
Mereka berdua
mencoba mendengarkan kronologis dari Randa.
“Dua hari yang
lalu, Saya bertemu dengan se-seorang diatas angkot yang tidak saya tau namanya. Dengan ciri-ciri
berkumis tipis, janggut pajang, seperti milik kambing. Bibir tebal, leebar
dengan wajah agak tertutup oleh topi couple. Dia menawarkan saya sebuah pekerjaan, dia
mengimingi saya dengan upah yang cukup besar, seperti yang kalian terima
sekarang. Namun saya bertanya, apa pekerjaan yang akan saya lakukan? Dia hanya
memberi nota dan alamat paket dan tujuan paket. Kemudian dia menyodorkan
lembaran uang lima puluh ribuan, enam lembar. Lalu dia turun dari angkot, tapi saya
sempat menawar upah lebih tinggi, hanya saja uangnya yang ada cuman segitu!
Saya merasa iba! Ya saya terima aja! Lalu saya mengajak kalian, itu saja.”
“Rand, Boleh saya
bertanya?” potong Zigot.
“Iya, silahkan”
“Begini Rand,
apa sebelumnya kamu tahu apa paket tersebut?”
“Zig! Kalok saya
tahu! Saya nggak akan mengajak kalian. Tapi karna saya tidak tahu makanya saya
ngajak kalian. Sekalian biar bisa jadi saksi. Dan juga uang sudah ditangan,
berarti sudah jadi amanah.” Kata Randa sambil senyum.
“Tapi kenapa
kamu tahu kalok yang terbakar itu paket yang kita bawa? saya jadi bingung?”
tanya Man..
“Sebenarnya apa
yang bikin kamu bingung Man? Kan, udah saya ceritakan tadi dijalan. Disamping paket
itu ada paket yang misterius. Atau ada yang lain yang bikin kamu bingung Man?”
tanya balik Randa
Man senyum.
“Sebentar-sebentar”
potong zigot dan bertanya ke-Randa “berarti
kamu beli kucing dalam karung dong?”
Sambil menarik
nafas Randa menjawab.
“Eeemm,
sepertinya begitu, Zig!”
Sebagai manusia,
kelalaian pasti ada, makanya kita harus lebih teliti dalam berbuat. Tapi jika semua
sudah terjadi, maka untuk kedepan, kita harus lebih baik. Gimana?
Man melanjutkan
pertanyaannya.
“Iya Rand! Yang bikin
saya bingung adalah ( sambil nyengir) kok yang saya terima hanya lima puluh, Rand!
Bukanya seratus?”
Dahi Randa
mengkerut dan memaki-maki Man menggunakan bahasa Bima, tapi Man emang dasar
nggak tau malu. Di omelin dia malah nyengir!
“Seharusnya kamu
bersyukur, udah dapet duit yang lumayan..” kata Randa geram.
Kebiasaan dibima
apabila bersenda gurau, kebanyakan bersuara besar dan kasar. Tapi sebenarnya
hati mereka itu baik-baik. Banyak orang bilang kalau orang Bima bengis-bengis.
Nyatanya selama saya diBima tidak seperti yang diberitakan orang.
Saya fine
aja diBima. Bima itu daerah yang mayoritas Muslim, yang pernah dipimpin oleh
Sultan sebelum kemerdekaan, bahkan yang salah satu Sultanya adalah kakek buyut
dari Pangeran Diponoegoro. Penasaran?
Tanya mbah Google dan coba saja
datang ke-Bima.
Daerahnya ramah dan tidak seperti yang
diberitakan. Untuk memastikannya cobalah jalan-jalan ke-Bima. Sedangkan Lombok
diJuluki negeri seribu masjid, sooo... semua orang pasti tahukan bagaimana pulau
Lombok? Yang tidak tahu! Sudah jelas dia rugi-rugi-rugi.
“Kita makan yuk?” ajak Man.
Waktu memang
menujukan makan siang. Randa kewarung untuk membeli nasi balap. Nasi balap nasi seribuan diwaktu itu, sama dengan di
jogja yang terkenal dengan nasi kucing-nya.
Nasi buat anak-anak kosh.
Zigot dan Man
udah balik ke-Asrama, mereka makan dan minumnya dijamin pemerintah dan semua
harus bergizi. Terkadang kalau ada yang lebih, mereka bawakan ke-kosh.
Jarak kosh dan asrama atlit tidak jauh,
hanya dua puluh meteran.
Nasi balap
disimpan sembari menunggu makan siang, Randa berbegas mandi untuk sekolah.
Harap maklum namanya juga sekolah swasta, jadi sekolahnya siang untuk kelas
awalnya. Tapi sepertinya semua sama.
***
BUUUMMMM, TAR TAR, TAR TAR
Belum selesai meneguk
air. Randa mendengar suara ledakan dan bedil, agak jauh dari kosh. Semua orang
keluar, berlarian mencari tanah lebih lapang untuk bisa mancari tahu dan
memastikan apa yang terjadi.
Randa bergegas
lari keluar menuju asrama atlit yang lebih lapang. Karena asrama langsung
berdampingan dengan lapangan sepakbola, sebagai sarana utuk para atlit.
Dengan seragam
yang belum dikancing, tas jahitan sendiri terbuat dari karung Goni. Tahukan karung goni? Dan sedikit
lukisan jantung, ditengahnya bertuliskan Dag..
Dig.. Dug.. plesetan buatan sendiri, jika di jogja terkenal dengan DAGADU
bergambar mata.
Tapi Randa orang
yang selalu ingin tampil beda, dengan kreasinya sendiri dia buat sangat menarik,
sehingga menjadi perhatian orang-orang.
“Yogi, ada suara
apa tadi?” tanya Randa pada salah satu atlit tolak peluru yang juga utusan dari
Bima..
“Entahlah, tapi
anak-anak asrama pada ngilang” kata Yogi.
“Pada ngilang?”
Randa bingung.
“Sepertinya
mereka menuju sumber suara! Soalnya disana sedang terjadi kerusuhan dan penjarahan.”
Yogi sambil melihat langit cerah, yang sedikit terusik oleh asap hitam nan
tebal dan se-sekali terdengar suara tembakan.
“Suherman dan
Zigot kemana?” tanya Randa cemas.
“Sepertinya mereka
juga pergi bersama yang lain” jawab Yogi.
“Kemana?”
Yogi mengangkat
kedua tangan dan bahunya.
Dari jauh
terlihat Man sedang berlari masuk dari pintu gerbang lapangan Atletic Mataram. Dengan
pelastik merah berisi penuh, ditangan kiri dan kanan, satu lagi menggantung
dileher.
Disusul Zigot di
belakang, dengan hal yang sama dan dada naik turun, nafas tak beraturan, bak
habis lari dikejar anjing dan dengan beban ditubuhnya.
“Rand! hah..
huh.. hah.. huh.. (suara nafas) mana kunci kosh?” tanya Man sambil tangan
menukik dilutut.
Randa melempar
kunci koshnya, kearah Man dan ditangkap dengan tepat, kemudian berlari menuju
kosh. Menyimpan barang-baranag jarahannya.
Terjadi
penjarahan dimana-mana, mis komunikasi antar umat beragama, kesalah pahaman tak
teratasi dan sejuta maling berpesta.
“Ayo Randa,
mumpung gratis buat stock kita makan berbulan-bulan.” Ajak zigot sambil berlari
menuju ketempat kerusuhan.
Randa penasaran.
Secara emergenci semua kegiatan
ditutup. Dengan seragam sekolah yang masih melekat dibadan. Randa menyusul.
Suasana sangat
genting, pertokoan ditutup paksa oleh pemiliknya. Rakyat berhamburan keluar
dari benteng masing-masing, ruko-ruko yang ditutup dobongkar paksa, dikeluarkan
isinnya, yang tak berguna dibakar, sirine polisi dimana-mana.
Randa jadi ikut
terlibat, karena penasaran. Dia menjarah bersama teman-temannya. Ini adalah
sebuah kesalahan. Merampok si miskin
penuh gairah, asik menggeladrah, si lapar hanya bisa sumarah. Salah satu
ba’it puisi Penjarah karya Sang Mahadewa Cinta
Bolak-balik
mereka membawa barang jarahan, hampir sebagian dari atlit berbuat yang sama,
semua ditumpuk menggunung di kosh.
“Ayo Rand! Ambil
yang ini, masukan semua! Itu! Ituuu.. ada pelastik masukan!” Teriak Man pada
Randa agar segera di packing
barangnya.
Randa hanya
terdiam dan berfikir, karna sudah dua kali dia bolak-balik ke-kosh membawa
jarahan. Matanya liar dan terfokus meja
kasir yang terbuat dari kayu jati, dia berlari dan melompat menghampiri meja
tersebut.
Seperti singa
yang mencengkram mangsanya, semakin lama semakin liar. Sayangnya meja tersebut terkunci
rapat, tak hilang akal dia.
Diraihnya sebuah
tongkat penyangga pintu ruko yang terbuat dari batangan besi, dan kembali
menuju meja kasir. Dihantamkannya besi tersebut, dicongkel, dibanting hingga
terbobol lacinya. Dia terdiam, sorot matanya fokus dan membiru menatap isi dari
laci meja.
“Ooooeeee
Man,(teriak randa) cepat kemari bawa pelastik itu atau lemparkan, cepat
kosongkan isinya. Ini jauh lebih penting.”
“Iya tunggu
sebentar..” dan plastikpun dilempar kearah Randa.
Dengan segera,
dan mata yang liar nan membiru melirik kesana-kemari sembari mengeluarkan isi
laci dan dimasukkan kedalam plastik. Lembaran biru, hijau, coklat, dominan
berwarna biru lembaran rupiah tersebut hampir memenuhi kantong plastik.
Lagi asik
menjarah, terdengar suara orang berteriak.
BRIMOB!!
BRIMOB!! BRIMOB!!
Suara itu terdengar
dari luar pertokoan, tak ada yang menghiraukan. TAR. TAR. TAR suara tembakan
sahut menyahut. Suasana kacau balau. Stelah merasa tidak nyaman dan dengan
sedikit kesadaran! Mereka berlari keluar.
“Ayo cepat, Brimob
datang..” terdengar suara yang entah dari siapa.
Randa berbegas
lari walau laci belum terkuras habis.Melompat bagai binatang yang di usir oleh
penunggu ladang.
Belum semua kaki
kaluar dari dari pertokoan. Pantat bedil menghantam pipi dan telinga Randa
begitu pula dengan yang lain.
Randa terpelanting bersama plastik merah yang
dipegangnya erat, berguling-guling dilantai. Plastiknya bocor isinya
berserakan, dia bergegas bangun untuk lari.
Sepatu Brimob
hitam mendarat dipipi sebelahnya.
Habislah sudah
dia, terkapar ditanah, dipaksa bangun oleh para-Brimob.
“Bangun, jongkok
semua (Tar. Tar. Tar suara bedil) bangsat” suara yang tak patut didengar keluar
dari aparat. Mengamankan keadaan.
Teriakan
diamana-mana. Randa masih setengah sadar menundukan kepala. Ditendang,
dihantam, dimaki bagai binatang.
“Angkut mereka,
segeraaaaa..” instruksi komandan dengan suara lebih dari delapan oktaf .
Satu persatu
kaki dan tangan diikat kemudian dilempar keatas truk rangger, yang tingginya
satu setengah meter.
Sebelum mendarat
dilantai truk, sudah dihantam dengan sepatu sampai terpental membentur
kedinding truk. Banyak orang-orang yang tidak sadarkan diri termasuk Randa dan
teman-temannya.
Case
2. KAMAR BESI
Angin
sepoi-sepoi, langit sangat cerah, bersandar dibawah pohon besar nan rindang,
aduhai nikmatnya. Sembari menatap danau yang berkaca-kaca oleh sinar mentari,
seperti intan berlian. Pepohonan hijau nan rimbun mengelilingi danau,
menyejukkan mata. Perbukitan kokoh berdiri, bagai benteng istana. Serasa di
surga, tp surga yang mana?
Awan nampak
ber-iringan, menyatu dan menabur berlian hingga jatuh kebumi, matahari masih
menjadi raja. Diujung awan terbentang selendang bidadari. Turun satu-persatu
elok nan gemulai, senyumnya ramah nan memukau, membuat tubuh basah bagai di
guyur hujan.
Datang dia
menghampiri, hati jadi senang. Bidadari melambaikan tangannya dengan lembut,
sembari memanggil.
“Ayo kemari! Kemari!
Bangunlah!” suaranya lembut menggoda.
“Bangunlah! Ayo,
bangunlah!” suaranya semakin menggairahkan.
“Bangun! Bangun!
Ayo BANGUUUUN BANGSAT!!” suara itu terdengar aneh, tapi tubuh tetap basah..
“Siram mereka
semua sampai bangun,cepat!” terdengar suara mengusik telinga.
Randa berada
dialam bawah sadar, setelah terhempas dari dinding truk, dia bermimpi cantik.
“sialan ternyata
hanya mimpi” kata Randa dalam hati setelah sadar.
Randa melihat
sekitarnya yang nampak tidak jelas, kedua telapak tangannya dipakai untuk
menutup matanya, sambil mengintip diselah jari, agar bisa melihat. Karena water
cannon tak hentinya membombardir mereka diatas truk.
Water cannon
berhenti. Satu persatu mereka turun dan berbaris rapi, seperti anggota baru
pulang pendidikan. Tak sampai disitu, mereka disuruh jongkok, kaki kakan
didepan dan kaki kiri dibelakang lalu sebaliknya, begitu terus sampai hitungan
keseratus.
“Sembilan puluh
sembilan, seratus! Selesai! Siap dan berbaris rapi”
Komandan kompi
memperkenalkan wilayah kekuasannya, memperjelas situasi kenapa dan kenapa
mereka dibawa kemarkas. Jadi keingat waktu disekolah, satu salah semua siap
salah.
Komandan hanya
berbicara poin poin saja, menginstruksikan berbalik arah dan menghadap
matahari, kemana matahari pergi kesitulah arah dan tujuan mereka.
Satu jam pertama
sudah biasa bagi Randa cs. Biasayalah, maklum terbiasa di jemur waktu upacara
senin pagi, rutin setiap senin. Kuat dong!
Dua jam
kemudian, tak masalah bagi mereka. Terbiasa olah raga, ya itung itung ngeluarin
keringat.
Tiga jam
kemudian, mereka masih kokoh berdiri. Ini hanya pembakaran lemak biasa, gampang
menurut mereka.
Jam ke-empat,
kayaknya jadi sebuah ujian bagi mereka. Seperti orang puasa gitu, kan ada suara
kriuk-kriuk diperut, dan sudah ada
yang main angkat-angkat kaki. Bayangin aja gimana rasanya.
Jam kelima
mereka selamat, maklumlah matahari hampir pergi dan ngintip di balik awan. Mereka
berfikir, sebentar lagi istirahat. Santai anggapannya, karena menunggu waktu
istirahat, menunggu, menunggu dan menunggu.
“Sebentar lagi!
Sabar prend!” kata Randa pada temen-temennya bersuara lemah.
Sebentar!
Sebentar! dan Sebentar!
Adzan telah
berkumandang, hari sudah gelap. Langit sudah tak biru lagi, panas sudah pasti
hilang, yang tertinggal hanya gundah dihati. Satu persatu tumbang, waktu
diperkirakan pukul delapan malam.
Salah satu brimob
datang “Bangun masuk kamar, cepat! Tanggalkan pakaian kalian” perintahnya.
Langkah
tertatih-tatih, beberapa orang tangannya menggantung di bahu kawan, karena
lemah. Berjalan masuk kekamar sepuluh kali sepuluh. Sangat luas untuk ukuran
kamar, apalagi kalau ada tempat tidur, bantal dan guling. Mantap rek-rek.
Tetapi tidak
sesuai harapan, yang ada hanya lembaran koran. Tiga puluh orang dalam satu
kamar, bayangkan diruangan sepuluh kali sepuluh dengan jumlah penghuni tiga
puluh orang.
Mantap gerah body. Tak ada nafsu karna lemah, tak
makan dan tak sanggup berdiri. Tertidur pulaslah mereka, hilang lapar dan
dahaga, berganti dengan mimpi, berharap mimpi yang baik. Kasihan!
***
Di saat itu,
kota masih kacau, pengamanan super
ketat, bahkan untuk kewarung saja ragu. Batu-batu berserakan sepanjang jalan.
Entah apa yang diinginkan, tercapai
keinginanpun tidak. Hal seperti itu
tidak ada guna, yang ada hanya penyesalan.
Penyesalan
memang datangnya terlambat, kalau penyesalan itu datangnya terlebih dahulu,
berbarti bukan penyesalan namanya tapi pemikiran.
Dikampung saya, ds. bongkol satu rumah rata dengan
tanah, kerusuhan itu berunsur sara. Tapi bukan Yuni Sarah! Entah pemahaman apa
dan yang bagaimana mereka pakai?
Berhubung
keberagaman seseorang dibangun di atas dasar keyakinan, maka logikanya tidak
boleh ada paksaan dalam agama, tidak boleh ada paksaan untuk meyakini atau
tidak meyakini suatu agama. Hal ini merupakan salah satu prinsip dalam agama Islam.
Al-Qur’an meyatakan: “Apakah kamu hendak memaksa manusia agar mereka
menjadi mukmin” (Qs.Yunus : 99)
Hal lain yang
mutlak harus dijadikan prinsip umat beragama adalah prinsip toleransi (al-tasamuh).
Ini berangkat dari kesadaran bahwa segala perbedaan, termasuk perbedaan dalam
beragama, merupakan fitrah kemanusiaan. Mengingkari perbedaan berarti
mengingkari fitrah.
Sejalan dengan
fitrah itu, al-Qur’an menyatakan: “Barang siapa mau beriman silahkan beriman,
dan barang siapa mau kafir silahkan kafir” (Qs. al-Kahfi : 29). Dengan
prinsip toleransi, maka tidak diperlukan upaya menyatukan agama dan tidak perlu
ada usaha menciptakan keyakinan bahwa semua agama benar. Sebaliknya, dengan
adanya keyakinan semua agama benar tidak diperlukan toleransi dalam agama.
Bagaimana
menurut kalian?
Salah satu realitas yang banyak terjadi di atas bumi ini
ialah, bahwa pemeluk suatu agama bangga dengan agamanya dan berkeyakinan bahwa
agama yang ia anut saja yang benar kemudian berupaya untuk membentengi agamanya
itu, misalnya dengan memperkokoh tali ukhuwwah diniyyah di antara
sesama pemeluk agama tersebut.
Ini sah-sah saja bahkan logis dan rasional. Yang tidak
logis dan tidak rasional bahkan berbahaya adalah bila orang yang meyakini suatu
agama membenci dan memusuhi agama lain, apalagi sampai menghalalkan darah dan
harta penganut agama lain. Meski ini tidak masuk akal dan berbahaya, tapi
banyak orang yang melakukannya.
Termasuk dari kalangan umat Islam, bahkan sebagian menganggap
bahwa dengan aksi seperti itu, mereka telah ber-taqarrub ila Allâh (mendekatkan
diri kepada Allah).
Boleh jadi maksud mereka baik, tapi yang terjadi
sebaliknya. Mungkin maksud mereka ingin memoles wajah agamanya agar tambah
anggun, tapi malah mencorengnya. Maklum, pada umumnya mereka hanya punya modal
semangat, sementara pengetahuan yang cukup tentang agamanya tidak mereka miliki
secara memadai.
Adalah runyam bila agama mengajari pemeluknya membenci
atau menyerang pemeluk agama lain yang tidak bersalah. Apa jadinya bila pemeluk
agama lain itu keluarganya sendiri; bapaknya, pamannya, kakeknya, atau yang
lain.
Islam sendiri tidak melarang pemeluknya sengaja memiliki
paman, kakek, atau nenek yang beragama lain. Perlu disimak ajaran al-Qur’an
tentang hal ini: “Dan jika keduanya (bapak dan ibumu) memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak punya pengetahuan tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti (kemauan) mereka, dan temanilah mereka di
dunia ini dengan baik“. (Qs. Luqman : 15).
Kembali kecerita. Adzan subuh berkumandang, malam
teramat singkat.
“Tenk! Tenk! Tenk! Teng!”
Suara terali yang diadu dengan tongkat, yang biasa dipakai
untuk pasukan anti huru-hara. Dikamar
besi, mereka terbangun tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka sadar diri dengan apa
yang telah dilakukan.
“Ayo bangun, waktunya sarapan pagi dan sholat bagi yang
beragama islam” tutur seorang petugas.
Tumben nih petugas baik, ternyata bener orang-orang tua
kita bilang. Berfikir positif itu sangat perlu. Sejahat jahatnya orang pasti ada sisi baiknya.
Mereka bergegas keluar, satu persatu. Sholat berjamaah
di mushola, setelah itu kembali ke-kamar besi.
Bingkisan nasi-pun datang, satu plastik yang berisi
hanya lima bungkus nasi. Jauh dari hayalan dan perbandingan tiga puluh banding
lima. Bayangin adja segitu banyak orang menggerogoti lima bungkus nasi ditambah
satu setengah liter air mineral, untug saja tidak ada yang tersedak.
Sesuap demi sesuap, nasi mereka bagi rata, secuil demi
secuil daging disisipkan.
“Pahit teramat pahit, kamar besi ini benar-benar kejam.
Haruskah seperti ini?” ratap Zigot.
“Apa mau dikata lengaaaa!! Sabar adja, andai waktu bisa
diputar ulang. Pasti kita nggak akan seperti ini” nasehat salah seorang teman satu kamar yang berasal dari Lombok
Timur, dia pernah keBima untuk berdagang, jadi dia sedikit bisa bahasa bima. LENGA yang berarti (teman atau kawan).
Waktu menunjukan jam delapan pagi, tahanan kembali
kelapangan untuk menjalani hukuman. Hukuman yang dijalani hanya upacara
bendera, tahanan dibagi. Ada pemimpim upacara, pemimpin pasukan, pembawa
bendera dan satu pembina upacara, yaitu yang tertua diantara mereka.
Saya lupa! Selaku pembaca undang-undang dan regu penyayi
dibaca bersama dengan kompak dan harus kompak.
Berbaris rapi bagai tentara, disiplin. Masing-masing
pemimpin pasukan menyiapkan pasukannya.
Satu pemimpin pasukan memiliki lima orang pasukan. Soal biasa bagi
mereka untuk siap-menyiapkan pasukan. Pasukan jelas sudah siap.
Pemimpin upacara mengambil tempat yang telah ditentukan,
pemimpin pasukan bergegas menuju tempat yang telah ditentukan dengan berjalan
tegas dan tegap. Mantap cui!
“Komando saya ambil alih, SIAAAAAAAP GRAAAK.” Pemimpin
pasukan bersuara serak-serak becek.
“Masing-masing pasukan kembali kesamping kiri pasukan” belum selesai dia lanjutkan. Aparat
mengintruksikan turun PUSH-UP dua puluh kali setiap kali kesalahan. Semua
harus push-up tanpa terkecuali.
Seharusnya kesamping kanan, bukan kiri. Satu salah semua
kena getahnya.
Tiga empat kali masih kata yang sama dikeluarkan,
kesalahan masih ada, hukuman berjalan. Push-up lagi. Sampai betul-betul-betul.
“Aduh parah ni, baru awal upacara adja udah salah.
Gimana akhirnya?” tutur Man
“Sepertinya dia dulu waktu sekolah enggak pernah
upacara!” kata Zigot
“Iya, waktu sekolah dia sering lompat pagar disaaat jam
upacara. Persis kalian!” ledek Randa dengan nada berbisik.
“Kampret! Kayak kamu yang enggak pernah lompat pagar
adja” sahut Zigot.
Randa disini sebagai pemimpin pasukan, ia memimpin teman –temannya sendiri, tapi ada satu orang
lombok yang nyelip.
“ISTIRAHAT DITEMPAAAAAAAT GRAAAK..” pemimpin upacara
masih mengambil alih pasukan.
“Lapor upacara bendera SIAAAAP. Lanjutkan.”
Pembina upacara tiba ditempat upacara, pembina melangkah
tertatih-tatih, sambil ngelus perut. Karena
sarapannya kurang, jadi lemesdeh...
Maklumlah, biasa makan banyak.
“SIIIIAAAAAAAP GRAAAAAK.”
Bakal lancar nih, tak seperti yang diperkirakan Man
Suherman. Situkang protes dan banyak komentar, padahal sering salah duga. Kayak
waktu itu, Domba dibilang Kambing padahal sudah tahu Kambing bukan Domba.
Enggak salah juga H. Rhoma Irama mengatakan dalam
lagunya. Adu Domba-adu domba. Domba di adu-adu. Kira-kira seperti itu
liricknya.
Penghormatan upacara kepada pembina upacara.
“Untuk, pembina up....” belum selesai malah disuruh
turun lagi, dua puluh kali.
PUSH-UP lagi
cui. Sampai bisa, kalau belum bisa ya push-up dong. Prediksi Man Suherman kali
ini jitu, ajipppp deh. Seandainya yang dia prediksi itu angka togel. Bakalan
tajir dia.
Laporan pemimpin upacara kepada pembina upacara, lolos
ketahap selanjutnya. Pengibaran sangsaka merah putih diiring lagu kebangsaan
INDONESIA RAYA.
Pengibaran bendera dilakukan, kesalahanpun terjadi dan
hukuman dilaksanakan. Berkali-kali, kesalahan terjadi pada pengibar bendera,
yang dimana warna merah berada di bawah dan putih diatas.
Bendera sudah pada posisi yang benar, berarti bendera
siap dikibarkan.
“Indonesia tumpah darahku”
Aparat mengangkat pentungannya, berarti tanda push-up
cui, lagu kebangsaaan kok dibolak-balik.
“Hiduplah negeriku, hiduplah tanahku” turun lagi cui,
terbalik.
Yang bener tuh seperti dibawah ini,
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Untuk pengibaran
bendera saja menghabiskan waktu hampir berjam-jam, wajib bener-bener-bener kayak upin- ipin adja.
Memang untuk
sebuah lagu kebangsaan, kita selaku rakyat bangsa Indonesia, lagu tersebut
harus mendarah daging. Sebagai bukti kecintaan kita terhadap Bangsa dan Negara.
Gimana mau cinta
Produk Indonesia lagu kebangsaaan
adja enggak hafal.
Ayo!! Bangkit Indonesia,
indonesia harus berubah.
Saatnya pembina
upacara berpidato dan pasukan harus menjawab kata-kata pembina. Diharuskan
mengucapkan kata dengan serentak. Teks pidatonya bebas, tapi harus seperti
puisi.
“Ehem, ehem..” suara
pembina, dicoba suaranya, serak sembari jemari mengelus tenggorokan.
Berdiri tegak
dengan tangan kanannya terbuka diluruskan kedepan, sedikit menyamping kekanan.
Tangan kiri dikepal menekuk dan bersandar didada. Seperti penobatan para raja
pada prajurit sebelum berperang.
“Untukmu, sayang!”
kata pembina mengawali.
“Iya,
sayaaaaaang!” jawab pasukan dengan serempak.
“BADANMUUU...”
lanjut pembina.
“Iya..” jawab pasukan.
“Merahnya buah
ceri tak semerah bibirmu”
“Lebay...” jawaban pasukan serempak.
“Putihnya salju
tak seputih kulitmu”
“Lebay...”
“Halusnya sutra
tak sehalus rambutmu”
Pasukan hanya
bisa menjawab dengan kata “Lebay” biar kompak dan takut push-up lagi.
“Tapi!!” lanjut pembina.
“Lebay!”
“Bau bunga
bangkai tak sebau badanmu!”
Semua ngakak-ngikik-dan
ngukuk.
Suasana kembali
hiruk, pembina sangat pintar untuk mencairkan suasana yang tegang. Untuk
masalah yang ini tidak ada hukuman push-up, mungkin dianggap sebagai hiburan.
Setelah upacara
selesai, diulang kembali sampai bisa. Sepertinya hukuman ini sangat baik buat
mereka, biar mereka mengerti BHINEKA
TUNGGAL IKA dan menanamkan solidaritas antar sesama, bukan solidaritas
antar seagama saja.
Hari-kehari
berlalu, sebagai hukuman masih dengan melaksanakan upacara bendera dan
bersih-bersih.
***
Hari ketujuh,
hukuman dikurangi namun masih dalam kamar besi. Satu persatu dipanggil
menghadap keruangan komandan untuk mendapat pembinaan secara pribadi. Dalam
pikiran kita, seorang Aparatr itu sangar dan beringas. Tapi kenyataannya tidak
seperti yang kita bayangkan, malah mereka mendidik dengan baik.
Zigot dipanggil
menghadap, rautnya gundah dan gelisah, menatap kosong kedalam dari luar pintu
kamar besi. Randa memberi semangat dan berbisik “Kamu bisa! Katakan dengan
jujur apa yang terjadi” sambil mengepalkan tangannya.
Tiga puluh menit
kemudian, dia kembali dari ruangan yang mereka juluki, ruang isolasi. Meremas-remas kedua jemari kaki
dengan dinding sebagai sandaran, kedua lutut menyanggah keningnya. Zigot tanpa
suara.
“Selanjutnya
kamu!” tunjuk penjaga kearah Man Suherman. Dia terkejut kemudian melihat
kesekitarnya, berharap yang dipanggil adalah orang lain.
“Iya, kamu.
Cepat keluar..” lanjut penjaga yang berwajah sangar.
Mau tidak mau,
suka tidak suka, Man Suherman berdiri dan melangkah keluar. Matanya melirik
kearah Randa yang duduk bersandar disamping pintu besi, Randa membalas dengan
sorot mata yang terlihat cemas.
Setelah itu
terdengar suara pintu besi yang ditutup dengan keras dan seisi kamar terkejut.
Melangkah
perlahan disamping pintu ruang isolasi, pintu dibuka dan ditutup kembali stelah
dia masuk didalam. Ruangan jadi gelap, lampu-pun menyala, sinarnya hanya
menerangi sebuah meja dan dua kursi besi, yang salah satu kursinya berada agak
jauh dari meja, sinar lampu tak mampu menerangi kursi dengan sempurna.
Keadaanya
seperti Upin-Ipin yang lagi jadi
detektif dan mengintrogasi Ma il. Dua singgi, dua singgi, dua singgi, dan
Man adalah Ma’il-nya.
Dia hanya
berdiri dengan hati bimbang, matanya tertuju pada meja dan kursi saja. Hening
dan terasa horror.
“Duduk..”
terdengar suara dari salah satu sudut ruangan yang terlihat gelap.
Beberapa sa’at
setelah suara itu terdengar. Tiba-tiba, Man menjerit!
“Ampun bapak!
Ampun bapak! Ampuni saya!” sambil sujud dilantai, seperti orang yang lagi sholat. Suaranya pilu, terdengar
serak-serak becek, airmata membasahi lantai.
“Ampun bapak!
Ampuni saya! Saya hanya ikut-ikutan. Tolong maafkan saya!” lanjutnya Man dengan
kondisi masih sujud dilantai.
“Duduk dikursi!”
kata suara tadi memerintah.
Dia berdiri dan
menarik kursi yang dekat dengan meja, melangkah untuk duduk, tapi dia kembali
sujud kelantai.“Mohon ampuni saya, Pak! Saya minta maaf , Pak!”
Suara itu kembali
dan terdengar tertawa. “Jangan minta maaf kesaya, saya bukan tuhan dan bukan
orang yang kamu dzolimi.” Suasana
semakin membuat pikiran Man cenat-cenut.
“Duduk dikursi, jangan kamu bersujud dilantai..” lanjut suara tadi agak keras
dan ber-iringan dengan suara meja yang dipukul.
Bergegas dia
bangkit dan dengan segera duduk rapi, tapi kepala menunduk. Pelan-pelan
memberanikan diri mengankat kepalanya. Tiba-tiba kursi bergeser kebelakang,
saking terkejutnya Man melihat samar seseorang duduk dikursi yang berada
diseberang tempat dia duduk. Dia kira hantu!
Keringatpun
bercucuran. Samar-samar karna cahaya tidak cukup menjangkau kursi itu, hanya
separuh badan terlihat.
Pertanyaan
dilontarkan satu persatu, dari menanyakan nama, alamat, asal-usul, sekolah atau
bekerja dan lai-lain. Semua dijawab dengan jujur hingga kepertanyaan yang
menurut dia sangat pribadi dia ceritakan. Tempat itu jadi ajang cuhatnya Man
suherman. Sekalipun itu masalah makanan yang belum dia cicipi dan sangat
diidamkan.
Sekembalinya
dari ruang isolasi, matanya masih berlinang. Membuat teman sekamar
bertanya-tanya, namun ragu. Karna dia pergi sedikit agak lama. Seiring
bergulirnya waktu, satu persatu pergi dan kembali.
Randa mendapat
giliran kedua dari terakhir, pertanyaanpun dilontarkan, hampir sama seperti
yang lain dimulai dari nama.
“Nama kamu
siapa?” tanya Aparat yang tak jelas wajahnya.
“Nama saya, La
Tongge Randa!”
“Yang lengkap!”
nadanya meninggi.
“Lahir
diMataram, enam belas tahun yang lalu. Dibesarkan diBima.”
“Nama orang tua,
asal muasal, sekolah dan lain lain”
Bibir Randa
gemetar.
“Ayo, kenapa
diam?” sambil memukul meja. Sehingga membuat Randa terkejut.
“Nama ayah,
Tarap Siswanto, asal dari jawa timur. Nama ibu, Jaenab, asal Bima keturunan
Arab. Dan sekarang mereka berdomisili dibima. Saya bersekolah diSMK swasta,
sekolah islam.” Kemudian Randa diam.
“Kamu tau?
Kenapa kamu dibawa kesini?”
“Iya, Pak!”
“Terus kenapa
kamu lakuin itu?”
“Saya khilaf,
Pak! Saya nggak tau bakal seperti ini. Saya cuman ikut-ikutan, Pak!”
“Ikut-ikutan!
Alasan, aja. Kamu dipenjara selama tiga minggu dan bahkan bisa lebih. Mau kamu
netap disini?” gertak aparat.
Randa
geleng-geleng.
“Jangan kamu
ulangi! Kamu sekolah yang bener! Jangan sampai kamu saya lihat masuk lagi
dikamar besi ini! Denger?”
Randa
angguk-angguk kepala.
“Kalian itu
generasi penerus bangsa! Masak ikut-ikutan, harus punya prinsip dan prinsip
yang positif. Jangan mau masuk ke-Kamar Besi kayak begini! Aib, ini aib
namanya! Ya sudah, kamu kembali”
Dua hari
kemudian, perwakilan dari Departemen Pendidikan Propinsi, datang menebus, tapi
dengan syarat yang ditawarkan adalah akan di DO dari sekolah masing-masing, dicabut semua beasiswa yang pernah
diterima dan dapat bersekolah kembali disekolah yang sama pada ajaran baru
nanti, yang berarti mereka tidak naik kelas satu tahun, mendaftar sebagai siswa
baru, atau hijrah kesekolah yang
dapat menerima mereka dengan bantuan surat pengantar pindah sekolah.
Berfikir dan
berfikir. Akhirnya mereka menyimpulkan, untuk balik kandang atau pulang
kampung.
Case
3. CARI MODAL
“Ayo bu, dilihat
dulu.. mari pak, dek..” kata seorang pedagang menawarkan barang dagangannya.
“Cari apa dek,
buku, balpoin, pencil atau apa” begitu juga dengan pedagang yang lain. Suasana
pasar cukup ramai, Randa berdiri sembari bersandar disalah satu tiang bangunan.
Berfikir cara untuk mendapatkan tambahan sesuap nasi.
Satu minggu
sudah berlalu Randa keluar dari kamar besi, berbekal surat keterangan pindah
sekolah didalam tasnya. Randa merasa malu dengan apa yang sudah terjadi, tak
satupun dari keluarganya yang mengetahui masalah itu, dia berfikir keras dengan
apa yang harus dilakukan kedepan.
Zigot dan Man
suherman telah dikirim kembali kekampung halamannya, melalui utusan wakil
daerah masing-masing, entah bagaimana kabar selanjutnya tentang mereka, Randa
tak mengerti.
Oh ya pasar
dalam cerita ini adalah pasar raya CAKRANEGARA dikota Mataram-Lombok, biasa
disebut dengan pasar cakre.
Keadaan kota
sudah mulai stabil, aktifitas kembali seperti biasa. dia masih berdiri ditempat
tadi, merogok kantong yang isinya tinggal lima
ribu lima ratus rupiah. Cukup untuk makan hari itu saja. Lorong pertokoan
semakin ramai, dia mendapatkan sebuah ide, kemudian dia melihat-lihat tempat
kosong yang mungkin bisa jadi tempat luapan pikirannya.
“Sudah dapat!!”
katanya dengan nada sedikit agak keras.
“Dapat apa dek?”
tanya salah-satu pedagang..
“Emmm, enggak Mas!!”
sambil tersenyum lalu pergi meninggalkan lorong itu.
Dia naikt angkot
lalu lekas pergi menuju terminal. Diperjalanan planing dirancang sebaik mungkin. Setiba diterminal angkot, dia
lekas berlari menuju toilet dan segera berganti kostum, kemudian pergi
menghampiri supir-supir angkot yang sedang asik diwarung tempat biasa mereka
istirahat dan minum kopi.
Salah satu
dihampirinya, berbincang santai, basa-basi seperti biasa orang yang baru
kenalan, kemudian dia pergi sebentar, menghampiri pemilik warung sembari
merogok kantong dan membeli beberapa batang rokok, lalu kembali ketempat supir
angkot tadi untuk melanjutkan obrolan.
“Mas! Sambil rokok!!”
Randa menawarkan rokok batangan. “Pinjam apinya , Mas!” lanjutnya sambil
membakar rokok dan menawarkan kembali rokok tadi pada sopir angkot.
“Iya dek..”
jawabnya dan mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya.
Akhirnya sopir
tersebut termakan umpan Randa. Randa adalah anak yang cerdas mudah bergaul,
kreatif dan terkadang ceroboh, tapi dia tahu apa yang harus dilakukan dalam
keadaan terdesak, apalagi kalau terdesak ekonominya.
“Mas! Dari tadi
saya perhatikan kok enggak narik?” tanyanya.
“Iya nih! Baru sekali
putaran, capek dan ngopi dulu!” jawab sopir.
“Capek kenapa?”
“Tadi saya narik
sendiri, jadi saya istirahat dulu sambil nungguin yang mau jadi kernet saya.”
Lanjutnya.
“Pucuk dicinta wulanpun tiba” kata randa
dalam hati.
Sepertinya ini
yang dia tunggu dari tadi. Oh ya, terminal angkot ini bernama terminal BERTAIS sering disebut-sebut
orang tapi nama aslinya adalah terminal
MANDALIKA tempat berkumpulnya bus-bus
antar kota antar propinsi dan angkutan umum lokal. Bahkan disampingnya
terdapat pasar tradisional.
“Daripada
nungguin orang, lebih baik saya bantuin. Biar bisa sambil jalan-jalan. Gimana?”
tutur Randa.
“Beneran mau?
kalau ok ayo kita cabut” kata pak sopir. Oh ya, pak sopir tadi bernama Ewin,
orang susku sasak asli. Nama suku
dipulau lombok.
Akhirnya rencana
Randa terwujud buat nambahin uang saku dan buat memenuhi kebutuhanya. Tak lama
mereka berbincang dan menghabiskan segelas kopi, lalu mereka bergegas berangkat
mencari muatan.
“Ampenan,
ampenan, ampenan...” teriak Randa dipintu belakang, sambil menunjuk kearah
calon penumpang. Satu-persatu penumpang naik, tak tua, tak muda, bahkan
anak-anak dikebas, lalu “BERANGKAT”
lanjut Randa sambil menepukkan tangannya diatas atap mobil, tandanya sudah
penuh.
Didalam mobil,
dia menjonggok disamping pintu belakang karna penuh, ia enggak bisa duduk
dibangku. Sesak dan gerah yang dirasa. Tak lama angkot jalan kurang lebi
beberapa kilometer.
“Kiri mas,
stoooop!” kata salah satu penumpang sambil menyodorkan uang sewa.
“Terimakasih,
Mbak!” tutur Randa setelah penumpang itu turun.
Begitu
seterusnya. Penumpang naik turun dan tak henti-hentinya ia berteriak “ampenan,
ampenan, ampenan...” setelah tiba di pasar ampenan yaitu tempat tujuan.
Penumpang turun semua, lalu Randa menghitung uang sewa penumpang tadi dan
menyetorkan ke-Mas Ewin.
Lalu berangkat
kembali kebertais, “Bertais! Bertais!” teriak Randa. Menuju kearah terminal
mandalika. Penumpang cukup banyak. Rejeki hari itu lumayan.
Lalu mereka
kembali mengarah kepasar ampenan. “Ampenan! Ampenan!” teriak Randa.
Seorang
penumpang berpakain mirip preman, turun tidak membayar hanya memberikan ucapan
terima kasih! Randa-pun menagih upah, tapi kerah bajunya digenggam dan diangkat
keatas.
“Kamu mintak
lagi saya kebas, yah!” kata preman itu dan melepaskan Randa.
“Udah, Rand!
Anggap aja sedekah. Siapa tahu kita dapet banyak rejeki hari ini” kata Mas
Ewin.
Setiba dipasar
ampenan. Randa menyetorkan hasil sewa penumpang. Dan diterima baik oleh Mas
Ewin, sambil mengelus bahu Randa.
“Gimana mas,
kita langsung kemandalike atau nunggu penumpang dulu?” tanya Randa.
“Kita tunggu
dulu penumpang, kamu cari dulu dua orang penumpang didalam pasar biar kita
balik kemandalike” kata mas erwin.
“Ok!” dengan
semangatnya Randa masuk menelusuri pasar Ampenan, mencari-cari calon penumpang,
setiap orang yang keluar dari pasar ditanyai dan diajak naik angkot.
Bersaing dengan
kernet-kernet angkot yang lain.
Rejeki takkan
kemana. Tak lama kemudian datanglah seorang ibu beserta anak gadisnya,
perawakannya seperti keturunan Bali atau orang Hindu, lalu ibu itu bertanya.
“Nak! kernet
angkot ya?” tanyanya pada Randa.
“Iya Bu! Ada yang
bisa saya bantu?” tanya balik Randa.
“Tolong bawakan
ke-angkot belanjaan saya yang didalam sana! biar saya carter” kata ibu tadi
sembari jari telunjuknya mengarah kesebuah toko.
“Barang yang
didepan toko Kasih itu bu?” tanya
Randa untuk memastikan.
“Bukan nak, tapi
disebelahnya! Biar anak saya yang mengantar ya!”
“Baik, Bu!”
Dia pun pergi
mengambil barang titipan ibu tadi dengan diantarkan oleh anak pemilik barang. Setiba
disana Randa senyam-senyum melihat papan nama toko. Setelah dia melihat papan
toko didepannya, kemudian dia menoleh kepapan toko disampingnya. Dia kembali
tersenyum sendiri sembari menggelengkan kepala.
Anak ibu tadi
bingung melihat tingkah Randa yang sedikit aneh, anak ibu tadi merasa sedikit
takut. Mungkin dia berfikir kalau Randa sedikit sakit.
“Mas! Mas!
Kenapa?“ tanya gadis itu, sambil menepuk pundak Randa.
“Enggak apa-apa,
Mbak!” Jawabnya.
“Tapi kok,
senyam-senyum sendiri sambil menggelengkan kepala?”
Randa senyum dan
berkata “Saya berfikir seandainya kedua toko ini bersatu, mungkin akan sangat
bahagia mereka”
“Maksudnya?” Gadis
itu bertanya kembali.
“Coba
perhatikan, antara nama toko yang ini dengan toko disampingnya. Pasti mereka
bakal bahagia. Gimana? Ngerti enggak maksudnya?” terang Randa.
Gadis itu
memperhatikan nama kedua toko, lalu tersenyum. Kemudian menepuk lagi pundak
Randa dan berkata. “Kamu bisa aja, nama kedua toko itu kamu jodoh-in. Ayo, Mas!
Angkat barangnya biar kita pergi”
Randa-pun
memikul barang, dan mereka bergegas pergi sambil tertawa kecil.
Nama toko tempat
ibu tadi berbelanja bernama Toko Sayang
sedangkan disamping kirinya, toko yang ditunjuk Randa pada ibu tadi bernama Toko Kasih. Menurut kalian bila kedua
nama tersebut digabungkan dengan tepat, apakah mereka tidak bahagia?
Back the story,
Belanjaan
dibawa, “Mas! Ayo jalan, kita dicater ke Monjok!”
ajak Randa ke sopir dan dijawab “Ok, Boy!”
Monjok
adalah nama sebuah kampung di kota Mataram.
“Oh ya, Bu! bay the way Ibu asli mana ya, Bu?”
basa-basi kenet pada penumpang.
“Saya asli
mataram” jawab ibu dengan sedikit cuek.
“Maksud saya,
keturunan Bali atau Sasak?” tanya Randa lagi
“Saya asli
mataram tapi keturunan mBali” alisnya mengkerut.
“Ooooo, pantes!”
lanjut Randa lebay.
“Maksudnya?” tanya
balik ibu.
“Maksud saya,
pantes ibu dan anaknya cantik” sambil senyum tipis.
“Kamu ada-ada adja!”
kata ibu Ge-eR.
Sepertinya Randa
ada maksud tujuan lain, ada yang di incer nih! Kemudian Mas Erwin menyetel
Radio FM. Untuk mencairkan suasana “Baik
pendengar, masih bersama saya Papuk Gaul di-Mataram FM, dengan ini saya akan
memutarkan sebuah lagu kenangan dari Crisye. Dengan judul kisah kasih disekolah. Lagu ini untuk menemani waktu istirahat
siang anda. Maka dipersilahkan untuk didengarkan! Semoga terhibur.” suara
operator serak-serak banjir terdengar seperti lansia. Namanya jugak papuk
yang berarti kakek.
Randa kehabisan
ide, tapi setelah mendengar lagu itu dia kembali beraksi.
“Anaknya masih sekolah atau sudah kuliah bu?” tanya
Randa.
“Masih
sekolah..” jawab gadis itu spontan dan malu-malu, sedangkan ibunya melirik aneh
pada sang anak.
“Asek! Kena jebak
ni, bocah!” kata Randa dalam hati. “Emang mbak sekolah dimana dan kelas
berapa?” Tanya Randa.
“Saya masih
kelas satu dan sekolah di SMEA, tapi sekarang sudah jadi SMK 3 Mataram”
“Berarti sama
dong sama saya, saya juga kelas satu tapi SMK Muhammadiyah Mataram. Hanya saja
saya mau pindah keBima.”
“Kenapa pindah?”
“Kasihan sama
Ortu, sudah pada tua enggak ada yang bantu ngurus!” kilah Randa.
“Oh, gitu ya!”
“Bay the way, kita belum saling kenal. Bu!
Boleh kenalan sama anaknya? Sapa tahu ketemu dijalan, bisa tegur sapa!” Tutur
Randa sambil noleh dan minta ijin keibunya.
“Eemmmm, lancang
nih bocah..” kata ibu dalam hati “Iya enggak apa-apa” kata ibu dengan berat
hati.
“Nama saya Tonggeranda
tapi panggil saja Randa” katanya sambil meraih tangan gadis itu.
“Saya I Dewi Ayu, boleh panggil saya Dewi atau
Ayu” tangannya sedikit ditarik mungkin karna malu sama mamanya gitu! Tapi Randa
enggak secepat itu melepas tangannya yang lembut, selembut sutra.
“Awas jangan
lama-lama ntar nyetrum” kata ibu mangkel.
Randa tersenyum “Oh!!
Maaf, Bu! Saya enggak sadar, saya kira
belum berjabat tangan, saking halusnya tangan anak ibu.” kata Randa lebay.
Obrolan berlanjut,
keakraban mulai terlihat diantara mereka berdua, begitu juga dengan kerutan di
kening ibu semakin jelas. Tak tahan dengan sikap Randa lalu ibu bertanya
memotong pembicaraan mereka berdua.
“Kamu asli mana,
nak?” tanya ibu memperlihatkan kesopanannya, sekalipun dalam hatinya geraaam.
“Kalau ditanya
saya asli mana, saya bingung buk!” jawab Randa.
“Kok, bingung?”
kata ibu.
“Saya bingung,
karna tanah kelahiran saya disini sedangkan ayah saya jawa dan ibu saya
keturunan arab diBima. Jadi, saya harus pakai yang mana!” Keterangan Randa membuat
ibu bingung.
“Oh.. blezteran yaaa!” kata ibu sedikit senyum
sinis.
Angkotpun
berhenti didepan gang rumah, tepat seperti yang diminta. Seperti biasa mereka
turun, tugas randa kembali dilanjutkan, menurunkan barang dan meminta uang
sewa.
“Berapa nak?”
tanya Ibu pura-pura lupa.
“Empat puluh
ribu bu..” jawab Randa.
“Lohhh! Kok mahal?”
tanya balik ibu dengan tangan berhenti merogok isi dompetnya.
“Tiga puluh ribu
sewa angkotnya dan sepuluh ribu buat sewa buruhnya bu, sekalian barangnya saya
bawakan kedalam rumah. Bila perlu langsung kedapur, atau sekalian saja saya
bantu-bantu masaknya” kata randa sambil senyum cari perhatian. “cie cie cie” kata angin berbisik.
“Ahh! Itu, ada
maunya kamu adja! Ya sudah, bawa masuk kerumah, tapi awas jangan macem-macem?” Ancam
Ibu yang terlihat judes, sambil memberikan uang sewa angkot.
Didalam rumah
tepatnya didapur, barang belanjaan ibu diletakkan, dibantu oleh anak ibu yang
cantik. Kemudian Randa berpamitan.
“Permisi, Bu!
Termikasih!” Kata Randa, tak lupa menyapa anaknya “Mari mbakkkk! Jeleeeek!”
ledek Randa..
Dewi menjulurkan
lidahnya.
Setelah itu
mereka kembali kejalur biasa, bolak-balik pasar ampenan terminal mandalika,
hingga tak terasa hari menjelang sore, Mas Ewin bergegas kepangkalan, mencuci
mobil dengan dibantu Randa.
Kemuadian Mas
Ewin memberi upahnya karena telah menjadi kernet angkot selama seharian.
“Rand! Ini upahmu,
lima belas ribu perhari, kalau kamu masih ragu kamu boleh tanya pada supir
angkot yang lain, berapa biasa upah sebagai kernet angkot.” Kata mas Ewin
“Baik Mas!
Terimakasih. Saya terima upahnya, sekali lagi terimakasih. Untuk masalah ragu,
sedikitpun nggak ada rasa itu, malah saya sangat berterima kasih. Beribu-ribu terima
kasih.” Kata Randa lebay.
“Iya sama-sama”
jawab mas Ewin, sekalian telinganya kelihatan sedikit memerah, entah itu merah
karna disanjung atau keserempet nyamuk waktu mencuci mobil.
Waktu telah
menunjukan jam lima sore, Randa pulang kerumah, mandi, masak nasi, bikin mie
rebus. Maklumlah jauh dari orang tua dan tak lupa ganti baju juga dong. Sambil
menunggu nasinya masak, Randa kemudian menghitung uang hasil kerjanya.
Dia sudah nggak
kekosh Erwin, karena masalah yang kemaren dia nggak mau ngerepotin temannya,
yang namanya hampir mirip Mas Ewin.
“Seribu! Duaribu!
Tigaribu! Lima belas ribu ditambah dua puluh ribu dari ibu tadi, jadinya tiga
puluh delapan ribu rupiah, termasuk sisa uangku tadi pagi. Allhamdulillah..”
tutur randa menghitung uangnya yang terkumpul.
Uang itu sangat
berharga bagi randa, untuk menyambung hidup sementara. Setelah nasi masak, dia
bergegas untuk makan malam, tak lupa sholat lalu tertidur.
Case 4. JUAL KARTU UNTUK CINTA!
Matahari kembali
terbit dari timur. Nyanyian burung mengiringi pagi, celoteh anak ayam bersautan,
bersama induk yang asik mengajarkan bertahan hidup. Tapi Randa masih berselimut,
hingga harus terus terlelap dan terbuai rayuan mimpinya, ia tak tahu kalau saja
gelap telah berlalu.
Tok.. Tok..Tok..
“Mas Randa! Mas Randa!” berkali-kali terdengar ketukan pintu dan suara
memanggil.. “Mas Randa! Mas Randa!”
suara itu terdengar sedikit memaksa.
Randa terbangun
“Iya!” jawabnya lalu melihat kedinding tepat diatas kepala tempat dia tidur,
matanya terfokus pada sebuah jam yang telah menunjukan jam enam pagi. “Alllahu
akbar” dia terkejut, ternyata dia terlambat bangun. Sholat subuh terlewatkan
tapi suara tadi masih saja memanggil. “Mas Randa! Mas Randa!”
“Iya siapa?
Tunggu sebentar!” jawab Randa segera membuka pintu..
“Mas Randa! Baru
bangun?” tanya bu’de tetangga Randa.
“Iya bu’de, saya
telat bangun. Saya kecapean, ada apa bu’de?” tanya baliknya sambil mengusap
mata karena silau.
“Kamu kerumah
sebentar, ada telfon dari bima, dari Mama-mu”
“Iya, nanti saya
nyusul”
Bu’de pun pergi.
Bu’de disini
adalah sebuah panggilan untuk orang jawa yang umur-nya lebih tua dari orang tua
kita, tepatnya kakak dari kedua orang tua kita. Tetapi beliau bukan sanda
taulan Randa, hanya saja sebagai penghormatan untuk beliau dan sering dipanggil
demikian oleh orang-orang, jadi Randa membiasakan diri dengan memanggil bu’de
juga.
Nah bu’de ini
adalah istri dari salah satu guru disekolah Randa yang secara langsung
tetangganya adalah gurunya sendiri.
“Aduh! Mama
telfon! Harus ngomong apa ya. Moga aja dia belum tahu.” Menggerutu Randa
sendiri sembari memakai baju.
Setibanya
disana, dia membawa salam dan dipersilahkan masuk untuk duduk disamping telfon.
Suaminya menatap cuek seakan tak peduli padanya atas apa yang telah terjadi
atau mungkin dia merasa kecewa karna telah malu dengan perbuatan Randa. Karna Randa
masuk sekolah tersebut atas rekomendasi dari beliau.
Kring! Kring!-
Kring! Kring! Suara telfon jaman itu, maklumlah masi sisa-sisa orde baru.
Telfonpun diangkat. “Halloo!” dan membawa salam, tapi yang dia dengar bukan
namanya yang disebut dan juga bukan suara perempuan, melainkan sebaliknya.
“Hallo Yugo!
Mana ibu? Mas mau ngomong bentar!” kata suara yang terdengar dari dalam telpon.
“Maaf Mas, saya Randa.
Sebentar saya panggilkan bu’de.” Jawabnya lalu memanggil bu’de.
Beliaupun
mengangkat dan berbicara dengan anaknya. Saking seriusnya pembicaraan antara
ibu dan anak hingga membuat jenuh Randa karena menunggu. Ia lalu pamit untuk
pulang, dan menitip pesan jika saja ibunya nanti menelfon agar dapat menelfon
balik lagi besok.
***
Dirumah dia
catat keperluan yang harus dia beli, setelah semua dianggap lengkap lalu dia
pergi mandi, setelah mandi dia bergegas kembali dan berangkat. Tak lupa tas
selempang dipakai, yaitu tas andalan bertuliskan dag dig dug selalu setia menyertainya.
Setiba dipasar
dia mencari toko peralatan sekolah, kertas bufalo putih satu rim, cat air, kuas
lukis, sepidol warna hitam dan ballpoin warna emas. Setelah semua kebutuhan
terpenuhi, dia pergi membeli nasi balap tiga bungkus, minumnya dia bawa botol
air mineral untuk menadah air dikeran.
Dua bungkus nasi
dihabiskan, lalu pergi kelorong pasar tempat dimana kemaren dia mendapatkan
idea, masih sama suasananya, para pedagang menawarkan barang daganganya pada
setiap orang yang lewat dan termasuk pada randa. Ia berhenti di salah satu
pedagang buku.
Dia lihat satu
persatu buku, mencari buku yang sesuai dengan kebutuhannya. “Buhuk! Uhuk! Uhuk!
Uhuk! Uhuk! Uhuk!” suara batuk Randa. Dia batuk karna rokok yang dihisap
kemaren, maklumlah hari pertama dia merokok karna dia bukan perokok.
Tenggorokannya
gatal dan sakit, asap rokok memang mengganggu dan tak baik bagi kesehatan, jadi
lebih baik jangan merokok. Dia sibuk melihat-lihat buku.
“Sudah ketemu
bukunya , dek?” tanya pedagang sedikit geram melihat tinggkah Randa yang
bongkar pasang barang dagangannya.
“Sudah, Mas!
Yang ini berapa?” jawabnya dan bertanya.
“Empat ribu, dek!”
“Dikurangi ya
mas, kurangi seribu, saya bayar tiga ribu aja?”
“Enggak bisa
dek”
“Masa enggak
bisa, mas. Nabi kita adja bisa jual dengan harga modal, masa kita umatnya
enggak bisa” tutur Randa.
“Sayakan bukan
nabi dek” jawab pedagang rada mangkel.
“Yaah!
Setidaknya nyerempet sifat nabi dikitkan enggak apa-apa mas..” Randa merayu.
“Ya sudahlah,
buat kamu aja enggak apa-apa tiga ribu” si-Mas pasrah.
“Ok, terima
kasih”
Bukupun
dimiliki! Dia tak beranjak pergi dari tempat itu, masih membaca buku yang baru
dia beli. Tapi dia sudah minta ijin sama yang punya lapak. Satu persatu dibaca,
dihafal, disimpan diluar kepala biar kepala enggak penuh, kalo penuh entar bisa
loncat kiri-loncat kanan. Terus dibilang “Orang
gila! Orang gila!”
Dengan cara itu
dia bisa menenangkan diri, bisa berfikir positif, bisa menjadi anak yang
mandiri tapi harus tetap sekolah. Memang rencana selanjutnya dia akan pindah
sekolah di kediri dan tidak akan kembali ke-Bima, itupun jika orang tuanya
belum tahu apa yang terjadi. Soal biaya hidup akan dia tanggung sendiri, tanpa
harus merepotkan kedua orang tuannya.
Oh ya, nongkrong
dilapak sambil baca buku bikin pikiran jadi baku, tapi bukan berarti bakal
kehabisan bekal. Bekal pikiran harus tetap mantap!
“Mas! Sekarang
Mas harus pinter jual-beli loh! Mas”
kata Randa pada mas pemilik lapak.
“Pinter gimana
maksudnya?”
“Tau nggak,
sekarang ada trik baru dalam masalah jual beli. Contohnya yang paling ngtren
sekarang tuh! Beli rumah bisa langsung nikah sama pemiliknya”
“Ohhh! Kalok itu
saya enggak terkejut, sudah biasa. Malah saya beli dengan cara seperti itu”
“Emang! Mas
pernah beli apa?” tanya Randa heran.
“Saya beli CD
ama BH”
“Aduh! Kenak
deh!” kata Randa dalam hati sambil senyum dan garuk kepala.
Jam sudah
menunjukan waktu pulangnya anak-anak sekolah, tempat itu pasti ramai karna
banyak siswa. Ketika pulang pasti mampir atau jalan-jalan untuk melihat buku
bahkan membeli, sambilan jejong sama
temen atau bahkan sama pacar.
Lapak buku ramai.
Ada yang melihat utuk membeli ada yang sekedar melihat aja bahkan sampai ada
yang cuma numpang baca doang, salah satunya Randa. Kalau dia pengen baca buku,
ya pasti dia kelapak. Baca buku gratis!
Dia tidak
sekedar membaca saja, kalau lagi ramai dia membantu pedagang menjual
dagangannya dan tidak mengharapkan upah. Membantu secara ihklas biar yang punya
lapak bisa ihklas juga melihat dia membaca buku gratis.
Sampai-sampai
dilapak itu dia bertemu dengan Dewi, gadis kemaren yang dia kenal diatas
angkot, dewi bersama teman sekolahnya datang untuk membeli buku dan mencari
kartu ucapan yang unik, yang berbeda dari yang lain.
Dia bertanya
pada Randa, Randa menjelaskan, kalau ingin sesuatu yang unik harus kreasi
sendiri, sedangkan Dewi tidak bisa sama sekali membuat yang namanya kerajinan,
dia hanya bisa bermain theater bersama sanggarnya.
Randa menawarkan
diri untuk membantunya membuat kartu ucapan yang sederhana tapi unik, tanpa
harus membayar, yang artinya gratis. Tetapi Dewi menginginkan kartu yang
dibelakangnya bertuliskan puisi hasil dari buatan sendiri, spesial untuk
seseorang.
Randa lalu
bertanya detail tentang seseorang yang dimaksud Dewi, agar nanti apa yang dia
bikin sesuai dengan karakter orang dituju dan meminta puisi yang akan
dituliskan.
Dewi bingung
harus menulis puisi seperti apa, kemudian dia menyerahkan tugas itu kembali
pada Randa untuk menulis puisi yang terbaik. Lalu permintaan itu disanggupi Randa.
Setelah semua
diceritakan Dewi, sehingga kesimpulan akhir bahwa besok harus jadi. Karena sore
harinya akan diselipkan didalam kado, kado yang akan diberikan pada acara ulang
tahun kekasihnya.
“Setelah ini
kalian mau kemana?” tanya Randa.
“Ya, pulang dong!”
jawabnya.
“Baguslah, tapi
enggak pada mampir-mampirkan?” Randa tanya lagi.
“Ihhh, keppo!”
kata temannya Dewi.
“Ya Cuma keppo
dikit adja, siapa tau dari kalian ada yang mau mampir!”
“Emang kita mau
mampir kemana! Mendingan pulang tidur, enak!” kata Dewi.
“Ya! Sapa tau
aja ada yang mau mampir dihati aku!” goda Randa.
“YEEEEEEEEEE!!” Dewi
dan teman-temannya menyoraki Randa.
Randa nyengir.
Randa memang
kalo lagi kumat usilnya ya kayak gitu, yang penting happy katanya, padahal dia
enggak tau mungkin dari perkataan tadi ada yang tersinggung.
“Oh ya, sepertinya
ada yang kamu lupa-in, Wik!” kata Randa setelah guyonan tadi selesai.
“Apa tuh?” tanya
Dewi yang kebingungan dan sambil nyarik.
“Kamu melupakan
teman-temanmu dan saya, Wik!” Randa sambil nyengir.
“Oh, Iya! Saya kenalkan
satu persatu. Ini Nilluh! Kemudian Mita! Dan yang ini, Dina!”
Randa
mengulurkan tangan lalu memperkenalkan diri.
“Saya
Tonggeranda, tapi sukak dipanggil Randa” katanya sambil menjabat tangan mereka
satu persatu. “yang satu lagi enggak kamu kenalin, Wik?” lanjut dia.
“Siapa?” tanya Dewi
bingung, karena mereka hanya berempat.
“Maksud saya!
Hatimu enggak kamu kenalin ke saya?”
Dewi menepuk
bahu Randa lalu mencubitnya ringan sembari berkata “GOMBAL”
“Ngomong-ngomong,
kalian pergi sekolah atau pulang sekolah?” tanya Randa.
Mereka nyengir,
tapi dijawab Dina. “Kita bolos, Rand!”
Randa
geleng-geleng.
Setelah itu Dewi
beserta teman-temannya pergi, tak lama kemudian Randa menyusul pergi pulang
karna ada tugas yang harus diselesaikan dan besok akan bertemu kembali ditempat
tadi.
Dirumah dia
menyelesaikan tugas, kemudian mempersiapkan bahan yang akan dijajalkan besok
dilapak. Oh iya! Saya lupa memperkenalkan siapa nama pemilik lapak tadi namanya
Ramli, sering dipanggil Tuak Lii.
Tadi Randa
sempat berbincang dengan Tuak Lii dan meminta ijin numpang berdagang
dilapaknya, dengan imbalan sepuluh persen
dari hasil penjualan harian akan disetorkan ke Tuak Lii, itung-itung sebagai
sewa tempat. Katanya!
***
Keesokan hari,
Randa berangkat pagi menuju pangkalan lapaknya, pesanan untuk Dewi sudah jadi,
tinggal menunggu orangnya biar bisa diserahkan. Tuak Lii sedang asik menggelar
tikar untuk barang dagangan, Randa ikut membantu merapikan dan memajang buku-buku yang berantakan didalam kardus
tempat penyimpanan buku.
Setelah lapak
Tuak Lii selesai, giliran dia mempersiapkan diri menggelar dagangannya, Tuak
Lii heran melihat barang yang dikeluarkan dari tas Randa.
“Rand! Emang kamu
mau jual apaan?” tanya Tuak Lii.
“Ada deh, Mas!
Pokoknya lihat aja”
“Soalnya, saya liat
dengan barang yang kamu keluar-in dari tas hanya sedikit. Terus yang kamu mau
jual apa?”
“Pokoknya lihat
aja kreasi saya Mas, yang penting Mas do’a-in biar laris”
Dia memajang
beberapa contoh kartu yang sudah dibikin semalam, dengan gambar yang berfariasi
bertuliskan syair yang beragam dibalik kartu. Tuak Lii terkejut dan terheran
melihat dagangan Randa.
“Rand! Itu kartu
kamu beli dimana? Gambarnya bagus-bagus dan menarik!”
“Kertasnya, yang
saya beli kemaren mas, kemudian saya potong jadi empat bagian, lalu untuk
gambar dan syairnya saya bikin sendiri”
“Haaahh! Becanda
kamu, Rand!”
“Saya serius,
Mas! Ini buatan saya sendiri. Saya menjual kartu ini untuk saya sekolah. Karena
saya cinta pada sekolah!”
“Preeeeet,
lebay! Paling kamu beli ditoko” ledek Tuak Lii.
“Auk-ah!”
jawaban males dari Randa.
“Terus pesanan
cewek kemaren sudah jadi?” tanya Tuak Lii.
Randa enggak
jawab, karna dianggap enggak dipercaya. Sedangkan orang-orang hanya lalu-lalang
saja, melirik dan pergi.
“Sabar-sabar,
Rand!” kata Randa dalam hati sambil mengelus dada pelan.
Beberapa
mahasiswa datang mencari buku keperluan kuliahnya, kemudian melirik kearah
dagangan Randa, melihat sesuatu yang menarik, mahasiswa itu bergeser kelapak
Randa.
“Mas! Kartunya berapaan?”
tanyanya..
“Tiga ribuan mas
yang sudah jadi, kalau pesan sesuai keinginan hanya lima ribu rupiah saja mas”
“Pesan! Gimana maksudnya?”
tanyanya lagi.
“Pesan maksud
saya, gambar dan syairnya bisa disesuaikan dengan keinginan pembeli.”
“Ok deh, lok
gitu saya pesan satu, tapi diambil kapan?”
“Diambil
sekarang pun bisa, kalo mau!” kata Randa.
“Ok bikin sesuai
tema saya, saya tulis diatas kertas beserta syairnya!”
“Emang buat
siapa mas?” tanya Randa keppo.
“Ada dehhhhh!”
Randa nyengir!
Randa kemudian menyiapkan
wadah buat tinta cat airnya, warna diambil sesuai dengan kebutuhan, kuas
dicelup kedalam air. Perlahan dia mulai menggambar, satu coretan kuas terlihat
biasa, dua, tiga kali kuasan tambah aneh, kemudian guratan kuas selanjutnya
berbentuk lalu terlihat seperti wajah seseorang.
“Mas! Sepertinya
wajah digambar itu, enggak asing buat saya?” tanya pemesan.
Randa tersenyum.
“Ah! Itu wajahku
bang! Bagus kali, ko gambar, bang!” kata pemesan yang nyerempet logat orang
batak.
Kemudian gambar
itu disimpan beberapa menit. Supaya lekas kering, pemesan membantu
mengeringkannya dengan cara mengipas-ngipas, sambil menunggu, Randa
mempersiapkan alat tulis untuk syairnya.
“Ok, Mas!
Kartunya sudah kering, biar saya selesaikan” Tutur Randa sambil menadahkan
tangan.
“Kayaknya jangan
tulis syair dari saya” katanya ragu sambil menyodorkan kartu yang baru selesai
dia kipas.
“Kenapa?” Tanya
Randa.
“Enggak cocok
sama gambarnya! Gambarnya terlalu bagus”
“Terus??” tanya
Randa.
“Abang pake
syair dari Abang ajalah, tapi yang romantis yaa, Bang? Buat calon
pacarku!” batak-nya masih dipake.
Randa menunjukan
jempolnya.
Dia mulai
menulis syair, menggunakan huruf yang menarik dengan tinta berwarna emas,
nampak seperti tulisan dari langit.
Selalu tersebut namamu,
Diantara 2 sudut waktu,
Diatas lembar permadani,
Berangkat semoga menembus langit
untuk kembali turun kebumi
sebagai karunia. Hatimu..
Pemesan
membacanya lalu berkata, “Cocok! Ajiiip deh! aku bayar lebih untuk kartu ini.
Terima kasih ya, Mas!” dia membayarnya
dengan harga dua kali-lipat, lalu pergi dengan penuh sukacita.
Tuak Lii,
geleng-geleng kepala.
Kemudian
beberapa orang-pun datang, membeli dan memesan. Randa dikerumuni pembeli.
Mereka terpukau dengan lukisan Randa, yang bisa menarik minat pemuda-pemudi
yang melihat serta membaca isinya.
***
Matahari sudah
tinggi! Waktu makan siang! Tuak Lii mengajak pergi. Berhubung masih ada milik
pembeli yang belum diselesaikan, dia hanya bisa menitip dibelikan nasi.
Randa menyelesaikan pesanan yang tersisa,
bukan berarti tak ada yang datang membeli, tetapi dia menutupnya untuk
sementara waktu, karna ingin istirahat dan sholat dzuhur.
Para pengunjung
bersabar menunggu sebentar, ada yang sembari membaca buku, melihat karya yang
sudah jadi, dan ada yang sambil merancang pesanannya bahkan menulis syair untuk
kartu yang akan dipesan.
Dari arah barat
berjalan Dewi beserta kedua temannya. Datang menghampiri lapak buku, dimana
tempat yang dijanjikan kemaren. Mereka bingung melihat lapak tidak ada
pemiliknya dan orang yang dicari bahkan tidak nampak batang hidungnya.
Melihat keadaan
seperti itu, dia hampir putus asa, bahkan akan pulang, tapi sebelum pulang ia
bertanya dulu pada orang disekitar. Belum selesai ia bertanya, seseroang datang
menepuk pundaknya.
“Hay Wik! Dari
tadi?” tanya Randa.
“Iya! Enggak!
Baru!” jawab Dewi gelagapan karena terkejut.
“Maaf, kalo saya
mengejutkanmu. Oh,ya tunggu sebentar!” Tutur Randa lalu membuka tas dan
mengeluarkan pesanan milik Dewi.
“Nih Wik! Pesananmu sudah jadi!” lanjut Randa sembari memberikan
kartu.
“Baguus sekali,(kata dewi terpukau) ini buatanmu atau
beli?” tanya Dewi sambil melihat lihat kartunya “tapi kok, ada dua?” katanya
lagi.
“Iya! Yang satu
itu pesanan kamu, dan yang satunya saya
titip untuk dipromosikan disekolahmu”
“WANI-PIRO?” kata Dewi sambil menadahkan tangan ke-Randa.
“Oh! Itu soal
gampang. Dua puluh persen deh, buat kamu!”
“Banyak amat
Rand? Biasanya sepuluh persen aja!”
“Ya, iya-lah!
Sepuluh persennya dari hasil jual kartu dan sepuluh persenya lagi dari hatiku”
kata Randa sambil tersenyum.
“Yeeee, mulai
lagi gombalnya” kata Dewi sambil nepuk lengan Randa.
“Iya nih, Randa!
Tukang gombal!” kata Nilluh dan Mita sambil ngeledek Randa dengan memonyongkan
bibirnya.
“Coba Wik! Saya
lihat?” pinta Nilluh penasaran dengan kartunya.
“Wik! Punyamu
yang mana?” tanya Mita.
Dewi-pun
bingung. “Punyaku yang mana Rand?” Tanya Dewi memastikan miliknya.
“Yang mana aja,
yang pasti milikmu sesuai pesanannmu” kata Randa.
“Jangan keasikan
ngobrol dong! Mas! Kita kok dilupain” kata pembeli yang lama menunggu.
“Oh! Iya, maaf!
Wik, saya tinggal ya!” Randa langsung meluncur ketempat duduknya dan
menyelesaikan PR dari pembeli.
Randa lagi asik
melayani, disisi lain Dewi dan kedua temanya lagi sibuk memilah dan memilih
kartu pemberian Randa. Memilih kartu untuk diberikan kepacarnya Dewi yang
berulang tahun.
“Wik, yang mana
yang paling bagus?” tanya Mita
“Perasaan bagus
semua deh, Wik!” Kata Nilluh.
“Dari gambar
sama bagusnya, terus syairnya juga sama bagusnya!” terang Dewi, kemudian
membaca syair puisi didalam kartu. “Yang ini pesananku syairnya sederhana, berulang tahun memang indah, tapi lebih
indah lagi bila berulang kali bersamammu.”
“Iiih gombal!
Emang Randa tukang gombal” kata Mita sambil menjulurkan lidah kearah Randa yang
sedang asik duduk bersama bisnisnya.
Dewi terdiam,
lalu kembali membaca isi kartu yang satunya
“Teringat senyummu diawal jumpa, didalam
kereta memecah suasana. Samakah yang kau rasa? Saat didekatmu, sejuta bahagia
menghampiri. Saat kau jauh, hening rindu menyelimutiku. Saat kau berada
dihatinya, api cemburu membakar diriku.”
“Oh.. so!sweet!” Kata Mita dan Nilluh.
Dewi terdiam,
lalu menatap kearah Randa yang masih asik bergelut dengan bisnisnya. Tatapan
Dewi, menatap dengan penuh rasa.
Nilluh dan Mita
menepuk pundak Dewi, bersama-sama.
“Hay... Ngelamun aja”
“Ah! Enggak!”
Dewi terkejut
“Ayooo
ngelamunin apa?” tanya Mita.
“Enggak, cuma
tersentuh aja sama syairnya, Mit!”
“Emm... syairnya
emang menyentuh, sampai penulisnya terperangkap dilamunanmu. Ayooo, jujur?”
Ledek Nilluh.
“Ahh, kalian
bisa aja. Kita pulang, yuk?” ajak Dewi mengalihkan pembicaraan.
Mereka segera
pergi dan tak lupa menyapa, “Randa, kita pulang!” teriak mereka sambil
melambaikan tangan.
Randa mengangkat
tangan kirinya dan ikut melambai. Dia masih sibuk dengan kartunya yang sudah
menipis karna hampir habis. Mahasiswa-mahasiswi, siswa-siswi dan bahkan orang
kantoran tertarik dengan karyanya. Tapi sayang stok kartu yang dibawa hanya
lima puluh lembar.
Waktu sudah
sore, dia paksa tutup karna harus pulang, sekalipun orang-orang masih ingin
membeli.
Lapak
dibereskan. Menghitung laba yang didapat, tak lupa sepuluh persenya untuk Tuak
Lii, lalu kembali menghitung uang yang tersisa, setelah menyisihkan jumlah
modal usahanya.
Dia tak lupa
juga untuk membantu membereskan lapak Tuak Lii, karna beliau juga bergegas
untuk pulang.
Lapak masih banyak pengunjung, sekalipun
demikian waktu istirahat juga perlu diperhatikan. Biarpun kita mengejar dunia
sampai keujungnya pasti tak akan sampai, karna ujung dunia itu enggak ada.
“Untuk peminat,
bisa kembali lagi besok, karna stok kertas saya sudah habis. Terimakasih.” Kata
Randa.
Case 5. GAME GOMBAL!
Sore
dirumah Dewi. Dia baru terbangun dari tidurnya, menatap jam yang selalu nempel
ditembok kamar berwarna pink. Setelah tau waktu menandakan matahari beranjak
pergi, ia lekas mengambil handuk dan pergi mandi. Suara gemericik air keluar
dari lubang shower kamar mandi. Lagi asik mandi sambil bernyanyi kecil,
tiba-tiba air berhenti mengalir. Tapi dia masih asik dengan lagunya, ngerasa
ada yang aneh karena air tak kunjung keluar.
“Maaa!
Mama!” Teriak Dewi.
“Mama!
Mama!” teriaknya jadi histeris, kayak baru ngeliat hantu.
“Kenapa,
Wik?” tanya Mama.
“Air,
Ma!”
“Kenapa
dengan air?”
“Ewik,
lagi mandi. Kok airnya macet?”
“Lagi
mati lampu nak!”
Saking
keselnya, dia lalu keluar dari kamar mandi, hanya terbungkus selembar anduk.
Mama yang lagi sibuk didapur, terkejut melihat dia yang keluar dengan kepala
dipenuhi busa, muka masih bersabun.
“Ma!
Trus gimana Ewik?”
“Udah!
pake aja tu air digalon!” timpal Ketut, adeknya yang lagi otak-atik mainan TAMIYA dilantai.
“Kamu
pikir korban bencana alam?”
“Emang,
iya! Korban kemarau panjang!” ledeknya tanpa menoleh sedikitpun karna masih
asik sama mainan.
Mata
Dewi kedap-kedip, kelilipan air sabun. Nangis minta tolong, lalu siMama
menyeret Dewi kehalaman belakang dan lekas membilas anak perawanya dengan air
mineral yang ada digaloon.
“Maa!
Mama belum bayar listrik ya?” tanya Dewi.
“Udah,
kemaren!”
“Tapi,
kok lampunya mati?”
“Emang
lagi jatah pemadaman” terang Mama.
“Enggak,
kak! Mama bayarnya setengah aja kemaren, makanya listrik dikasih jatah setengah
juga!” nyerocos, Ketut sambil ketawa.
“Husss!
Asal kalok ngomong” kata Mama sambil melotot kearah Ketut.
"Kasian!”
ledek Ketut ngeliat Dewi masuk rumah.
“Apa!
Dasar bauuuk!” balas Dewi.
“Yeee,
bauuk apa!”
“Bauuuk,
kentut! Ketut” ledek Dewi lalu masuk kamar.
Namanya
juga cewek, kalo abis mandi lalu masuk kamar pasti bakalan lama baru keluar.
Setelah keluar dari kamar, aroma harum nan mewangi, memenuhi area ruangan yang
dilewati Dewik.
“Heemmmm.
Wangi!” kata Ketut.
“Emberrr!”
jawab Dewi yang udah rapi mengenakan gaun. Ia terlihat sangat cantik, rambutnya
pajang ter-urai, lurus dan mendukung penampilanya.
Sembari
menunggu waktu, ia merapikan kado kecil yang akan dibawa keacara ulang tahun
Deni.
“Rapi
amat, mau kemana?” tanya Mama.
“Mau
pergi ke-party Deni, Maa!”
“Emangnya
Deni ulang taun?”
“Iyaa..”
“Cie
cie.. yang mau party. Bawa pulang kue yang banyak ya, kak!” kata Ketut.
Dewi
menjulurkan lidah kearah Ketut. Kado udah siap, tinggal nyelippin kartu. Kartu
dibuka dan dibaca kembali, setelah membaca, ia jadi teringat Randa.
“Lagi
ngapain dia ya?” tanyanya sendiri “Coba saya ajak dia” lanjutnya dalam hati.
***
Langit sudah
jingga, matahari pamit pulang. KRIING! KRIING! KRINGG! KRINGG! Suara telpon
diruang tengah, tak ada yang angkat. Karna masing-masing berharap ada yang
terlebih dahulu mengangkatnya, suara itu hilang, tak lama kemudian datang lagi.
“Hallo! Kediaman
I Made Arta disini, ada yang bisa saya bantu?” tanya Ketut.
“Iya. Bisa
bicara dengan Dewi, ini dari Mita”
“Oh, iya. Mau
Minta apa ya?”
“Mita! Mita!
Bukannya minta, tapi M, I, T, A. MITA!” Mita protes.
“Iya, ditunggu
bentar.”
Ketut pergi
memanggil Dewi yang baru masuk kekamar. “Kak! Ada telpon!”
“Dari siapa?”
tanyanya dari dalam kamar.
“Dari orang
Minta-Minta”
“What’s?” kata
Dewi, lalu membuka pintu kamar “Minta apa?” tanyanya lagi.
“Auk, ah! Urus
sendiri tu di telpon” ketus Ketut.
Dewi bingung,
lalu lekas kearah telpon.
“Hallo, siapa?”
“Dewi! Ini Mita”
“Dasar bauuk!”
kata Dewi ke-Ketut.
“What? Mita,
Wik! Bukannya bauuk!”
“Maaf Mit?
Bukannya bauk kamu, tapi sikentut!”
“Haaa, saya
enggak kentut Wik!” Mita marah, karna enggak ada yang nyambung obrolan, padahal
dia juga enggak nyambung. Mungkin karna ketutup emosi ya?
“Bukan-bukan!
Bukan kamu, Mit! Tapi si-Ketut, adekku tadi”
“Ya, udah. Jadi
nanti saya jemput jam berapa?”
“Jam berapa aja,
saya udah siap kok! Tinggal meluncur!”
“Ok, deh! Lok
gitu bentar lagi saya jemput”
TUUTTT..
TUUTTT..TUTTT..
Suara telpon.
“Dasar, Mita.
Tutup telpon enggak bilang-bilang, sampe kedengeran suara kentut”
Dewi
bersiap-siap nunggu jemputan, tapi sebelum pergi ia sempatkan diri untuk
kedapur. Nyari camilan, biar cacing dalam perut enggak kaget nanti kalok pas
makan CAKE. Soale, cacingnya
rada-rada ndesooo.
“Siapa yang
telpon Wik?” tanya Mama sambil gosok baju.
“Mita, Ma! Mau
dijemput biar jalan bareng” sambil ngemil.
“Jangan pulang
malem ya, nak?”
“Ih, Mama! Aneh
aja nanyaknya! Ya, jelas pulang malem dong, Maa! Kan, acaranya malem”
“Maksud Mama,
jangan terlalu larut malam, sayang!”
“Tenang, Ma!
Ewik, bisa jaga diri. Mama berdo’a aja, biar Ewik pulang dengan selamet”
“Iya. Mama selalu
berdoa buat kalian”
TINNS..
TINNS...
Suara klakson terdengar dari halaman depan rumah. Dewi mengintip diselah gorden
jendela ruang tamu.
“Maaa, Ewik
pergi dulu!” teriaknya pamitan, lalu berlari kearah mobil jemputan yang sedang
nunggu. Diatas mobil, sudah ada Nilluh dan Dina, sedangkan Mita yang bawa
mobil.
***
“Hay!” Sapa Dina
dan Nilluh ketika Dewi membuka pintu mobil.
“Hay, ternyata
kalian udah duluan ya?” kata Dewi “Sopir, jalan.” Lanjutnya sambil menutup
pintu.
“Ok, buu!”
Semua cekikikan
ngeliat Mita yang malam itu jadi supir antar jemput teman-temannya. Ya!
beginilah sebuah persahabatan. Remaja indonesia pasti berkarakter seperti itu.
“Wik! Bay the way. Kamu kelihatan cantik malam
ini!” ujar Mita sambil nyetir, sesekali noleh ke-sohib-sohibnya.
“Nggak nyadar
ya, lok saya emang cantik”
“Iya, cantik
sayang” tutur Nilluh.
“Cantik, cantik,
cantik” Dina niru kata-kata difilm kartun.
“Kalian tau
nggk, perjalanan kita ini menuju kemana?” basa-basi Mita.
“Nggk,” jawab
Nilluh dan Dina kompak.
“Kalo kamu Wik?”
“Ya, jelas tau
dong, Mit!”
“Emang! Jalan
kemana?” tanya Mita lagi
“Ke-HATI Deni dong, sayang!”
“Cie, cie, cie”
serempak.
“Bisa-bisanya
kamu aja, Wik!” kata Dina.
Mereka ngakak!
Dalam perjalanan
menuju tempat tujuan, ternyata jalannya ditutup karena sedang lagi ada acara
pernikahan. Terpaksa mereka berbalik arah dan mengambil jalur lain.
“Din! Sepertinya
teman kita ini, udah pinter ngegombal, deh!” kata Mita.
“Iya, semenjak
dia kenal dengan anak pasar yang namanya Panda. Kata-katanya bikin orang baper”
“Randa, Din! Bukannya Panda. Tapi Randa! Pake
huruf ER didepan” saut Dewi.
“Iya, itu
maksudnya. Terus btw, kamu kenal
dimana, Wik?” tanya Dina.
“Ceritanya
panjang, Din! Dia anak blezteran Jawa, keturunan Arab Bima dan lahir dikota
ini. Cuman dia bakalan pindah ke-Bima, dengan alasan kedua orang tuanya yang
sudah umur. Maksudnya mau nemani kedua orang tuannya. Gitu, katanya!”
“Yakin dia anak
baik-baik?” tanya Dina lagi.
Dewi senyum
sambil manggut-manggut, Nilluh asik nyemil sendiri sedangkan Mita konsent sama setir mobil, sambil nguping.
Mita menurunkan
kaca jendela mobil, begitu juga yang lain menurunkan dengan segerra, seperti
orang yang sesak nafas kena asma. Jadi harus butuh udara segar. Kemudian
satu-persatu dari mereka menatap kearah Nilluh, sambil menutup hidung! Mata
mereka melotot penuh tanya.
Nilluh berhenti
mengunyah karena ngerasa aneh diplototin, alisnya naik turun. Maksudnya nanya,
kenapa saya diplototin? Ngelihat Nilluh yang tingkahnya nggk jelas dan tak
dimengerti. Mereka semakin melotot, mita memberhentikan mobil dibahu kiri
jalan.
Nilluh nyengir,
sedangkan yang lain keluar dari mobil.
“Nilluh, jorok!”
kata Dina.
“Hehehe, nggk
tahan Din! Daripada saya dioperasi karna kelebihan angin, ya terpaksa harus
saya keluarin, dong!” tuturnya merasa tak berdosa.
Mereka bertiga,
mual-mual.
“Maaf! Ayo naik,
udah telat kita nih!” terang Nilluh dan melanjutkan camilannya.
“Bodok! Daripada
mati sesak nafas karena kentut! Kan nggak lucu kalok masuk koran. Tiga anak
perawan mati sesak nafas didalam mobil karena keracunan kentut!” gerutu Dina.
Emang ya! Kalo
udah namanya berkumpul dengan sahabat, mau ngapain juga sah-sah saja. Sekalipun
itu ngusilin temennya. Contonya Nilluh, dia anaknya nggak jorok, tapi usil sama
temen-temennya, kecuali dengan orang lain, dia sangat sopan.
Kalo Mita,
anaknya pengertian ya walaupun rada-rada keppo gitu. Beda lagi dengan Dina, dia
ini mulutnya nggak pernah pake saringan, mau sama siapa aja, dia libas. Asalkan
dalam posisi yang bener. Dan diantara mereka berempat hanya Mita yang muslim,
Dina nasrani sedangkan Nilluh dan Dewi beragama Hindu.
Mereka berempat
ini dijuluki sebagai genk! BHINEKA
TUNGGAL IKA, sekalipun berbeda tapi tetap satu rasa.
Kita lanjut
kecerita.
“Dasar nih!
Nilluh! Jadi hilang aura kecantikanku!” kata Dina.
Nilluh tetap
senyum dan selalu asik ama camilannya yang nggak abis-abis. Nyemil terus, tapi
nggak gemuk juga.
“Lanjut, Wik
Ceritanya!” kata Mita, sambil mengemudikan kendaraannya lagi.
“Ya, seperti
itu. Tapi yang bikin saya tertarik itu, ialah syair yang dia titipkan padaku.
Mengenang! Seperti sebuah ungkapan saat awal kami jumpa!”
“Cie, cie, cie.
Jadi kepikiran dia, nih!” suara Nilluh setelah camilannya sekarat.
“Tapi, dia Ok
juga kok! Beneran deh! Suerr!” kata Dina sambil menodongkan jari manis dan jari
telunjuknya.
Dewi jadi diam
“Senyumnya tak pernah hilang disetiap orang mengenalnya, jauh sekali bedanya
dengan Deni yang selalu ja’im. Segala
sesuatu harus diatur” katanya dalam hati.
“Hayoooo!
Ngelamun, ya?” Mita sambil menepuk paha Dewi.
“Nggk, tuh!”
kilah Dewi.
“Nah!
Udah nyampe kita” tutur Dina.
“Rame banget,
Mit!” kata Nilluh.
Mereka ragu
untuk masuk kedalam, karena ngelihat kendaraan para tamu yang banyak. Tapi
nggak jadi masalah buat Dewi, itu soal biasa. Teman Deni yang diundang bukan
teman satu sekolah saja, bahkan Deni mengundang teman semasa SD, SMP dan teman
sepergaulannya, bahkan temennya temen Deni.
“Ayo deh! Kita
masuk. Hajar aja! nggak usah malu!” ajak Dina.
***
Didalam, ruangan
hampir penuh, tempat yang disediakan udah ditempati masing-masing tamu.
Sedangkan mereka berempat, clingak-clinguk nyari tempat. Suara berisik dari
sound sistem semakin membuat acara meriah, lampu kerlap-kerlip. Tempat disulap
jadi seperti diskotic. Maklumlah yang ultah anaknya orang berada.
MITAAA... MITTAAA..
suara orang memanggil dengan nama Mita.
Mita mencari
sumber suara. Dia dapat seorang teman lama sedang melambaikan tangannya,
memanggil mereka supaya dapat bergabung. Mereka berempatpun segera menghampiri.
Karna tempat mereka berdiri penuh!
“Hay, apa kabar?”
tanya Mita pada teman lamanya.
“Baik! Kamu
gimana? Dateng sama siapa?” tanyanya.
“Fine. Oh, iya! Kenalin temen-temen saya” kata Mita.
“Dina”
“Nilluh”
“Dewi”
“Saya, Lina.
Teman SMP Mita!” katanya sambil berjabat tangan.
Sembari menunggu
acara dimulai, mereka berbincang sambil minum juz yang sudah disediakan. Suara
music semakin mengecil.
“Ok, selamat
malam para tamu dan undangan. Semoga bahagia menikmati jamuan kami dimalam ini”
kata kedua MC membuka acara.
“Baiklah, semoga
malam ini sangat mengihur kalian, saya Lingling bersama teman saya”...”Saya
Joni” ... “Kami berdua akan membuka acara ini. Tapi, sebelum dibuka sebaiknya
tuan rumah memberikan beberapa cuap-cuapnya untuk kita semua”
Deni melangkah
naik keatas panggung, tepuk tangan meriah dari para tamu.
“Ok, guys!
Sekarang Deni udah berada diatas panggung” kata Joni.
“Iya! Sebagai
awal pembukaan acara, Deni harus cuap-cuap dulu. Gimana Jon?” tanya Ling-ling
“Iya, bener
sekali Ling, dipersilahkan Deni” lanjut Joni.
Cuap-cuap
dikeluarkan Deni sebagai tanda acara dimulai.
“Ok, baiklah!
Terima kasih, sepertinya ini syarat mutlak dalam sebuah acara! Tapi enggak
masalah. Selamat malam untuk semua!” teriaknya.
“MALAAAAAAM”
semua menjawab serempak.
“Baik,
terimakasih untuk semua yang udah pada mau datang keacara ini. Dirumah saya,
saya menganggap rumah ini adalah hati saya. Terimakasih udah masuk kehati saya
dan semoga ada yang mau tinggal didalamnya” kata Deni, tapi dibales sorakan.
HUU!!!
“Untuk seseorang yang tersepesial dimalamku
ini. Terima kasih udah dateng! Untuk sayangku yang berada dipojok sana, I DEWI
AYU! Selamat datang dan berbahagialah didalam hatiku.” Katanya sambil menunjuk
kearah Dewi yang lagi bersama teman-temannya.“Baiklah, terima kasih dan selamat
berpesta” katanya lagi.
Dewi sumringah
dan tersipu malu, plus bahagia karena benar-benar disebut sebagai kekasih hati
Deni. Tak lama kemudian waktu untuk sesi penting yaitu tiup lilin beserta
potong cake.
“Sebagai simbol
acara ini, langsung saja kita kesesi inti supaya acara selanjutnya bisa
dimainkan. Langsung saja Deni, disamping cake-nya. Tapi sebelumnya, seperti
biasa sebelum tiup lilin biar sakral yang bersangkutan membuat permohonan dan
jangan lupa kekasih hati harus mendampingi ya!” tutur Joni.
Tak lupa
menyanyikan lagu panjang umurnya terus potong cake-nya, kemudian potongan
pertama disuapin ke Dewi. Sebagai simbol yang tersayang. Setelah sesi tiup
lilin dan potong cake, dilanjutkan kesesi game.
Game disini
terdiri dari beberapa sesi, sesi pertama. Game lempar kaset, dimana para pemain
saling mengoper kaset sambil nungguin lagu selesai. Nah jika lagu selesai dan
kaset ditangan seseorang, maka yang megang kaset paling terakhirlah yang maju
untuk berdansa atau bernyanyi. Sesi ini dibagi dua kubu, yaitu satu kubu
perempuan dan kubu laki-laki, jadi cocok bisa berpasangan, tapi nggak bakalan
bisa dengan pasangan masing-masing, karena tergantung dari posisi kaset
terakhir.
Game ini sudah
biasa dilakukan diberbagai acara ulang tahun, istilahnya sekarang game basi.
Setelah sesi game basi selesai kemudian berlanjut ke-game balon pecah, dimana
game ini aturan permainannya menggunakan cara yang sama yaitu melempar kaset.
Perbedaan game ini adalah pada sesi akhirnya yaitu memecahkan balon menggunakan
perut.
Dimana para
pemain yang terpilih wajib memecahkan ballon menggunakan perut mereka, yaitu
satu ballon dipecahkan secara berpasangan, balonya dihimpit dengan perut para
pemain, setelah pecah didalam balon ada sebuah kertas yang bertuliskan panduan.
Misalnya
bertuliskan Daun. Nah, untuk para
pemain harus bisa menggunakan kata tersebut untuk merayu satu sama lain. Game
ini juga masih sering dilakukan diacara-acara seperti ini, istilahnya masih
lumrah. Setelah kedua game selesai, kemudian beranjak ke game yang terakhir.
“Ok, guys.
Sekarang kita ke-game ketiga, Game Gombal.
Cara bermain game ini sedikit berbeda tapi berhadiah dan mendapatkan gelar
Ratu-Raja gombal. Jadi untuk siapapun boleh bermain tapi syaratnya pemain harus
genap dan tak boleh sejenis, kalo sejenis ntar bukannya cocok malah jadi cucok-deh!” Tutur Joni si MC likog!
“Iyappss! Bener
sekali Jon! Di game ini bisa siapapun jadi pemain, tapi kalo nggk ada yang mau
main. Terpaksa kita harus memilih sepuluh pasang pemain, dimana lima pemain
dari kaum hawa dan lima dari kaum adam. Cara memilihnya kita undi dari
nama-nama yang ada didaftar buku tamu. Gitu, guays!” sambung Ling-ling
“Gimana, guys?
Semua jelas setujukan?” Tannya Joni.
SETUJU!!
serempak menjawab.
Tapi tak satupun
dari para tamu yang mau ikut, entah karna nggak bisa atau karna malu. Nggak ada
yang tau.
“Karena nggk ada
yang mengajukan diri, jadi harus melakukan pengundian, apabila ada calon yang
diusulkan itupun sangat baik. Gimana, Ling?”
“Iyapss! Harus
seperti itu, Jon. Biar seru!”
Pengundian udah
dilakukan, beberapa orang diundi dan beberapa lagi dari usulan temen-temennya.
Skema lalu dibuat, pasangan kembali diundi agar dapat mengisi skema yang telah
ada.
“Kocok! Kocok!
Kocok!” ujar MC.
“Darwis,
berpasangan dengan Iin-Lebay” kata Ling-ling.
“Reni-jutek,
bareng sama Agus-yes”
“Kita kocok
lagi”
“La-Randa,
berpasangan dengan Nadin-cuper”
Mendengar nama
Randa, Dewi cs terkejut. Penasaran! Mereka lalu mencari tau! Tanya-bertanya,
alhasil memang bener kalau itu adalah orang yang mereka maksud.
“Loh, Wik! Kok
Randa ada disini?” Tanya Mita.
Dewi bengong.
“Iya, kok bisa
disini!” kata Dina.
“Mungkin
kebetulan, kali! Atau orang lain!” tutur Nilluh.
“Ok,
selanjutnya. Dina-CS sama Kapten-Bobi” ujar Joni.
“Loh, Jon. Kok
ganjil skemanya? Sisanya gimana?” tanya Ling, heran.
HUUUU!!
Sorak
penonton serentak.“MC-nya, asal tuh!” kata salah seorang.“Skema abal-abal”
lanjut yang lain.
“Ok! Ok! Tenang
semua!” tutur Joni menenangkan suasana.
“Untuk sisanya,
kita jadikan skema cadangan, melawan pasangan tuan rumah Deni dan Dewi.
Gimana?” tanya Ling-ling.
Ok! Ok! Setuju!
Setuju! kata penonton.
Kemudian sebagai
juri penilai adalah penonton sendiri.
***
“Game
Gombal, dimulai berurutan dari pasangan Darwis vs Iin-Lebay” tutur MC.
“Iin!
Hewan apa yang paling aneh?” tanya Darwis.
Iin
sedikit mikir “Emm! belalang kupu-kupu!”
“Lho!
Kok bisa?”
“Bisa
dong! Soalnya siang dia makan nasi dan kalo malem dia minum susu!”
Sorak
penonton terus pada cekikikan.
Darwis
enggak mau kalah! Kedua tangannya diangkat lalu dilambaikan “Tenang-tenang. Oh,
gitu! Aku kira yang paling aneh itu HEiWANitaku.”
Lanjut Darwis.
Serentak
orang pada bengong lalu mikir.
“Maksudnya?”
tanya Iin, bingung.
“Maksudku,
hewan paling aneh itu ya hewan-itaku.
Karna dia bisa segalanya, bahkan bisa masuk kehati dan pikiranku. Salah satunya
adalah kamu!” terang Darwis.
Penonton
ngakak karna baru nyambung, akhirnya Iin-Lebay tereliminasy, karena nggak bisa
berkata lagi. Tepuk tangan yang meriah diberikan untuk Darwis.
“Ok,
selanjutnya pasangan nomer dua, yaitu Reni-jutek vs Agus-yess.” kata Ling-ling.
“Apa
perbedaan rok dengan roket?” tanya Reni-jutek.
“Ah!
Itumah gampang! Yess! Yes! Kalo roket makin keatas makin nggak kelihatan, tapi
kalo rok makin keatas makin kelihatan!” jawab Agus.
“Kelihatan
apanya cuy?” tanya salah seorang penonton.
“Kelihatan
ladangnya!” kata Agus menghadap kepenonton.
Penonton
ngakak lagi.
“Ok!
Tenang! Sekarang giliran Agus” instruksi MC.
“Sekarang!
Apa bedanya matahari sama bulan?” tanya Agus.
“Soal
kok cemen gitu, kecil!” kata Reni sambil melentingkan kuku kelingkingnya “Kalo
secara biologi, sudah jelas Matahari itu panas dan Bulan itu sejuk. Tapi kalo
secara ekonomi, Matahari itu penuh dengan diskon! Sedangkan Bulan nggak ada”
Lanjut Reni.
“Ok,
deh satu sama” tutur Agus.
“Sejak
tadi kita naik keatas panggung, bikin saya pengen belajar terus!” ujar Reni.
“Emang
kita belajar apa?” tanya agus.
“Saya
pengen belajar jadi yang terbaik buat kamu!” lanjut Reni.
CIE! CIE!, CIE! kata penonton.
Langsung
disamber Agus yang nggak mau kalah. “Iya, emang bener. Seperti yang kamu kata,
kita memang butuh belajar tapi dalam belajar kita butuh dua hal!”
“Apa
itu?” Tanya Reni.
“Yang
pertama kita butuh matahari sebagai penerang kita dalam belajar, kemudian yang
kedua kita butuh mata-hati untuk kita bisa saling mengenal anatara hatiku dan
hatimu!”
Ngakak
penonton.
Reni
nggak mau kalah juga “Semua orang bisa memberikan cinta, tapi tak semua orang
bisa memberikan kesetiaan! Tau nggak kenapa sekarang gelap?”
“Enggak!
Kenapa?” tanya Agus.
“Mataharinya
malu karena sinar hatimu jauh lebih terang!” lanjut Reni.
Penonton
bersorak menyebut nama RENI! RENI! RENI!
Pendukung Reni makin banyak.
Agus
tetep ngotot. “Suasana langit malam ini memang teramat gelap, tapi akan lebih
gelap lagi bila kau tak ada dihatiku”
BALESSS!! BALESSS!! BALESSS!! Sorak penonton.
Lalu Reni mengangkat tangan, bukan berarti menyerah, tapi berharap penonton
untuk tenang.
“Gus!
Tolong beri saya waktu!” kata Reni.
“Waktu
untuk apa?” tanya Agus bingung.
“Waktu!
Agar saya bisa menjadi yang terbaik dihatimu” lanjut Reni.
Agus-yess
nggak bisa bekutik, mulutnya membeku tanpa kata. Sedangkan penonton
bersorak-sorai menyebut nama Reni dan Agus ter-eliminasi.
Untuk
pasangan ketiga dimenangkan Dina-cs, lalu pasangan empat La-Randa unggul jauh.
Kemudian group cadangan, Rini vs Iwan dimenangkan Iwan sedangkan pasangan tuan
rumah Deni terkapar tak berdaya karena terkena racun gombal dari Dewi.
Untuk
group cadangan dipegang oleh Dewi, sedangkan untuk group pemain masih tahap
semi final antara La-Randa vs Reni-jutek. Pertarungan semifinal ini sangat mendebarkan,
adu gombal saling bersahutan, waktu cukup tersita oleh ulah mereka berdua.
Sorak-sorai
penonton tiada henti, hingga perut terasa keram karena cekikikan terus.
Alhasil, semi final dimenangkan Randa, Reni kehabisan kata.
“Ok,
penonton. Sekarang kita menuju ke-final, tapi sebelumnya kita break dulu ya?”
tanya Joni.
“Iya,
break dulu buat nenangin diri biar selagalas
nggak penuh sama orang yang ngakak” canda Ling-ling.
Selagalas adalah nama
salah satu tempat orang-orang yang sakit jiwa dikumpulkan.
***
Sesi final akan
segera dimulai, panggung udah disiapkan.
“Ok, penonton.
Segera bersiap diposisi masing-masing karena partai final akan segera dimulai.
Untuk yang lagi makan diharap hentikan dulu biar nggak keselek, terus yang lagi
minum segera diselesaikan biar nanti nggak nyembur” ujar Joni.
“Pertandingan
dimulai” kata Ling-ling sambil meniup pluit.
“Sebelum kita
mulai, sebaiknya kita berkenalan dulu supaya nanti bisa saling mengenal” Randa
memulai permainan sembari mengacungkan tangan untuk berjabat tangan.
“Saya, Dewi!”
“Saya
Tonggeranda, tapi lebih umum dipanggil Randa!”
“Umum!
Maksudnya?”
“Ya, umum! Randa
adalah singkatan dari RemajA iNDonesiA.
Saya senang berkenalan denganmu. Namamu Dewi, kan?”
“Iya..”
“Namamu sesuai
dengan dirimu, tapi saya berharap lagi dirimu sesuai dengan namamu!”
“Maksudnya?”
Dewi bingung.
“Maksud saya,
namamu secantik dirimu dan saya berharap kamu se-Ayu namamu!”
Penonton
bersorak GARINGGGG!
“Ya, memang nama
saya Dewi Ayu”
“Oh, pantes!”
“Pantes kenapa?”
tanya Dewi lagi.
“Karena melihat
kamu dadaku semakin berdebar-debar!”
HHUUUUUU!!
GARINGGG!!
Sorak penonton.
Randa menguasai
awal pertandingan, tapi Dewi nggak mau kalah.
“Sumpah, deh!
Kamu itu nakutin saya!” kata Dewi.
“Nakutin?” tanya
Randa bingung.
“Iya! Kata-kata
kamu itu bikin saya takut! Maksud saya bikin saya takut kehilangan kamu!”
Penonton ngakak.
“Ahh! Kamu, bisa
aja. Padahal kata-kata saya biasa saja” Randa merendah.
“Menurut kamu
biasa, tapi bagi saya itu luar biasa”(GUBRAAAKK!!)
Randa nggak mau
kalah.
“Ya, ketika kamu
bilang itu luar biasa! Pikiran saya jadi tersesat, tapi tak masalah buat saya
karena saya lebih senang tersesat karna kamu!”
Dewi KEJEBURR!! Tapi dia segera berenang
nggak mau tenggelam.
“Saya sangat
berharap kamu tau. Bahwa saya takkan pernah menyesali hari ini, karna bagi saya
hari ini bersamamu itu sudah cukup membuat hati saya bahagia”
“Tak semestinya
kamu berkata seperti itu!” kata Randa dengan wajah sedikit memelas dan kecewa.
“Kenapa?” tanya
Dewi heran dengan sikap Randa.
“Karna saya
sangat bahagia mendengarnya!”
Dewi KEJEBUR! lagi. Berenang lagi.
“Randa! Saya
juga senang mendengarnya. Bisakah kamu jujur pada saya? Angin apa yang
membawamu datang kemari?”
“Entah angin
apa? Tapi saya rasa, angin ini membawa saya kehadapan putri yang menawan! Putri
yang akan menghias hati ini dengan bunga! Bunga suka cita, kuncup kerinduan!
Benih kebahagiaan! Dan pohon kesetiaan yang kokoh! Sehingga berbuah, buah
keabadian!”
BLUUR!!BLUURR!!BLURR!! Dewi kelelep.
“Nafas buatan!
Nafas buatan! Cepet!!” teriak salah seorang penonton, membuat MC terkejut.
Semua serentak mengarahkan pandangan ke-anak tersebut.
“Ada apa? Siapa
yang sesak nafas?” tanya Ling-ling panik.
“Dewi tenggelam
dikolam gombalnya Randa!” katanya lalu dia ngakak.
Para
penonton-pun pecah oleh tawa. Dewi terlihat tersipu malu, sedangkan Deni tak
mampu berkata karena diselimuti rasa cemburu.
DEWI!! DEWI!!
DEWI! Sorak penonton memberi semangat. Tapi sayang,dia kehabisan kata karena
terlalu banyak meminum air karena tenggelam dikolam gombalnya Randa. Alhasil..
Pertandingan
dimenangkan Randa, dia berhak mendapat hadiah sebesar lima ratus ribu rupiah
dan menerima titah sebagai Raja Gombal diacara tersebut. Dilain tempat, Deni
masih berselimut api cemburu, sedangkan Dewi masih sama malu-malu.
“Baiklah, sepertinya
semua acara sudah kita jalani dan kita sudah mendapat pemenang dari game yang
kita mainkan. Untuk penutupan acara, tuan rumah yang bersangkutan diharap
memberikan cuap-cuapnya lagi” kata Joni.
Setelah Deni
bercuap-cuap ria, akhirnya acara resmi dibubarkan. Randa menjabat tangan untuk
pamitan kepada Deni beserta teman-temannya karna waktu sudah larut malam. Tak
lupa pula ia menyantroni Dewi beserta yang lain.
“Loh! cepet kali
pulang Rand?” tanya Dewi.
“Udah malem Wik!
Takut nggak ada kendaraan pulang. Saya pamit ya!” tuturnya lalu pergi.
Case
6. JEMPUT BOLA
Hari sudah
sangat tinggi, hampir sejajar dengan ubub-ubun. Hawa panas sudah sangat
menyengat. Tapi Randa baru dalam perjalanan menuju lapak karena semalam dia
pulang terlalu larut.
Angkot yang dia
tumpangi seperti kura-kura, lambat! Sedangkan gelisah menemani Randa yang takut
nggak dapet rejeki, karena keduluan dipatok ayam tadi pagi.
“Aduh, gawat
nih! Bakal nggak ada yang beli, karna telat dateng” katanya dalam hati.
Angkotpun berhenti.
“Pemisi bang!”
katanya sambil lompat keluar pintu.
“Heeyy!
Ongkosnya belum!” teriak kenek angkot.
“Oh, iya! Maaf
bang!” lanjut Randa kembali kearah kenek yang cemberut ngeliat tingkah dia.
“Nih, bang! Ongkosnya, makasi yaa!” tutur Randa membayar sewa, lalu lekas
pergi.
Setiba dilapak,
dadanya naik turun karena capek berlari.
“Mau jualan kok
datang jam segini!” tutur Tuak Lii.
“Maaf bang! Saya
telat bangun karena pulang larut malam!”
“Semalem kamu
kemana? Begadang? Persiapan buat dagang?”
“Nggak, bang!
Semalem saya pergi keacara temennya temen. Katanya diacara itu ada permainan game gombal namanya. Nah! Katanya lagi,
hadiahnya lumayan” teraang Randa sambil membenahi lapak buat tangkringannya.
“Trusss! Kamu
ikut maen atau ikut nonton?”
“Maen dong,
bang!”
“Lalu, kalah?”
“Kok, kalah.
Menang dong! Randa gituloh!”
“Gayamu! Berarti
banyak duit, dong!”
“Lumayan, tapi
tinggal setengah. Soalnya setengah lagi buat neraktir temen semalem”
“Bilang aja,
nggak mau traktir kita disini!” sindir Tuak Lii.
“Oh, tenang
bang. Udah saya siapin itu, walau beberapa aja”
“Alhamdulillah
yang penting kamu ikhlas”
“Insyaa Allah,
bang!”
“Oh, ya Rand.
Tadi orang pada cari kamu, tapi kamu baru nongol”
“Nggak apa-apa
bang, mungkin belum rejeki saya!”
“Iya. Saya juga
beritahu, kalau kamu datangnya agak siang”
“Iya, terima
kasih. Saya tinggal dulu sebentar”
Setelah
tangkringannya beres, Randa pergi membeli nasi ayam krispi lengkap dengan soft drink. Waktu untuk sarapan siang.
Janji traktir harus ditepati karena janji sama dengan nazar, tapi bukan nazarudin
yang kasus korupsi proyek wisma olahraga hampa-lang
loh!!!!
Randa terlihat
dari jauh, membawa bungkusan ukuran medium.
Senyuman terpancar dari Randa hingga membuat Tuak Lii bertanya-tanya. Tetapi,
pertanyaan Tuak Lii terjawab dengan melihat isi bungkusan yang dibawa Randa.
Senyum simpul menghiasi raut Tuak Lii.
“Aseeeeekkk!
Ternyata bukan sekedar mimpi! Walhasil terkabul juga” katanya setelah Randa
menyodorkan bingkisan.
“Yaa, iyalah!
Masa harus mendengar angin berhembus saja, tanpa bisa menikmati kesejukannya”
jawab Randa.
“Makasi Rand!”
Lalu mereka
lekas menyelesaikan waktu sarapan siang karena jam pulang sekolah sudah
menunggu dengan harapan dagangan banyak laku terjual oleh anak-anak sekolah.
Mentraktir teman
bukan berarti membuat Randa lupa akan tujuannya. Mengumpulkan uang lebih banyak
adalah yang harus dicapai, guna memdaftarkan diri disekolah baru nanti.
Berhubung biaya pendaftaran sekolah yang mahal jadi harus ekstra kerja keras.
Entah kenapa
untuk sekolah saja di negeri ini begitu mahal, padahal sumber daya alam kita
begitu melimpah untuk dimanfaatkan. Alasannya selalu garing, untuk memanfaatkan
Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia di-negeri ini sangat kecil.
Ya makanya
sekolah itu mahal, harus bayar SPP dan sekerabatnya. Ya pokoknya gitu deh!
Mending kita kembali kecerita.
“Rand! Kamu jadi
mau pulang kampung atau sekolah disini?” tanya Tuak Lii.
“Rencana saya,
kalau keluarga saya belum tau hal ini, saya akan meneruskan sekolah disini,
seandainya mereka sudah tau, berarti saya harus membuka lembaran baru diBima”
“Kamu sudah tau
berapa biaya pindah sekolahmu?”
“Sudah, bang!”
“Berapa?”
“Semuanya satu juta dua ratus. Tapi btw, abang tau darimana tentang rencana
saya?”
“Kan! Kamu yang
cerita kemaren. Waktu minta lapak buat jualan, ayo!!”
“Oh! Saya lupa!”
“Mas, kartunya
berapa?” tanya pembeli.
“Banyak, mas!”
jawab Randa.
“Maksud saya,
harganya!”
“Ohh!!
Lumayanlah, ada yang tiga ribu dan lima ribu mas. Kalau yang tiga ribu,
kata-katanya bikin sendiri terus yang lima ribu kata-katanya dari saya”
“Ya udah, lok
gitu yang lima ribu ya!! Terus ceritanya
saya mau ngerayu pacar saya yang lagi ngambek, gito!!!”
“Ok, ditunggu
aja boss!”
Dia langsung
sabet alat kerjanya, melukis seorang pria sedang jongkok dihadapan kekasihnya.
Sedangkan kekasihnya membelakangi sang pria yang lagi memohon sembari membawa
setangkai mawar sebagai bukti permohonan maaf. Lalu untuk syairnya, Randa
sedikit berfikir keras karna dia belum pernah mengalami yang namanya pacaran.
“Tunggu sebentar
dulu ya mas! Saya mau kebelakang dulu. Sekalian sambil nugguin kering gambarnya
dan juga siapa tau saya dapet ilham dibelakang, biar bisa nulis puisi yang
terbaik” ujar Randa yang bingung mikirin puisi.
“Ok, saya
tunggu!” Sembari menunggu pemuda tersebut membaca-baca kartu yang ada, kemudian
berpindah kebuku dilapak Tuak Lii.
Lukisan sudah
mengering, Randa belum datang juga, pembeli sedikit jenuh karena lama menunggu.
“Pantatnya lagi
bocor ya? Lama amat!” tanya pemuda tersebut dalam hati.
“Maaf, mas!
Kelamaan ya?” tanya Randa setelah dia kembali.
“Ya, Lumayan!
Saya kira kamu udah kemakan sama kecoak dibelakang!” katanya nyindir.
“Ah, bisa aja!
Tapi untung waktu ngecor tadi langsung dapet ilham”
“Maksud kamu
puisi untuk saya dapet dari jamban? Atau jangan-jangan syairnya cintaku berlapis coklat dari jamban?”
lanjut pembeli rada panas.
“Maaf, mas!
Maksud saya bukan gitu dan nggak kesitu!” Randa sambil nyengir.
“Ya, udah.
Selesaikan cepet punyaku, biar saya pulang”
Randa segera
menyelesaikan syairnya tanpa berfikir panjang. Seakan-akan tulisan itu sudah
ada dari langit dengan tanpa harus berfikir beserta tulisannya begitu indah.
Lalu diserahkan ke-pembeli.
“Silahkan mas!
Tapi dilihat dan dibaca dulu! Maaf, menunggu lama!” suara Randa sedikit seperti
memelas. Biar dikasiani dan takut nggak dibayar.
“Cepet sekali?”
tanyanya heran.
“Iya, Mas! Kan
sudah saya bilang, wahyunya turun!” Randa bernada agak sombong.
Pembeli melihat
gambar, kemudian membaca syairnya dengan nada sedikit keras, seperti orang lagi
baca puisi diatas panggung.
“Setangkai
bunga kupetik dari sudut hatiku yang mawar. Betapa matangnya setangan kasih
yang memberi dari kuburan perih. Inilah tanda untuk cinta. Inilah kesederhanaan
yang kupunya. Memang mataku kadang berawan. Dan aku tak bisa mengatakannya
bulan. Inilah tanda yang paling putih yang dimatangkan perih”
Randa dan Tuak
Lii kemudian bertepuk tangan lalu menyanjungnya.
“Hebat, mas!
Anak sastra, ya?” Tanya Tuak Lii.
“Bukan, Mas.
Cuman suka sama puisi aja, tapi nggak bisa bikinnya”
“Oh, gitu”
lanjut Tuak Lii.
“Puisinya mantap,
Mas! Mas-nya pinter sekali bikinnya!” sanjung pembeli tersebut lalu membayar
dengan lembaran sepuluh ribu dan lekas pergi.
Dia pergi tanpa
kata lagi, mungkin terbungkam puisi atau terselimut rasa haru dihati. Padahal
syair tadi dikutip dari buku yang dibeli Randa, karya azhar dari buku Mata yang
Memberi. Dia kutip waktu kebelakang, bukannya kebelakang untuk buang hajat,
tapi emang sengaja kebelakang buat ngutip buku. Karena kehabisan akal buat
nulis puisi kayak gitu dan karena nggak pernah ngerasain pacaran. Jadi
wajarlah. Terus yang bikin lama, ya ngehafalnya itu!
***
Hari menjelang
sore, kartu baru terjual satu lembar, rasa putus asa menemani pikiran Randa.
Sempat terbayang pepatah tua mengatakan, apabila
kita bangun pagi maka rejeki nggak akan dipatok ayam, tapi kalau kita bagun
kesiangan sisa dipatok ayam yang kita dapat. Kira-kira sperti itulah kata
pepatah.
“Mas! Hari ini
sepertinya rada sepi, karena daganganku belum banyak terjual!” keluh Randa.
“Makanya Rand!
Besok kamu datengnya pagian dikit, atau bila perlu kamu datang sebelum matahari
terbit. Biar semua rejeki ayam bisa kamu ambil, terus kamu makan ayamnya karena
ayamnya sekarat nggak dapet makan!” Tutur Tuak Lii ngeledek.
“Ahh! Tuak Lii
pedes!”
“Cabe, kalik
pedes!”
“Terus, saya
harus gimana biar cepet terkumpul anggarannya?”
“Gini aja Rand!
Coba kamu jemput bola!”
“Maksudnya?”
“Maksud saya,
kamu datangi tempat-tempat yang menurut kamu prospeknya bagus buat daganganmu. Misalnya, kamu nongkrong didepan
gerbang sekolah atau diparkiran dan taman kampus yang tempatnya banyak orang,
mungkin mereka tertarik dengan daganganmu!”
“Bener juga,
bang! Tapi, kira-kira ada yang mau nggak ya?” Randa ragu.
“Eh, cuy! Hidup
harus optimis, jangan takut untuk mencoba. Allah SWT akan sangat senang dengan
hambanya yang mau berusaha, maka tidak ada yang tidak mungkin didunia ini.
Semua bisa saja terjadi atas kehendakNYA, tapi jangan lupa sama lima waktu yang
wajib kita lakukan, sambil berdo’a juga. Oke!”
“Oce! Terus,
untuk yang disini gimana?”
“Kamu juga harus
pinter ngatur waktu, dong! Misalnya, skedjuel senin sampai kamis kamu jemput
bola sambilan promosi tempat tangkringan kamu disini kalau kamu nangkring dari
hari jum’at sampai minggu. Nah! Sekalian, kamu bisa juga beramal!”
“Ber-amal?”
“Iyalah! Kalok
pelanggan kamu kesini, nggak mungkin-kan semuanya nggak ada yang melirik
dagangan saya!” Tuak Lii sambil nyengir.
“Oh, gicu! Ok!
Mulai besok, saya jemput bola!”
Matahari menukik
dibarat, adzan ashar udah berlalu. Mereka mulai merapikan lapak dagangan karena
udah waktunya untuk pulang. Sembari merapikan, Randa berfikir kemana arah
tujuan esok, lalu harus bagaimana besok sedangkan sekolah dan tempat tinggal
dia sangat jauh, harus dua kali naik angkot.
“Bang! Abang
punya sepeda nggak?” tanya Randa.
“Buat apa?”
“Mau saya
pinjem, untuk saya pake keliling sekolah-sekolah. Biar hemat bang! Goes
sepeda!”
“Ada! Tapi kamu
sanggup goes segitu jauhnya?”
“Harus sanggup
bang! Demi cita-cita!”
“Ya, udah! Ntar pulang bareng aja, biar kamu bisa
langsung pake sepedanya”
“Ok, boss!
Makaci”
Bersama mereka
pulang kekontrakan Tuak Lii, disana mereka disambut oleh istri dan anak-anak
Tuak Lii melompat kearah orang tua yang baru pulang kerja. Cumbu rayu antara
orang tua dan anak mengingatkan Randa pada sosok seorang Ayah kala ia kecil.
Tuak Lii
memperkenalkan Randa ke-keluarganya, keramahan keluarga kecil itu membuat Randa
merasa nyaman. Kopi dan kue khas daerah disuguhkan oleh sang istri, tanda
penghormatan terhadap tamu. Inilah kelebihan kita sebagai orang Indonesia yang
tak dimiliki negara lain.
Kalau diNegara
lain, jika kita ingin bertemu kita harus membuat janji temu dulu atau janji
kunjung terdahulu, baru kita bisa bersua. Sekalipun itu terhadap saudara dan
orang tua. Demikian yang diceritakan sodara saya yang ada di-German. Kalok saya!
Nggak tau persis karena belum pernah keluar Negeri.
***
KAYUH!
KAYUH! KAYUH! Pagi sebelum sinar matahari membakar diri, Randa asik mengayuh
sepeda menuju SMA 3 Mataram, perjalanan yang sangat jauh. Alasanya karena
sekolah tersebut sangat strategis dan berada diantara sekolah-sekolah yang
lain, juga berada dekat dengan kampus Universitas Mataram. Jadi menurut dia,
jika ingin pindah tempat bisa ngayuh dan jaraknya nggak bikin betis teriak
minta tolong.
Jam
delapan pagi, ia tiba tepat didepan pintu gerbang sekolah, menyandarkan sepeda
dipagar disamping selokan. Menggelar tikar ukuran satu kali satu meter,
setengahnya untuk jajalkan dagangan, setengahnya lagi tempat tongkrongannya
dia.
“Hey!
Ngapain kamu disitu?” Tanya Satpam.
Randa
terkejut karena mendengar suara itu dari belakangnya.
“Maaf,
pak! Saya numpang jajalkan dagangan disini sambil nunggu jam istirahat anak
sekolah” Tutur Randa pelan dan sopan.
“Tidak
bisa! Disini area steril buat pedagang”
“Sebentar
aja, pak!”
“Tidak
bisa! Cari tempat lain! Kalau tidak, saya bongkar!” Nadanya tinggi.
“Alasannya
kenapa, pak?” tanya Randa.
“Karena
disini area sekolah!” katanya sambil menunjuk tempat dagangan Randa.
“Baik,
saya pindah!” Randa kecewa.
Dia
lalu membereskan dagangannya dan pindah keseberang jalan tepat didepan gerbang
sekolah yang jaraknya kurang lebih empat meter dari tempat tadi. Tak lama
kemudian Satpam tadi datang menghampirirnya lagi.
“Saya
sudah bilang, jangan jualan disini!”
“Emang
apa yang salah dengan saya berjualan disini?” tanya Randa lagi.
“Tadi
sudah saya jelaskan, atau mau secara kasar?” Satpam tadi marah.
“Tunggudulu!
Tunggudulu!” Kata Randa sambil mengangkat kedua tangannya. “kita bicarakan
baik-baik” lanjut Randa sambil menggiring Satpam kepinggir jalan, biar nggak
ditabrak kendaraan.
“Begini,
pak! Tadi bapak melarang saya karena saya berada diarea sekolah! Saya mengerti.
Nah! Sekarang bapak melarang saya lagi dengan alasan yang sama! Tanya saya atas
dasar apa anda melarang saya berdagang disini?” tanya Randa sambil menunjuk
tempat dagangannya, meniru yang dilakukan Satpam tadi.
“Karena
sepanjang jalur ini dilarang berdagang dan juga karena aktifitas anda bisa
menyebabkan siswa keluar dari halaman sekolah untuk melihat dagangan anda dan
bisa membahayakan mereka”
“Begini,
bapak Satpam yang terhormat!” sok bijaknya Randa “Tolong tunjukan peraturan
pemerintah yang mengatakan kalau jalur ini dilarang untuk berniaga atau
sejenisnya, lalu kenapa rombong yang disana dibiarkan untuk berdagang?” tutur
Randa sambil mengarahkan telunjuknya kerombong yang berada nggak jauh darinya.
“Itu
beda!” kilahnya.
“Apanya
yang beda, pak! Dia dan saya sama-sama berdagang. Malah dia yang setiap hari
disini, sedangkan saya hanya sekali seminggu bakal kesini. Karena besok saya
bakalan kesekolah yang lain untuk hal yang sama juga” bicara Randa tenang.
“Kamu,
sok tau! Mau saya hajar?” Satpam tambah panas karena merasa digurui.
“Silahkan,
pak! Bapak tinggal pilih! Pipi kanan atau pipi kiri saya? Tapi, kita hidup
dinegara hukum, jangan harap saya akan melepaskan anda!”
“Kamu
mengancam?”
Suasana
sangat panas, tunggu lempengan berbenturan bakal gempa.
“Saya
tidak mengancam, pak! Nggak ada gunanya saya ngancam bapak, saya masih mau
sekolah! Dan juga, saya hanya menjelaskan akibat yang akan bapak lakukan
kesaya!”
Mendengar
kata Randa yang mengatakan masih ingin sekolah membuat dia bertanya-tanya.
“Kamu
sekolah dimana?” nadanya turun.
“Saya
kemarin, sekolah diSMK Muhammadiyah Mataram. Tapi sekarang sudah di-DO dan
dibekali surat pindah”
“Oh!
Pantes kamu kurangajar dan cukup pantas juga kamu dikeluarkan!”
“Jangan
berkata seperti itu, pak! Biar saya jelaskan kenapanya!”
Dia
menjelaskan kronologis hidupnya hingga sampai dia berdiri dihadapan pak satpam.
Suasana mereda karena penjelasan sedikit agak panjang. Hikmahnya, tidak semua
permasalahan itu dapat terselesaikan dengan kekerasan, tapi dengan berbicara
semua bisa diatasi. Bagi yang mengerti, kalok nggak ngerti ya! Lemboade kata orang Bima.
Kemudian
satpam itu pergi ketempat kerjanya, ke-POS istana peraduannya. Lonceng istirahat
sekolah berbunyi, siswa berhamburan keluar kelas. Ada yang ditaman bersama
teman-temannya. Ada yang asik dengan bukunya. Ada yang berduaan, kesempatan jam
istirahat. Yang banyak lagi, ada yang memenuhi kantin.
Kehidupan
sekolah seperti itu, membuat hati Randa bersedu. Kangen akan sekolah, menyesali
yang pernah terjadi. Tapi dia optimis bakal sekolah lagi.
Lalu
siswa tak satupun keluar dari halaman sekolah hingga jam istirahat selesai,
karena aturan sekolah melarang keluar halaman sekolah, kecuali dengan alasan
tertentu dan seijin satpam.
Terpaksa
Randa harus menanti waktu pulang, untuk memastikan hasil kerjanya ditempat itu.
Sembari menunggu waktu pulang sekolah, ada juga beberapa orang yang lalu lalang
mampir karena penasaran.
Sekedar
melihat-lihat, menurut dia sesuatu yang menguntungkan, karena menjadi daya
tarik bagi orang lain. Rasa penasaran orang terhadap kerumunan menjadi peluang
lebih, sekalipun belum ada satupun laku. Dia tetap optimis dan yakin bahwa
Tuhan takkan buta akan usaha hambanya.
Memang
Tuhan takkan buta, sekalipun untuk mengawalinya sangat pahit. Jam pulangpun
berdering, siswa berhamburan lari keluar sekolah, angkot-angkot parkir didepan
gerbang sekolah. Randa masih ditempatnya, duduk diatas bangku kecilnya, topi couple miring dikepala dan sebatang
rokok yang baru dibeli, nyelip diselah jari. Sesekali dihirup dan dihembuskan
asapnya.
Sebatang
rokok itulah yang menemaninya, menanti pembeli menghampiri daganganya, kemudian
beberapa siswa yang berdiri menanti angkot penasaran akan karyanya yang
terlihat tak lazim. Tak semua hanya melihat saja, ternyata ada juga seorang
siswa mencoba untuk membeli.
Tak
perlu bertanya harga, karna sudah terpampang papan harga diatas tikar.
Rp. 3000 ,SYA’IR
karangan sendiri.
Rp. 5000 ,SYA’IR
dari penjual.
“Bang!
Saya pesan satu. Tapi kata-katanya motifasi untuk belajar ya!” tanya seorang
siswa.
“Ok!”
“Tapi
harganya dikurangin dong? Jangan lima ribu tapi empat ribu. Biar seribunya buat
saya bayar angkot buat pulang!”
“Okelah!
Nggak apa-apa, buat penglaris!”
Lalu
Randa melukiskan raut wajah mirip pembeli tadi yang lagi duduk dibalik meja
dengan pena tersemat dijemari. Melihat gaya Randa, para siswa terkagum-kagum.
WUIIIIIH!!! KEREN ABIS BANG!!!! Kata para pengunjung yang melihat tarian
jari-jemari Randa bermain bersama kuas dan warna. Kemudian dia menulis kata
motifasi dengan gaya huruf Brush Script MT .
“Mbak!
Sudah selesai!” kata Randa menyodorkan kartunya.
“Makasi,
bang! Lukisannya keren, abis! Terus motifasinya membuat saya termotifasi.
Terimakasih, nih! Uangnya bang. Jangan lupa kembaliannya ya!” katanya
menyodorkan uang lima ribu sambil senyum.
“Iya,
sama-sama!” kata Randa dan membalas senyumnya.
Melihat
hasil karya Randa, membuat yang lain menjadi tertarik untuk memesan. Ada juga
yang memesan tapi nggak ada uang, terus Randa mengarahkan agar dia bisa ketemu
lagi minggu depan ditempat yang sama diwaktu jam istirahat.
Cukup
ramai tongkrongan Randa, itulah hasil dari buah kesabarannya menunggu. Setelah
suasana sepi, siswa pagi pulang dan siswa siang masuk kelas. Randa-pun pindah
kesekolah yang lain.
***
Selepas
dari SMA 3 Mataram lalu Randa mengayuh sepedanya menuju SMK 3 Mataram, dimana
sekolah ini dijuluki sama para jombolo
yang tidak bertanggung jawab sebagai serambi
bidadari. Kenapa? Karena sekolah ini lebih banyak kaum Hawa-nya dibanding
kaum Adam-nya, makanya banyak para pelajar sering nangkring diwarung-warung
depan sekolah. Buat nugguin kekasih hatinya dan ada juga jombolo yang datang buat godain bidadari yang keluar dari sekolah,
harap-harap bisa jadi gandengannya.
Ya
seperti itulah gambaran saya tentang salah satu sekolah favorit diMataram,
termasuk favorit saya sama temen-temen dulu. Ups! Jangan berfikir kalau kami
favorit karena banyak bidadarinya ya! Kalau kalian berfikir seperti itu, maka
pemikiran kalian nggak salah.
Ups!
Peace-peace pak kepala sekolah, jangan marah karena membaca cerita ini. Saya
hanya becanda.
Ok,
guys! Kita kembali kecerita.
Setelah
tiba diserambi bidadari, langsung saja. Randa menggelarkan tikar lalu
menyiapkan dagangannya tepat disamping gerbang sekolah sambil mencari tempat
yang teduh. Maklum hari sudah tinggi, jadi matahari menguasai hawanya.
Bedannya
disekolah ini, satpam nggak seperti yang tadi. Satpam disekolah ini cukup
mengerti, dan yang mereka pikir. Paling mahasiswa yang lagi jajal dagangan buat
nambahin biaya kuliah.
Suasana
sepi karena siswa masih belajar, yang ada hanya mahasiswa yang lalu-lalang.
Daerah ini sangat dekat dengan area kos-kosan, jadi wajarlah mereka sibuk
dijalur ini dan jalur ini dipenuhi dengan warung-warung murah-meriah. Pass!
Untuk kantong para siswa dan mahasiswa. Jalurnya sangat padat kendaraan, jadi
kalu nyebrang harus hati-hati.
Pukul
tiga sore lewat, adzan ashar. Waktunya sholat ashar. Randa sholat dimushola didalam
sekolah, sholat berjamaah bersama para guru dan murid. Selepas sholat dia
keluar dan menemukan dagangannya lagi dikerumuni siswa, tapi dia malah
melewatinya. Berjalan lurus kearah warung didepanya.
Lapaknya
dicuekin, para siswa mencari-cari pemilik lapak karena ada salah seorang siswa
yang pernah membeli kartu waktu dipasar. Jadi dia kenal bentuk kartu yang
mereka lihat. Sedangkan pemiliknya lagi asik makan didepan warung. Soalnya
daritadi belum makan siang.
Melihat
dagangannya dikerumunin orang, takut ditinggal pergi ia segera menyelesaikan
makannya. Selesai makan kemudian kembali ketempat.
“Permisi
mbak! Saya mau duduk. Ada yang bisa saya bantu?” Kata Randa.
“Eh,
Mas! Darimana aja? Kita cariin dari tadi!” Kata salah seorang siswa.
“Maaf,
Mbak! Tadi saya makan siang sehabis sholat ashar. Ada yang bisa saya bantu”
Tutur Randa ramah.
“Iya,
Mas! Ini, kita pengen pesan kartu. Bisa jadi sekarang nggak?”
“Bisa!
Berapa banyak dan siapa saja?”
“Saya”
“Saya” “Saya” Kata para-siswa berebut.
“Upss!!
Tenang! Tenang! Biar satu-persatu! mau yang tiga
ribu atau yang lima ribu?” tanya
Randa.
“Saya
yang tiga ribu, ini syair saya” kata salah satu siswa.
“Saya
yang lima ribu, ini judulnya” kata yang lain.
“Saya
juga sama yang lima ribu. Nih! judulnya” kata yang lain lagi.
“Kalok
saya yang tiga ribu aja, deh! Tapi ntar, saya nulis dulu syairnya” kata yang
satunya.
“Saya
sya’irnya yang terbaik, deh! Tapi gratis, nih judulnya” kata salah seorang
siswa sambil menyodorkan selembar nota tentang judul sya’irnya.
Randa
tersenyum mendengar kata itu, lalu dia mendongak kearah sumber suara. Yang dia
dapat senyum manis seorang gadis yang dikenal.
“Hey!
Dewi!” tutur Randa terkejut sembari mengambil nota yang disodorkan.
Begitu
banyak pesanan namun bell masuk sekolah berbunyi. Siswa lekas ingin pergi.
“Mas!
Tunggu kita sepulang sekolah, ya?” kata salah seorang siswa.
“Pulang
sekolah nanti harus selesai, yaaa?”
“Ok,
tapi jaminannya?” kata Randa.
Lalu
para siswa membayar kartunya sebagai jaminan.
“Punyaku
juga harus selesai, loh! Rand! Baca baik-baik notanya” kata Dewi.
“Ok,
Wik!” balas Randa.
Para
siswa lekas beranjak pergi ke-kelas masing-masing, sedangkan Randa tersenyum
setelah membaca nota pemberian Dewi. Satu-persatu kartu diselesaikan untung
saja persediaan kartu yang dibawa cukup banyak. Jadi dia tidak terlalu
khawatir. Sya’ir-sya’ir yang dipesan cukup rumit, untung juga dia punya stok
buku sya’ir yang selain di-otaknya.
Sya’ir
yang ada didalam buku, lumayan membantunya dalam bekerja jadi dia tidak perlu
terlalu khawatir.
“Alhamdulillah,
hamba bersyukur atas nikmat dan rizki yang engkau berikan Ya Allah SWT” kata
Randa dalam hati sembari mengerjakan tugas dari parasiswa.
Kemudian
datanglah seorang mahasiswa, ia lalu duduk disamping Randa yang lagi asik
dengan gawe-nya. Memperhatikan kegiatan
Randa, melihat satu demi satu hasil karya Randa. Membuat dia tertarik,
terkagum-kagum.
“Mas!
Asli mana?” Tanyaknya.
“Kenapa,
Mas?” Tanya balik Randa.
“Pengen
tau aja, Mas!”
“Kalau
ditanya asli? Saya asli Indonesia!” kata Randa sambil kerja.
“Yang
lebih spesifik dong, Mas?”
“Saya
nggak ngerti bahasa ilmiah, kalau bahasa Indonesia saya ngerti. Maklumlah, saya
nggak sekolah!” terang Randa santai.
“Ah,
Mas! Bisa aja. Nggak mungkin Mas nggak sekolah, kalau nggak sekolah nggak
bakalan bisa baca dan tulis, dong! Mas!”
“Ya,
sekolah. Tapi nggak setinggi Mas-nya, saya hanya sampai SMP saja Mas! SMA-nya
belum. Jadi untuk bahasa seperti itu, menurut saya berat mikirnya”
“Mas,
pernah ikut Drama, ya?”
“Nggak!
Kenapa?”
“Kok,
candaannya beruntun kayak pelawak!”
“Bushet,dah!
Satu kosong!” kata Randa dalam hati “Saya serius loh, Mas!”
“Saya
juga serius, tapi seiusnya kamu kenapa?”
“Iya!
Saya serius, karna Mas mirip juri di API!”
“Api?
Panas, dong! Maksudnya?”
“Mas
itu mirip juri di Akademi Pelawak Indonesia yang suka seleksi pelawak!”
“Hahahaha,
kamu bisa adja. Satu sama dong! Sudahlah kita serius adja” katanya.
“Emang!
Kita nggak serius dari tadi?”
“Udah!
Saya nyerah deh! Gini, karya kamu tergolong unik, gimana kalau kamu nongkrong
dihalaman kampus UNRAM tepatnya di-fakultas Seni? Itupun kalok kamu ada waktu,
besok?” ajaknya.
“In
syaa Allah. Tapi pagi sampai jam sepuluh ya, Mas?” Kata Randa.
“Ok,
deh! Besok saya tunggu” lalu dia pergi.
“Ehh!
Mas! Main pergi aja” panggil Randa.
“Kenapa,
Mas?”
“Tak
kenal maka tak sayang. Gitu kata pepatah. Saya nggak mau nongkrong disana,
tanpa saya tau nama anda! Ntar saya diusir sama Satpam!”
Dia
malah ngakak. “Nama saya SUDIRMAN tapi panggil saja dengan nama ASNI!”
Randa
bengong, diatas kepalanya berputar tanda tanya yang banyak.
“Hey,
jangan bengong. ASNI itu nama panggilan saya, singkatan dari Anak SeNI. Anak
kampus, kenal saya dengan nama itu!” lanjutnya menjelaskan.
“Oh,
gitu! Saya pikir, Mas rada-rada cucok!” kata Randa sambil nyengir.
Dia
membalas dengan senyum juga “Banyak yang bilang gitu, tapi itu ciri has saya,
jadi gampang di-ingat! Kalau kamu?”
“Panggil
saja saya RANDA!”
“Apa
itu singkatan?”
“Kalok
singkatan, artinya RemajA iNDonesiA.
Nama asli saya TONGGERANDA. Jadi panggil saja Randa. Ok?”
“Sipp!!!!”
sambil menunjukan jempolnya, lalu pergi.
Tak
terasa lama berbincang dengan Asni, ternyata bell sekolah berbunyi. Menandakan
waktu belajar hari itu selesai. Haripun sudah sangat sore, jingga mulai
terlihat dilangit sebelah barat.
Siswapun
berhamburan keluar, seperti sudah terhipnotis. Angkot parkir berjejer didepan
gerbang sekolah. Tak ingin kalah saing, ojek-pun melintang parkir dibahu kiri
jalan. Tapi Randa tak tersaingi, dikerumuni para-siswa yang sibuk menagih
miliknya dari Randa.
Ucapan terima kasih menghujani, ada pula yang protes
karena tidak sesuai dengan keinginan. Namun tak sebanding dengan kata
terimakasih.
“Sabar
Rand! Itu hal yang wajar” kata Dewi sambil menepu-nepuk pelan bahu Randa.
“Yang
membuat saya sedih, bukan karena letih yang saya rasa dan bukan karena upah yang
kukembalikan. Tapi saya sedih, karena saya tak bisa membuat dia senang oleh
karya saya” keluh Randa.
“Nggak
semua orang bisa kita bikin bahagia! Karena kebahagian itu bukan sekedar dari
keinginan saja, tapi dari bagaimana kita bisa mengerti orang lain dan
dimengerti oleh orang lain” kata Dewi.
“Makin
puitis aja kamu, Wik!” kata Randa.
“Emmm!!
Mulaideh! Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Punyaku mana?”
“Iya,
lupa!” Randa sambil senyum.
“Haaaa!!!!
Lupa?” kening Dewi mengkerut.
“Maksudnya,
lupa saya kasih!”
Dewi
mencubit lengan Randa.
“Emang,
mau dikasih apa?” tanya Randa.
“Kasih
punyaku, lah! Mana! Sini pesananku?” pinta Dewik sembari menadahkan tangan.
“Saya
kira kamu minta dikasih-sayang!”
KEDEBUUUKKK!!!
Suara bahu Randa karena mendarat telapak tangan Dewi yang dibarengi dengan kata
GOMBAALLL!!! Keluar dari bibir manisnya.
Randa-pun
memberikan yang diminta Dewi. Diapun tersenyum setelah membaca kata-kata yang
ada dalam kartu.
“Nggak
usah senyum dan jangan dibaca berkali-kali” kata Randa.
“Masalah!
Buat, loh!”
“Ya,
iyalah masalah! Masalahnya ntar orang bertanya-tanya ngeliat saya berdiri sama
orang yang senyum-senyum sendiri, lalu kalo kamu baca terus. Ntar kam...
Aaoooo” belum selesai Randa melanjutkan kata-kata, dia udah menjerit kesakitan
karena perutnya dicubit Dewi.
“Nggak
usah diterusin. Pasti kamu mau bilang, entar kamu kangenkan. Ayo!”
“Saya
nggak ngomong gitu loh, Wik! Tapi hatimu udah mengatakannya”
Cubitan
bertubi-tubi bersarang ketubuh Randa. Entah karena malu atau salah tingkah
Dewi, sehingga dia melakukannya.
“Udahlah,
Wik! Malu dilihat orang!”
“Biarin!!”
kata Dewik lalu menghentikannya. “Rand! Besok ada wanktu nggak? Temeni saya
ke-MP. Mataram Plaza maksudnya! Tapi sepulang sekolah ya?”
“Ok!
Tapi gratisan, loh!” kata Randa
“Iya!
Dasar matre! Besok kamu masih mangkal disini?” tanya Dewi.
“Nggak!
Saya ditempat lain. Pokoknya besok saya tunggu disini sepulang sekolah, tenang
aja! Tapi kamu sekolah pagi apa siang sih?”
“Keppo!”
kata Dewi sambil menjulurkan lidah.
Dewi
lalu pergi, karena udah dijemput Deni. Sang pacar! Randa kemudian berbenah
untuk segera pulang. Adzan Magrib bentar lagi berkumandang, dia mikir mau
pulang tapi jauhnya minta ampun. Tapi untung, disamping sekolah tadi ada PUL
Bus PO. JAKARTA INDAH milik kakak dari Mama Randa. Jadinya dia nginap semalam
disana.
Membersihkan
diri, kemudian menghitung hasil hari itu dan menggabungkan dengan hasil-hasil
yang lalu.
“Allhamdulillah,
hampir satu juta. Berarti kalok minggu ini kerja keras, minggu depan saya bisa
mendaftar kesekolah baru. Ternyata emang bener kata Tuak Lii kalok kita berani
jemput bola, in syaa Allah pintu rizki lebih terbuka” Randa berbicara sendiri
setelah menghitung uangnya yang telah terkumpul.
Case
7. JANJI TEMU!
Kicau burung
bersahutan diantara pepohonan yang rindang! Saking
rindangnya matahari tak sanggup untuk mengintip. Sejuk dan tenang suasana pagi
didepan fakultas seni UNRAM! Randa duduk bersila, bertemankan kopi hangat yang
baru dibeli depan gerbang kampus, sambil membaca buku puisi yang belum kelar dibaca hingga halaman akhir.
Diatas
rerumputan hijau yang masih basah oleh embun! Kampus belum begitu ramai karena
dia datang terlalu pagi, datang untuk bertemu ASNI si-anak seni, dan sekalian
nongkrong buat jajalkan dagangannya. Berharap! Mungkin ada yang tertarik dengan
karyanya.
Kampus mulai
terlihat hidup setelah beberapa mahasiswa datang duduk dibangku-bangku taman.
Bercanda bersama teman, berbagi cerita, bertukar pikiran.
“Hay, Rand!”
sapa Asni si-anak seni.
Randa hanya
senyum.
“Dari tadi?”
tanyanya.
“Lumayan, lah!”
“Planing hari
ini apa?”
“Hari ini
terlalu banyak planing, As! Termasuk memenuhi undanganmu. Tapi! Dalam rangka
apa saya di-undang kemari?” tanya Randa.
“Oh, iya! Saya
ngajak kamu kemari karena kami mau rapat untuk pementasan!”
“Lalu
hubungannya dengan saya, apa?”
“Ya, karena kami
akan mengajak kamu untuk bergabung!” katanya.
“Aduh! Saya ini
pelajar yang terancam putus sekolah, jadi tak pantas untuk ikut bergabung dan
juga saya harus memenuhi target saya minggu ini!”
“Target!
Maksudnya?”
“Ya! Saya harus
bekerja, agar saya dapat melanjutkan sekolah. Tapi saya sangat senang karena
kamu mau ngajak saya! Sebelumnya bolehkah saya tau? Pementasan apa yang sedang
kalian kerjakan?”
“Kami sedang
menggagas sebuah pementasan seni teater, yang didalamnya ada satu peran yang
cocok buat kamu”
Randa senyum.
“Apakah harus saya? Sedangkan saya belum pernah bermain teater!”
“Saya tertarik
dengan karya kamu yang suka bermain dengan sya’ir, jadi saya berharap kamu bisa
membantu saya!”
“Salah jika kamu
meminta bantuan pada saya yang hanya anak kemaren sore!”
“Jangan merendah
seperti itu, Rand! Saya tau kalau kamu punya bakat yang terpendam!”
Randa ngakak!
“Kamu terlalu berani berspekulasi! Saya hanya penjual kartu jalanan yang
membuat sya’ir tak seratus persen hasil karya sendiri. Jadi saya mengatakan
kalau kamu salah orang!”
“Udahlah!
Pokoknya kamu ikut rapat aja, biar tau dan siapa tau kamu tertarik. Karena saya
nggak bisa terlalu memaksa”
“Planing saya
bertemu denganmu hanya sampai jam sepuluh, karena selepas itu saya harus
jualan!” kata Randa sambil menyeruput kopi!
“Ok, makasih!
Nih dicoba! Tapi linting sendiri” Asni menyodorkan tembakau asli lombok beserta
kertas rokoknya.
Lama berbincang!
Satu persatu teman Asni datang dan diperkenalkan ke-Randa! Kemudian rapat
mereka mulai. Skeduel kerja mereka begitu padat karena waktu pementasan nggak
akan lama lagi.
Randa juga
sedikit terbawa arus pembicaraan, namun ada yang mengganjal dipikiran dia.
Tentang naskah pementasan, menurutnya ada yang kurang.
“Gimana menurut
kamu, Rand?” tanya Asni.
“Bagus! Boleh
saya rtanya, As?”
Asni
mempersilahkan dia untuk berbicara.
“Begini
temen-temen! Sebenernya nggak pantas saya untuk berbicara, tapi mendengar
naskah kalian! Seperti sebuah sindiran!
Yang menjadi pertanyaan saya! Tujuan dari pementasan ini apa? Lalu target
perhatiannya siapa dan untuk apa?”
“Gimana! Ada
yang ingin menerangkan?” Lempar Asni ke-forum.
Forum
mengembalikannya ke-Asni karena dia penggagas acara.
“Baiklah! Begini
Rand! Tujuan pementasan ini yang pertama adalah eksistensi dari komunitas kami,
agar bisa lebih dikenal. Kedua! Target kami adalah tokoh masyarakat, dimana
kami memperkenalkan seni teater kepada mereka. Lalu yang terakhir! Kami menyindir kinerja pemerintah yang kurang
peduli terhadap masyarakat, dalam bentuk program-programnya, yang tak pernah
melihat langsung keadaan dilapangan. Begitu Rand!”
Randa jadi
bingung, terjebak oleh pertanyaannya sendiri.
“Kalok menurut
saya! Naskah yang kalian bawa sangat bagus, tapi dengan naskah seperti itu
kalian mengkritik pemerintah terlalu berlebihan, itu yang pertama! Kedua!
Dengan naskah ini kalian memperlihatkan bahwa komunitas kalian adalah komunitas
yang anti pemerintah! Kenapa? Karena kalian memperlihatkan sisi buruk pemerintah
saja. Jadi pandangan orang dan juga pemerintah bakal negatif terhadap kalian.
Alhasil! Mungkin untuk pementasan pertama dianggap bagus. Kedua! masih dianggap
sama. Ketiga! orang akan bosan” terang Randa dengan serius.
“Seperti itulah pandangan orang. Itu menurut
saya! Anggap saja saya salah satu dari orang yang ada dibawah panggung
pementasan kalian” lanjut Randa menggurui sembari melinting tembakau.
“Lalu, menurut
kamu harus gimana?” tanya salah seorang anggota forum.
“Apa naskah ini
harus diganti? Sedangkan pementasan sebentar lagi!” tanya Asni.
“Nggak harus
diganti, tapi cukup dipoles dikit aja!”
“Contohnya?”
lanjut Asni.
“Contohnya!
Dalam naskah Sang Raja Nusa Tenggara
ini, kalian tampilkan sang raja hanya sekali dua kali saja. Misal! Sesi
pertama! Sang raja tampil sebagai pahlawan yang penuh dengan janji-janjinya!
Kemudian tampilkan dia disesi yang lain sebagai raja pecundang, diselimuti
alibi-alibi nggak jelas! Lalu disesi pamungkas sang raja! Jadikan dia raja yang
nggak ada artinya bagi rakyat. Itu sudah cukup menampar! Untuk yang lain
perbanyak cerita realis yang menghibur. Seperti candaan rakyat yang menggelitik
perut penonton. Karena penonton butuh hiburan bukan keseriusan, kalok penonton
ingin serius! Mereka bakal nonton berita, buat apa nonton teater kalok harus
serius seperti nonton berita”
Mereka semua
terdiam. Padahal Randa nggak pernah nonton bahkan maen teater.
“Ok, cui! Saya
tinggal, karena waktunya saya keparkiran kampus! Mau menjajalkan dagangan”
pamit Randa karena ngelihat suasana udah beda.
“Buru-buru,
Rand!” kata Asni.
“Ngerti ajalah,
As! Lain kali kita bersua lagi”
Setelah berjabat
tangan ala anak kuliahan, dia pun segera menuju parkiran kampus yang nggak jauh
dari tempat mereka nongkrong tadi. Menggelar tikar dan menyiapkan alat-alat
kerjanya, nggak lupa sepeda ikutan diparkir bersama motor-motor yang ada.
***
Tak lama
nangkring, lagi-lagi satpam mendatanginya. Sama seperti waktu disekolah
kemarin. Tapi alasan Randa diterima dengan baik, karena bawa-bawa nama Asni
dari fakultas seni.
Asni adalah tipe
anak yang ambisius dalam menggapai tujuan dan keinginannya. Postur tubuh cukup
tinggi diatas Randa, tepatnya dengan tinggi kurang lebih seratus delapan puluh,
rambut gondrong sedikit ikal seperti halnya anak kuliahan, raut asli Indonesia.
Terlihat dari
tempat duduk Randa, forum mereka berhenti dan bubar, lalu Asni berjalan kearah
Randa yang lagi asik sama mainannya. Begitu pula dengan anggota komunitas Asni
yang penasaran dengan aktifitas Randa, sirambut cepak yang disisir miring
kekiri. Model rambut yang jarang ada dijaman itu. Ciri khas Randa yang suka
berpenampilan berbeda dari yang lain.
“Udah bubar
rapatnya?” tanya Randa pada Asni yang langsung duduk disampingnya..
“Udah! Sekarang
saya bantuin kamu” kata Asni.
“Tank’s, brooo!”
Beberapa orang
menganggap mainan Randa cukup aneh, ada yang cuek dan lebih banyak numpang
lewat. Tapi nggak semua dari mereka lalulalang doang, ada juga yang sempatkan
waktu buat jongkok dan berdiri ngeliatin Randa sedang asik bermain dengan kuas.
“Rand! Kamu bisa
bikin sya’ir satu tentang sajak kasih sayang?” Tanya Asni.
“Untuk siapa?”
Tanya balik Randa.
“Untuk-ku!”
“Jangan becanda,
As! Kamu anak seni, malah minta sajak dari saya! Kamu mau permainkan saya?”
“Tidak, Rand!
Nggak ada niat saya seperti itu. Malah saya akan jadikan sajak itu sebagai
motifasi saya untuk pementasan yang akan datang”
“Haruskah sajak
itu saya buat?”
“Harus, dong!”
“Baiklah. Tapi, wani piro?” ucap Randa sembari
menadahkan tangan.
“Kampret! Sama
temen aja, prekengan!” Prekengan itu bahasa Sasak yang artinya
itung-itungan.
“Iyalah! Soalnya
lagi butuh”
“Emang sehari
kamu bisa dapet berapa?”
“Emm!!” sambil
mikir “Kira-kira, seratus sampai dua ratus ribu, itupun belum dipotong dengan
ini-itu!” terang Randa.
“Bushet!! Lumayan,
tuh!”
“Emang kenapa?
Sampe nanya masalah pendapatan. Kamu mau jadi pegawai DISPENMA, dinas
pendapatan mahasiswa?” kata Randa.
Asni nyengir
“Kamu bisa aja! Maksud saya, saya akan membayar kamu hari ini sesuai pendapatan
kamu, gimana?”
Tangan dan
pikiran Randa terhenti sejenak.
“Kereen! Lagi
banyak duit, nih? Atau banyak hasil nyawer?” tanya Randa.
Mereka berdua
cekikikan.
“Tapi ada
saratnya, Rand!”
“Apa, tuh?”
“Sehari ini,
kamu harus bareng dengan saya. Maksudnya kita bertukar pikiran dalam segala
hal. Terus, kamu harus mau ikut dalam pementasan yang akan kami gelar nanti!
Gimana, Rand?”
“Sebelum saya
meng-iyakan, saya juga punya persaratan dan pertanyaan, As! Pertanyaan saya.
Jika saya ikut dalam pementasaan, saya akan dapat peran apa? Terus, Sarat saya,
pembayaran harus dimuka. Alias cash! Biar saya tutup nih, lapak!”
“Dasar matre!”
kata Asni.
“Kebutuhan, As!”
kata Randa sambil nyengir.
Asni merogok
kantong dan mengeluarkan isi dompetnya lalu menyimpan lembaran lima puluh ribu
sebanyak dua lembar, tepat diatas dagangan Randa.
“Nihhh!!!!!”
Raut Asni sepet.
“Ok, cui!
Makasi”
Kemudian Randa
membereskan dagangannya.
“Mas! Kok
ditutup?” Tanya salah seorang mahasiswa yang dari tadi Cuma nongkrong dan
liat-liat doang!
“Seeeorry! Lapak
tutup karna undah diborong!” kata Randa kesel karena ditontonin doang.
Setelah barang
dikemas rapi dalam tas! Kemudian digantung dibelakang tempat gandengan sepeda.
Mereka siap-siap pergi tapi nggak lupa pamitan sama penggemarnya.
“Ok guys! Mai
fans, see you tumoroks! Artinya sampai jumpa lain-lain kali, lah!” kata Randa.
Mendengar
kata-kata Randa, orang-orang langsung diam terus dikepala mereka muncul tanda
tanya yang berkedap-kedip. Karena mereka bingung sama bahasa inggris Randa,
lain kata lain cerita.
Randa-pun pergi
bersama Asni sambil menyeret sepedanya. Berjalan menyusuri hutan pinus yang ada
dihalaman kampus, menuju asrama kampus yang jaraknya lumayan jauh dan bikin
betis kayak nge-Gimes! Tempat orang fitnes
maksudnya.
Setiba digedung
asrama kampus, dibelakangnya berdiri sebuah banguan yang sudah ter-blok-blok.
Tempat aktifitas para-mahasiswa, lebih jelasnya tempat organisasi mahasiswa.
Ruang ormahas bagian seni berada dipaling pojok kiri lantai dua, berdampingan
dengan ormahas pecinta alam sedangkan untuk ruangan senat mahasiswa dan dewan
perwakilan mahasiswa berada dipojok kanan lantai dasar.
Randa
memarkirkan sepedanya dan beranjak naik keruangan kerja Asni di-ormahas seni.
Setiba dipintu ruangan, dia sempat berhenti! Karena melihat seorang mahasiswa
yang lagi geal-geol dengan tangan terbuka menyandar diatas kening terus telapak
kiri tepat dibelakang pantat. Persis seperti kabayan yang lagi manggil
Om-Jin-nya.
Lalu dipojok
terdapat seorang mahasiswa lagi menghadap sudut dinding sedang berbincang pada
se-ekor laba-laba yang asik merajut sarang. “wahai
serangga kecil, sungguh indah karyamu, anugrah sang pencipta...” sepertinya
dia lagi dapet tugas dari Dosen seni untuk membuat sebuah puisi tentang
serangga. Randa geleng-geleng kepala ngeliatnya.
Yang paling
bikin Randa bengong! Ketika melihat seorang gadis yang lagi berhadapan dengan
cermin. Seorang gadis itu menatap dirinya, terus ketawa terbahak-bahak, lalu
menangis, kemudian terdiam, ketawa lagi, nangis lagi, terdiam lagi, begitu
terus berkali-kali.
“Wahh, bahaya!
Bisa ikut kesambet nih!” kata Randa diam.
“Ayuk, Rand!
Masuk” ajak Asni.
“Di luar aja,
deh!” jawabnya.
“Kenapa?”
“Nggak! Saya
takut mengganggu konsentrasi mereka” kata Randa. Padahal dia risih, karena
mereka ngalah-ngalahin orang gila.
Ruangan senat
siswa sengaja berada bertolak belakang dengan ruangan ormahas seni. Karena
tingkah dan kegiatannya seperti itu bisa mengganggu aktifitas senat siswa yang
agak serius dan juga bisa dibilang sangat cius!
“Terus kita
duduk dimana, Rand?”
“Dibawah, aja!
Disamping pepohonan yang berada dekat asrama!” ajak Randa.
“Ok!!”
Merekapun lekas
pindah tempat, sesuai dengan keinginan Randa.
“Anggota yang
lain kemana, As?” Tanya Randa.
“Yang lain masih
dikampus dan sisanya lagi berada diatas ruangan tadi, Rand!”
“Ok, deh!
Sekarang kita fokus kepembahasan yang mau kita bahas”
Mereka memulai
pembahasan, saling bertukar cerita, berbagi pengtahuan tentang teater. Tentang
sejarah awal teater yang berdasar dari awal kata TEATRON. Pembahasan jadi
semakin serius menuju ke-pembahasan naskah dan seterusnya sampai Randa membuat
sebuah sya’ir yang diminta oleh Asni.
Oh ya! Saya lupa
kenapa Randa bisa mengerti tentang teater. Dulu diwaktu SMP dia pernah membaca
sebuah buku cetak yang berada diperpustakaan sekolah dengan judul ASAL MULA TEATER. Buku itu dia pinjam
dan nggak pernah dia kembalikan sampai saat mereka duduk sekarang. Seperti
itulah sejarahnya.
Cukup lama waktu
mereka berbincang dengan berbagai hal yang dibahas. Randa clingak-clinguk
keatas langit.
“Ngapain kamu,
Rand?” Tanya Asni.
“Saya lagi nyari
keberadaan matahari, saya takut dia kabur, soalnya dia tersembunyi oleh awan
dan kayaknya mendung” jawab Randa.
“Sialan! Kirain
apa! Baru jam lima, Rand!”
“Nahh!! Itu dia
maksud saya, cuma pengen tau waktu aja!” katanya cius! “Kalok gitu, saya pamit
dulu yah?” lanjut Randa.
“Loh! Kok cepet?
Tadikan saya udah kontrak kamu untuk sehari ini!”
“Kamu kan
kontrak saya sehari ini, bukanya seharian!”
“Apa bedanya,
Rand?”
“Ya jelas beda,
dong! Sehari, seharian dan hari ini. Dari kata aja beda, apalagi artinya!” ucap
randa membingungkan Asni.
“Terus bedanya
apa?”
“Bedanya, kalok sehari-ini itu dari pagi sampai sore,
terus seharian itu dari pagi sampai
sore terus malem. Nah! Kalok hari-ini
artinya dua puluh empat jam penuh!
Sedangkan kamu kontrak saya cuma sehari ini!” kata Randa lalu meraih sepedanya
yang sedang terparkir.
Penjelasan Randa
bikin Asni tambah bingung.
“Kamu mau
kemana?” tanya Asni lagi.
“Saya ada janji
temu yang lain. See youk tumoroks, yah!”
“Artinya, Rand?”
“Allllah!!”
sambil mengibaskan tangannya “Sampai jumpa lain-lain kali waktu, lah!” kata
Randa mengartikan bahasa inggrisnya kemudian pergi.
Sedangkan Asni
dipenuhi dengan tanda tanya dan tanda seru yang mengitari kepalanya, kayak
tokoh film kartun yang lagi pusing.
***
Janji
temu yang dimaksud Randa adalah janji bertemu dengan Dewi, karena dia mau
nemenin Dewi pergi belanja diMataram Plasa. Sebelum menuju sekolah Dewi, Randa
sempatkan diri singgah diPUL bus Jakarta Indah.
Ehh,
ternyata disana ada sepupu-nya lagi duduk dikursi tunggu depan kantor yang baru
tiba dari Bima. Sepupunya terkejut melihat Randa yang datang sambil mengayuh
sepeda.
“Ahyar!
Kapan datang?” tanya Randa.
“Kamu
darimana?” tanya balik Ahyar.
“Ada,
deh! Saya numpang mandi, bentar!” tutur Randa sambil menyandarkan sepedanya.
Randa
segera kebelakang untuk mandi karena setengah jam lagi Dewi pulang sekolah.
Setelah mandi dia masih mengenakan pakaiannya yang tadi.
“An!
Mana tas kamu?” tanya Randa sama Ahyar yang sering disapa AN!
“Kenapa?”
“Iya,
mana?”
“Tuhh!!”
kata Ahyar menunjukan tas rangselnya yang nangkring diatas kursi.
Randa-pun
menggapai tas itu, dibongkar mencari-cari sesuatu.
“Ehhh!!
Ngapain kamu bongkar tas saya?” tanya Ahyar kaget ngeliat isi tas udah
berhamburan keluar.
“Nahh!!
Ini dia!” kata Randa setelah menemukan barang yang dicari.
CHUUSS!!
CHUUSSS!! Suara parfum yang disemprotkan
keseluruh kujur badannya.
“Ok,
tanks brooo!!” sambil menyimpan botol parfum diatas meja dan beranjak keluar.
“Eeeeeeehh!
Mau kemana?” tanya Ahyar sambil menarik baju Randa yang lewat didepannya.
“Mau
pergi, ada janji!”
“Pergi
sih pergi! Janji tinggal janji! Tapi jangan barang saya diberantakin kayak
gitu, dong!” tutur Ahyar kesel.
“Upss!!
Lupa!” telapak tangan Randa nempel dijidad dan kembali kedalam.
“Huhhhh!!”
sambil duduk, kaki Ahyar terbang hampir nyerempet pantat Randa yang berjalan
masuk untuk merapikan kembali isi tas Ahyar.
Seperti
itulah salah satu candaan Randa bersama sepupunya.
“Ok,
cui! Udah beres, sekarang ana cabut! Sekalian titip sepeda ya, An!”
***
Setiba
dipintu gerbang sekolah Dewi! Ternyata masih sepi karena belum ada yang pulang.
Tapi nggak lama dia nunggu, akhirnya bell sekolah-pun berbunyi dan rasa penat
yang sedikit lagi menghampiri Randa telah pergi. Rasa penat karena menunggu.
Murid
sekolah berhamburan keluar dari ruang-ruang yang dianggap menyiksa dan menguras
pikiran mereka untuk belajar-belajar dan belajar. Padahal belajar bisa membuat
kita mengenal dunia, bisa tau tentang apa yang kita tidak ketahui, bisa
mengerti akan apa yang tak dimengerti. Bisa menjangkau hingga langit ketujuh.
Itulah
salah satu manfaat dari belajar. Belajar juga bisa bikin kita melihat sisi
dunia yang tak terlihat dan bahkan sisi dunia lain, uka-uka.
Kembali
kecerita. Setelah murid berhamburan keluar yang diiringi dengan suara gemuruh
sepeda motor para siswa. Dari jauh terlihat senyum yang terpancar dari Dewi
karena melihat Randa sedang menantinya.
“Dari
tadi, Rand?” tanya Dewi.
“Nggak juga!”
“Sepedahmu mana?”
“Saya titip ditempat temen!”
“Ya udah, lok gitu kita jalan ketempat jalur angkot”
sore-sore jalan sama temen emang asik, apalagi kalok temennya cewek,
tapi kita juga jangan sampek lupa diri.
“Bay the way, Wik! Deni kok nggak diajak?” Tanya Randa.
“Deni? Dia lagi sibuk dan juga dia nggak pernah mau nemenin saya untuk
pergi-pergi.”
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Rand! Jalannya agak kepinggir dikit, ntar keserempet
motor, loh!”
Randa nurut.
“Sepertinya ada toko berjalan,
Rand!”
“Mana? Toko apa? Kok nggak ada?” Randa sambil nyarik.
Sedangkan Dewi mengendus-enduskan hidungnya. Kayak kucing nyium bauk
ikan.
“Iya, Rand! Ada toko berjalan”
“Toko apa?” Randa melihat Dewi sedang mengenduskan hidungnya.
“Ada toko
parfum lewat, Rand!”
“Emmmm!!!” kata Randa setelah sadar kalok Dewi sedang mengendus karena
aroma wangi ditubuhnya.
“Kamu wangi sekali, pake parfum berapa botol?” sindir Dewi sambil
senyum.
Randa membalas dengan senyum “Sengaja, Wik! Biar nggak malu-malu-in.
masak saya jalan sama bidadari kayak kamu beraroma sepet!
Kan, nggak banget!” tutur Randa.
“Kamu bisa, aja! Emang saya bidadari?”
“Menurut saya, kamu adalah bidadari dihatiku” Randa sambil nebar
pesona.
“Emmm!! Mulai deh! Gombalnya” tapi
Dewi tersipu malu.
Mereka menyebrangi jalan, menunggu angkot yang mengarah kearah tujuan
yang mereka maksud. Angkot-pun tak kunjung datang, giliran datang. Eh! ternyata
udah penuh. Berkali-kali angkot lewat dengan kondisi yang sama, penuh!
Sedangkan waktu sudah semakin gelap.
“Nah! Ini dia, Wik!” kata Randa melihat angkot datang, dia lalu melambai-lambaikan tangannya berharap dapet tempat.
Angkotpun berhenti dan mereka naik. Didalam angkot penuh sesak, duduk
berhimpitan, dipenuhi oleh pelajar-pelajar yang baru pulang sekolah. Tubuh
Randa dan Dewi menciut karena berdesakan.
“Ada sebuah cerita, Wik!” kata Randa bersuara pelan.
“Cerita apa?” Tanya Dewi yang ikut bersuara pelan hampir mendekati
bahasa isarat.
“Cerita tentang orang yang tak pernah beruntung!”
“Gimana
ceritanya?” Dewi penasaran.
“Dia selalu mengeluh karena nggak pernah beruntung.
Tapi, suatu ketika dia menaiki sebuah kendaraan yang kondisinya nggak jauh beda
dengan saat ini” Dewi mendengarkan dengan serius “Ternyata, dia sangat lebih
dari beruntung, katanya dalam hati”
“Kok, bisa?” Tanya Dewi.
“Iya!
Yang bikin dia sangat beruntung adalah ketika dia
berhimpitan dengan seorang gadis yang sangat cantik seperti putri raja. Lalu
dia berkata dalam hatinya, ya tuhan inikah salah satu kebahabagiaan yang akan
kau berikan padaku”
Dewi bingung.
“Maksud saya, keadaan orang itu hampir sama dengan saya, terhimpit oleh
gadis secantik kamu, membuat saya merasa sangat bahagia” lanjut Randa.
Dewi mencubit Randa sambil berkata dengan suara berbisik “Gombal! Gombal! Gombal!”
Akhirnya mereka
tiba juga ditempat tujuan.
“Kok cemberut,
Rand! Nyesel yaa nemenin saya?” tanya Dewi ngeliat wajah Randa agak kusut.
“Iya!”
“Kok, gitu?”
Dewi ikutan cemberut.
“Yang bikin saya
nyesel, karena kita keburu turun dari angkot. Soalnya lagi asik tadi!”
Cubitan Dewi
nempel lagi dibadan Randa. Lalu diraihnya tangan Randa kemudian diseret untuk
nyeberang jalan dan lekas naik kelantai dua MP.
Disana, Randa
menemani Dewi berbelanja kebutuhannya. Yang dibelanjain nggak seberapa, tapi
yang dikelilingi malah hampir satu MP. Randa jadi bingung.
“Wik! Nyari apa
lagi? Perasaan dari tadi kita keliling MP berkali-kali, malah yang dicari nggak
dapet juga. Emang nyari apa?” tanya Randa.
Emang ya, kalok
cewek udah belanja. Minta ampun! Yang dibeli Cuma secuil, tapi nyariknya yang
naudzubillah!
“Saya, nyari
rantai sama gembok. Nggak ketemu juga!” Dewi kesel.
“Mungkin, nggak
ada kalik!”
“Padahal saya
butuh, Rand!”
“Sabar, dah!
Lain tempat mungkin ada”
“Kok, kamu nggak
nanya saya buat apa?”
“Ngarep, yah?
Biar saya kena gombalnya kamu, karena dari tadi kamu kegombal terus. Paling
kamu mau bilang, kalok rantai dan gembok itu buat ngikat hati saya!” kata Randa
sambil cekikikan.
Randa kena cubit
lagi. Terus mereka berdua pada cekikikan.
Hari sudah
malam, sedangkan diluar hujan deras. Mereka duduk ditangga depan MP sambil
ngemil burger.
“Wik! Suasana
hujan gini mengingatkan saya pada sebuah sajak, karya azhar dalam bukunya mata yang
memberi cetakan pertama. Dengan judul sajak
memandang hujan”
“Bunyi sajaknya
gimana, Rand?”
“Sajaknya
seperti ini. SAJAK MEMANDANG HUJAN. karya
Azhar. Dalam pelukan sejuk anginMu, aku
mengail jejak usia, berapa jauh kebajikan tersemai dalam waktu, lalu meruah doa
bagi kelam ketemu. Sebuah cermin tersangkut di kailku, cermin kitab suci
penuntun kalbu, tiba-tiba aku memandang hujanMu, karena dinginnya menjadikan
benciku pada jalan, panas ruh yang menjanjikan kepedihan. Ah, mengental juga
cinta, untuk menghanyutkan diri padaMu semata, dan pikiran kailku, terkait
kasih rindu-ku padamu, Wik!”
Tanpa sadar,
Dewi menyandarkan diri pada bahu Randa, setelah mendengar sajak yang keluar
dari nada seorang Randa. Kedua tangan Dewi memeluk erat lengan kiri Randa.
Mereka seperti sepasang kekasih padahal tiada ikatan dalam pengakuan, hanya
nada yang mengetuk hati mereka.
Hujan-pun tak
kunjung reda.
“TAXI!” teriak
Randa.
Waktu sudah
hampir larut, mereka lekas pulang. Tapi Dewi masih erat memeluk lengan Randa.
TAXI berangkat mengantarkan Dewi pulang terlebih dahulu, kemudian berlanjut
ketempat Randa.
“Berapa, Pak?”
tanya Randa pada supir Taxi setelah tiba ditempatnya.
“Udah, Mas! Udah
dibayar sama temennya tadi” jawab Pak sopir.
“Kapan?” tanya
Randa heran.
“Makanya, Mas!
Jangan keasikan pacaran. Temennya bayar aja kamu nggak tau!”
Randa
menggaruk-garukkan kepala mendengar kata pak sopir.
Case
8. PENCURI
Setelah beberapa
hari berkelana menjajalkan dagangannya. Mengikuti instruksi yang diberikan oleh
Tuak Lii. Hasil yang didapat cukup menggembirakan. Sekarang dia kembali
ketempat tangkringannya dipasar.
Menuju lapak
Tuak Lii, Randa menggeret sepeda. Karena suatu hal yang nggak mungkin jika dia
harus mengayuh sepeda sedangkan kondisi pasar dengan keadaan ramai. Berjalan
diselah orang-orang yang lalu-lalang sambil menggeret sepeda, menjadikan dia
sebagai bahan cemo-oh orang lain. Karena sepedanya menghambat jalan.
Mau bagaimana
lagi! Jika dia tidak membawa sepedanya dan menyimpan ditempat parkir, alamat
bakalan hilang! Jadi terpaksa dia harus membawanya karena sepeda bukan
miliknya.
Lagi asik
menggeret sepeda, tiba-tiba sepeda terasa tersangkut dibelakang. Seperti ada
yang mengganjal. Perasaan itu membuat dia harus menoleh kebelakang karena dia
takut sepeda bagian belakangnya tersangkut, entah itu tersangkut dengan pakaian
orang atau tersangkut yang lain.
Ehh! Ternyata
tas yang biasa menggantung dibelakang sepedanya, hilang! Randa panik! Tapi dia
melihat ada seorang yang berlari tergesa-gesa diantara kerumunan, berlari
menjauh darinya. Dari sosok orang yang berlari tadi, mata Randa menangkap kalau
apa yang ada ditangan orang itu persis seperti tas miliknya. Tidak salah lagi!
Memang itu adalah tas miliknya.
Setelah sudah
merasa pasti! Randa dengan segera melepaskan sepedanya lalu melompat kecil dan
berlari menuju orang tadi sambil berteriak.
“JA-JA-MBREEEET”
Dia berlari
sekuat tenaga, orang disekitar pasar terkejut tapi tak ada reaksi karena tidak
ingin terlibat. Randa menabrak siapapun yang mencoba untuk menghalangi langkah
kakinya. “Permisi! Permisi!” katanya kepada orang-orang yang berada dilorong
itu.
Langkah kakinya
semakin lincah, lompat kiri, lompat kanan. Terkadang ada yang terjatuh karena
ditabrak oleh jambret dan Randa.
Diperempatan
lorong, Randa kehilangan bayangan jambret tadi. Dia sempat terdiam sebentar
untuk mencari-cari, melihat kearah kanan lalu kearah lain. Dia mendapatkan
bayangan itu sedang berlari dilorong yang
mengarah kesebalah kiri.
Randa kembali
berlari lebih kuat lagi! Orang-orang yang dilaluinya banyak yang berjatuhan dan
banyak pula yang melemparkan caci-maki untuk mereka berdua.
“Masa bodo! Yang
penting tas saya harus kembali!” Kata Randa dalam hati sambil berlari.
Dalam usahanya
mengejar pencuri tadi bagitu banyak rintangan, lagi asik mengejar tiba-tiba
didepan ada orang yang sedang memikul balok bangunan. Dia tetap berlari sambil
menjongkok. “Upss!!” katanya dan berlari lagi..
Sesekali dia
melompati orang yang sedang terjatuh karena ditabrak pencuri tadi, “Permisi”
sambil menoleh kebelakang, kearah orang yang dilompati. Nafasnya mulai
terengah-engah tetapi daya juangnya tiada henti.
“Ayo Randa!
Kejar!!” katanya dalam hati memberi semangat dirinya sendiri.
Sebelum sampai
diujung lorong, Randa terpental dan jatuh karena dia tidak melihat seutas tali
yang melintang. Tali untuk mengikat tenda pedagang kaki lima. “Aduh!!” katanya
lalu bangkit berlari lagi sambil memegang pinggang dengan tangan kirinya,
sedangkan raut sudah menyeringai kesakitan.
Diujung lorong
disamping jalan raya, dia berhenti. Tangan kanannya menukik dilutut, dadanya
naik turun dengan cepat, detak jantung memompa sangat laju, sedangkan tangan
kiri masih menempel dipinggang.
Sangat
menyedihkan!
Dia kembali
memaksakan diri untuk berdiri, lalu mencari keberadaan pencuri tadi. Randa
mendapatkannya sedang berlari masuk
kelorong pasar yang berada diseberang jalan. Dengan sangat terpaksa harus dia
kejar.
“Kejar lagi
Rand!” katanya dalam hati, dengan nafas terengah-engah.
Berlari memotong
dijalan raya bukan hal yang mudah. Jalan raya dipenuhi oleh kendaraan yang
sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Selagi Randa berlari memotong jalan
dijalur ramai diantara mobil dan sepeda motor. Tiba-tiba sebuah mobil berjenis
sedan, ngerem medadak karena melihat Randa yang mencoba menerobos jalan. Randa
melompat dan berseluncur diatas
kap-mesin mobil. Persis seperti aksi aktor laga Jucky Chunk.
Kelakson
kendaraan berbunyi bersahutan, sepertinya mobil-mobil itu marah padanya.
Sedangkan para pengendaranya nongol di-jendela sambil ngomel dan mengacungkan
tangan. HEY!! MAU MATI YAA???? Kata para pengendara.
Randa menjawab
dengan melambai-lambaikan tangan sambil berlari terus, pantang mundur.
***
Di
lain tempat, sepeda Randa masih tergeletak yang nggak jauh dari lapak Tuak Lii.
Medengar suara jeritan jambret membuat Tuak Lii terkejut, sehingga dia bangkit
dari singgasananya. Melangkah kearah sumber kejadian, disana dia melihat sebuah
sepeda tergeletak yang tak asing baginya.
“Randa!”
katanya pelan.
Terbesit
dalam pikirannya yang menimbulkan tanda tanya mengambang diatas kepala. Mencoba
mencari tahu pada orang-orang yang berada dekat dengan sepeda.
“Mas!
Ada apa, yah?” tanyanya pada salah seorang yang berdiri dekat sepeda.
“Iniloh,
Pak! Pemilik sepeda ini kejambret!” kata orang itu.
“Terus,
pemilik sepeda ini kemana?”
“Dia
pergi mengejar tersangka. Dia lari menelusuri lorong, lalu kearah kiri!”
Mendengar
keterangan itu, lalu Tuak Lii segera memindahkan sepeda ketempat yang lebih
aman, yaitu dilapaknya.
“Broo!!
Saya titip sebentar” kata Tuak Lii pada sesama pedagang dekat lapaknya.
“Ada
apa Lii?” tanya pedagang itu.
“Randa
ke-jambret. Saya susul dia dulu!”
Kemudian
Tuak Lii pergi kearah sesuai dengan keterangan orang tadi. Berlari menyusuri
lorong membuat orang-orang bertanya padanya.
“Hey,
Lii! Ada apa?” tanya orang-orang yang melihat dia berlari kebingungan.
“Adek
saya kejambret”
Dipasar
Cakre, Tuak Lii sudah cukup dikenal
oleh sesama pedagang, apalagi untuk masalah komplotan jambret. Karena dia
adalah salah seorang mantan pejambret di-daerah itu.
Dia
berlari mengitari pasar, bertanya pada tukang-tukang parkir. Orang-orang yang
ditanyain-pun bingung dan lebih banyak menggelengkan kepala karena tidak tahu
dan tak melihat.
Tambah
membikin Tuak Lii cemas.
Soalnya,
didaerah pasar itu para preman dan pejamret bahkan pencopetnya, jika ketahuan
dan terpojok, mereka tidak segan-segan menghabisi sang korban. Maka dari itu,
pemikiran Tuak Lii menjadi tak menentu.
“Randa!
Randa!” keluh Tuak Lii dalam hati, cemas!
Tuak
Lii berlari lagi menelusuri pasar di-Blok bagian loak-kan. Dia berdiri
diperempatan lorong, bagai seorang pengawas lalu-lintas. Lalu pergi menyamperi
seorang preman yang sedang asik duduk dipangkalan, ditemani sebotol minuman
ber-alkohol. Duduk menunggu anggota yang datang untuk setoran harian padanya.
“Hey,
KACUNG!” sapa Tuak Lii.
“Ada
apa, CEPER?” tanya balik Kacung.
Kacung
adalah nama samaran dari kepala preman di-Blok pasar Loak, dia dikenal beringas
oleh orang-orang yang ada didaerah kekuasaanya. Sedangkan Ceper adalah nama
samaran masa lalu Tuak Lii, dikala dia menjadi salah satu preman dipasar itu.
Hanya
saja dia sudah insyaf setelah dia berkeluarga, dia tidak ingin menafkahi
keluarganya dengan yang haram. Sekalipun dia sudah insyaf, tapi dia masih jadi
orang yang sangat dihargai oleh sesama preman. Karena dia juga sangat peduli
terhadap siapapun.
“Begini,
Cung! Adek saya kejambret, lalu dia mengejar jambret itu. Nah! Mendengar itu,
membuat saya cemas. Kamu tau sendirikan? Bagaimana anggota disini?”
“Ngapain
dia harus ngejar? Sedangkan kamu kenal orang-orang disini!” kata kacung yang
rada nggak nyambung.
“Itullah
masalahnya, Cung! Adek saya ini, nggak tau bagaimana saya dulu!”
“Emang!
Kejadiannya dimana?”
“Di
lorong pangkalan saya dan saya juga nggak tau siapa yang megang kawasan itu
setelah Geng kita bubar” terang Tuak Lii.
“Alamak!!
Tunggu sebentar”
Viiiiiuuuuuuuuuwiiiitttt!!! Siul kacung
memanggil salah satu anak buahnya yang lagi patroli dilapangan.
“Kamu
tunggu disini, beritahu yang lain, kalok ada anggota yang dikejar orang. Kamu
tahan dia, terus orang yang ngejar jangan kamu apa-apain, sampai kami datang”
pesan Kacung ke-anggotanya.
Anak
buahnya ngangguk-ngangguk.
“Cabut,
Per!” kata Kacung ngajak pergi Tuak Lii.
Mereka
pergi mencari Randa, mengelilingi pasar, menyantroni para tetua komplotan yang
memegang daerah-daerah pangkalan para pejambret.
Dimana-mana,
Indonesia saat itu masih banyak terdapat para preman. Berbeda dengan sekarang, pemerintah
menginstruksikan untuk menyapu bersih aktifitas mereka, karena mengganggu
keamanan masyarakat dan mencemarkan nama baik bangsa dan negara. Kehadiran
mereka membuat turis mancanegara dan lokal jadi enggan untuk berkunjung,
sehingga pendapatan negara untuk bagian pariwisata sangat kecil.
***
Kembali
ke-Randa. Dia berlari menyebrangi jalan, tibalah dia didepan lorong. Tangan
kanannya bersandar didinding sambil membungkuk kelelahan. Hal yang sama
dilakukan oleh si-pencuri yang berada nggak jauh dari Randa! Tas masih
menggantung dibahunya. Pecuri itupun tak mau kalah, ia berlari lagi walau daya
tinggal secuil karena melihat Randa berada dibelakangnya.
“HEYY!!!”
teriak Randa lemah dan kembali mengejar.
Pencuri
itu berlari kelorong yang lain dan masih diikuti Randa. Tapi sayang! Pencuri
terperangkap dilorong buntu.
“Akhirnya!!”
kata Randa setelah melihat pencuri yang kebingungan diujung lorong. Yang ada
hanya tinggal tembok tinggi pembatas lorong. Sedangkan Randa kembali bersandar
didinding karena kelelahan.
“Mau
kemana kamu?” tanya Randa sambil menunjuk.
Karena
ketakutan, sang pencuri mencari cara untuk meloloskan diri, sedangkan Randa
masih bersandar mengumpulkan tenaga. Lagi asik istirahat, ketika dia menoleh
kearah pencuri, ternyata kaki sang pencuri sedang bergelantungan diatas tembok,
mencoba melopati dinding yang tingginya kurang lebih tiga meter.
Randa
terkejut dan berlari, kemudian melompat mencoba menggapai kaki pencuri. Tapi
sayang sang pencuri sudah berada dibalik tembok. Randa-pun nggak mau kalah, dia
melompat seperti kera, berpijak pada sisa pijakan sang pencuri.
Sang
pencuri lagi berjalan santai karena merasa sudah terlepas dari masalah. Tapi
sayang! Teriakan Randa mengusik
kebahagiannya. Dia menoleh kebelakang, ternyata Randa sedang berdiri diatas
tembok, bersiap untuk melompat dan mengejarnya.
Sang
pencuri berlari lagi menuju sudut tembok yang lain. Mencoba kabur! Dia
melompat, tapi sayang tak mampu digapai. Melihat si pencuri berusaha kabur,
Randa terjun bebas. KEDEBUUK!!! Suara Randa terjatuh. Mendengar suara itu,
sipencuri menoleh dan mendapatkan Randa sedang berguling-guling diatas
semak-semak yang berada dihalam belakang rumah orang. Sang pencuri tertawa,
karena melihat Randa terjatuh seperti buah nangka!
Randa
kembali bangkit dan melangkah kearah sipencuri yang berusaha melompati tembok.
Sang pencuri sadar karena nggak bisa menggapai tembok, lalu dia berlari kearah
pohon pisang, begitu juga Randa. Mereka berdua kejar-kejaran mengelilingi pohon
pisang yang hanya dua pohon.
“Tunggu!
Tunggu!” kata si Pencuri mengangkat tangan sambil menunduk dan dengan nafas
ter-engah-engah. Begitu juga Randa.
“Kenapa?
Capek ya?” tanya Randa.
“Iya!
Ngapain kamu ngejar saya?”
“Saya
juga nggak sudi ngejar kamu, kalok kamu nggak ngambil tas saya!”
“Emang
tas ini isinya apaan sih? Sampek kamu ngejar segitunya?”
“Seandainya
kamu seorang wanita, nggak akan mungkin saya ngejar kamu!”
“Kenapa?”
“Karena
didalam tas itu terdapat kata hatiku. Jika kamu yang mengambil dan kamu
membacanya! Saya takut kamu ngejar-ngejar saya. Karena kamu jatuh hati sama
saya! Setelah kamu membacanya! Oooeeeekk!!” kata Randa sambil muntah-muntah
karena telah menggombalin orang yang salah.
Sipencuri-pun
muntah-muntah mendengar kata-kata Randa.
“Emangnya,
saya bencong!” kata Sipencuri.
“Iya!
Yang saya takutkan seperti itu! Karena tingkah kamu mirip sama bencong!” jawab
Randa sambil melambai-lambaikan telapak tangannya kayak bencong.
“Sial!!”
“Sial
kenapa?” tanya Randa.
“Ada
anjing dibelakang kamu”
Mendengar
kata itu, lalu Randa menoleh kebelakang. Tapi! Batang hidung dan bayangan
seekor anjing-pun tak ada terlihat. Merasa tertipu! Dia menatap kearah
siPencuri, namun siPencuri malah kabur menuju pintu belakang rumah orang yang
terbuka. Randa ikut mengejar.
Si-Pencuri
lari masuk, “Permisi!” katanya pada ibu sipemilik rumah yang lagi masak. Ibu
itu terkejut, namun Ibu mendapatkan Randa sedang berlari masuk. “Maaf, Bu!”
kata Randa sambil mengejar Pencuri.
Lalu
mereka berdua menuju ruang tengah, “Awas!!” kata Pencuri sambil melompati para
penghuni rumah yang lagi asik nonton tv, begitu juga Randa “Awas!!” katanya.
Para penghuni rumah menunduk karena dilompati. Seisi rumah bingung!
Mereka
berdua lari keluar melalui pintu depan dan melewati gerbang yang terbuka
setengah. KLEMPANGGGG!! Suara gerbang terbanting karena dihempas dengan keras.
Para penghuni rumah berhamburan keluar, hanya melihati mereka yang
kejar-kejaran.
Lalu
mereka memotong jalan, masuk ke-gang yang berada diseberang jalan. Tepatnya
diperkampungan umat hindu. Dalam gang itu dipenuhi anjing-anjing berkeliaran,
menggonggong sambil berlari. Berlari bukannya mengejar mereka berdua, tetapi
berlari ketakutan. Mungkin disangka bakalan ditangkap untuk disantap.
Digerbang
sebuah rumah! Terdapat sepasang anjing sedang bermalas-malasan. Saking
malasnya! Kedua anjing itu tidak menghiraukan mereka yang lari, dia hanya
berdiri dan menggonggong sebentar setelah Sipencuri dan Randa melewatinya,
kedua anjing itu kembali bermalas-malasan. Mungkin kalok diartikan
gonggongannya dia bilang seperti ini. “Dasar
pengganggu, nggak bisa lihat kita lagi asik berduaan, main lewat aja!” yah!
Kira-kira seperti itulah kata si guguk!
Sipencuri
udah nggak sanggup lagi untuk berlari. Dia berhenti, begitu juga Randa. Nafas
mereka tak beraturan, dada mereka naik turun dengan cepat dan detak jantung
mereka apalagi!
Sipencuri
angkat tangan, bukan untuk menyerah, melainkan menantang Randa.
“Hey!
Kita selesaikan secara jantan!” kata si-Pencuri.
“Nah!
Ini yang saya suka!” ucap Randa dalam hati, lalu mengacungkan ibu jarinya keatas
kemudian mengarahkannya kebawah.
Sipencuri
naik darah! Dia membuat ancang-ancang dengan melompat kecil ditempat, kekiri
dan kekanan. Kakinya bergantian kedepan dan kebelakang, tangannya dikepal.
Bagaikan seorang petinju handal.
“Ayo!!”
kata Pencuri memanggil sambil memainkan tangannya.
Randa
berdiri tenang sambil mengatur nafas dan siaga satu.
“Ayo,
maju!” kata si-Pencuri lagi.
Jari
telunjuk Randa mengarah ke-si-Pencuri, dia memainkan jarinya. Tanda menantang!
Merasa
tertantang, si-Pencuri menyerang. Tangan kanan melesat kearah Randa, dengan
sigap Randa menepisnya menggunakan telapak tangan kanan. Tangan kiri ikut
melesat, Randa menepisnya dengan punggung telapak tangan kanan. Berkali-kali
Randa diserang dengan cara yang sama, berkali-kali juga Randa menepisnya dengan
hal yang serupa.
Langkah
kaki Randa mundur karena menangkis serangan yang bertubi-tubi. Merasa tertekan,
Randa menepis serangan dan mendorong dada si-Pencuri hingga mundur beberapa
langkah.
Merasa
unggul karena serangan. Si-Pencuri kembali menghujamkan serangan dengan jurus
yang sama, lalu kaki kirinya berusaha meraih kaki Randa, dengan sigap Randa
mundur selangkah. Namun sayang! Si-Pencuri berkesempatan bergerak memutar dan
melayangkan kaki kanannya kearah dada Randa. Tapi untung kedua lengan Randa
membentengi, hingga dia mundur beberapa langkah.
Randa
kembali siaga, walau lengan nyeri tersambar kaki.
Si-Pencuri
kembali menyerang, kaki kanannya terbang, mencoba meraih telinga Randa. Dengan
sigap tangan kiri Randa menahan, lalu tangan kanan Randa terkepal, melesat
secepat kilat menghantam lutut si-Pencuri.
Si-Pencuri
jatuh ditanah dan segera berdiri, sedangkan Randa mundur beberapa langkah untuk
kembali siaga.
Kaki
si-Pencuri terlihat pincang sebelah. Melihat keadaan lawan seperti itu, Randa
menyerang, namun tak satupun serangannya berarti. Malah! Kepalan tangan
bersarang dipipinya. Randa tersungkur dan lekas bangun.
Ia
kembali diserang dan saling menyerang. Tangan kanan si-Pencuri meninju Randa,
namun Randa menangkisnya dengan telapak tangan kanan, kemudian dikepalnya lalu
dihujamkan tepat dihidung si-Pencuri.
Sang
lawan mundur beberapa langkah sambil memegangi hidung yang sudah bersimbah
darah. Melihat kelengahan lawan, Randa melesatkan pukulan kirinya, tepat
bersarang ditulang rahang lawan yang berdekatan dengan telinga. Musuh miring
kekiri, sebelum terjatuh. Randa kembali menyarangkan pukulan hingga merobek
pelipis mata lawan.
Sang
Pencuri terkapar.
Randa
meraih tasnya yang menggantung ditubuh si-Pencuri. Sebelum dia pergi, Randa
menjambak rambut lawan dan segera melesatkan pukulan terakhir. Tapi sayang!
Tangannya terhenti karena Tuak Lii memeganginya dari belakang.
“Sudah,
Rand! Kasihan!” katanya.
Tuak
Lii mencoba menenangkan Randa. Sedangkan Kacung! Melihat keadaan si-Pencuri
yang sudah tak berdaya lalu membawanya pergi.
Randa
berjalan bersama Tuak Lii menuju lapak. Wajah Randa sudah hampir tak berbentuk,
persis seperti ayam jago baru selesai diadu.
***
Setiba
dilapak, Randa disuguhin es batu buat ngompres memar-nya.
“Apa
saja yang hilang, Rand?” tanya Tuak Lii.
“Nggak
ada, Bang!” tutur Randa lemah.
“Syukurlah!
Ngomong-ngomong isi tas-mu apa aja? Segitu ngototnya kamu ngejar itu pencuri!”
Randa
mengeluarkan semua isi tas-nya. Tuak Lii tertawa setelah melihat kertas-kertas
dan alat kerja Randa yang dimuntahkan, berserakan dilantai.
“Apanya
yang berharga?” Tanya Tuak Lii lagi.
“Yang
paling berharga adalah amplop ini Tuak Lii! Karena isinya adalah surat pindah
dari sekolah lama saya dan uang hasil kerja yang saya kumpulkan untuk mendaftar
kesekolah baru!” terang Randa.
Tuak
Lii meng-angguk-anggukkan kepala. Pantas saja Randa ngotot ngejar miliknya,
sampai-sampai harus bertarung dan babak belur seperti telur pecah.
“Oh-iya,
Rand! Tadi banyak orang yang nyari kamu, saat kamu ngejar si-Pencuri tadi” kata
pedagang disamping lapak Tuak Lii.
“Mending
kamu istirahat dulu beberapa hari, biar fit dulu badan-mu!” ucap Tuak Lii
“sudah terkumpul berapa uangmu?” tanya-nya.
“Lumayan,
Bang! Udah satu juta seratus!” jawab Randa.
Hari
udah sangat tinggi, Randa berbaring disamping lapak. Memar-nya udah terasa
cenut-cenut dan terlihat membengkak.
“Pak!
Berapa harga buku ini?” tanya seorang pembeli pada Tuak Lii.
“Lima
belas ribu, Bu!”
Ibu
itu membayar dengan uang pass, lalu merogok kantong untuk mengambil uang receh
dan melemparkan kearah Randa yang sedang berbaring. Melihat itu Tuak Lii
ngikik.
Setiap
kali orang lewat, ketika melihat Randa, mereka menyempatkan untuk melempar
koin. Tuak Lii ngikik terus.
Randa
tidurnya udah mirip pengemis!!
Ngerasa
ada yang aneh, Randa lalu terbangun dan terkejut ketika melihat dibawah kakinya
udah banyak uang receh.
“Bang!
Uang receh siapa yang berserakan, nih?” tanyanya.
Tuak
Lii masih ngikik.
Kemudian
orang lewat dan melemparkan uang receh didepan Randa. Dia bengong! sambil ngelihatin
orang yang ngelempar koin.
“Bushett!!
Saya disangka pengemis kali, yak! Nggak pantes saya nerima uang ini! Nggak
butuh!!” Randa ngomel sambil ngompres mukanya.
Tuak
Lii tambah ngakak, “Tampilanmu kayak gembel! Jadi, gembel dan pengemis bedanya
tipis, Rand!”
Randa
jadi garuk-garuk kepala sambil ngeliatin seluruh badannya yang udah nggak
karuan. Kotor!
“Ya,
udahlah! Saya pulang dulu! Udah lama nggak pulang, jadi kangen rumah!” sambil
ngumpulin receh yang berserakan.
“Katanya
nggak butuh!!” kata Tuak Lii nyindir.
“Lumayan!
Buat ongkos ojek!!” ucap Randa sambil nyengir.
Randa
lalu berkemas.
“Bang!
Makasi sepedanya, besok-besok saya pinjam lagi, yah?”
Tuak
Lii ngasih jempol.
***
Esoknya, dipagi
yang cerah. Randa sibuk dengan cucian, udah hampir seminggu nggak pulang.
Batang hidungnya baru diliat tetangga sebelah yang lagi nyapu halaman.
“Mas, Randa!
Baru keliatan, dari mana aja?” Tanya Om-Lido keppo, karena ngeliat dia lagi
jemur pakaian.
“Iya, Om! Baru
pulang syuth-ing!” jawab Randa.
“Syuting film
apa, Rand?”
“Film
doku-men-ntar, Om!”
“Judulnya apa?”
Randa jadi
kesel.
“Judulnya, Tetangga-ku Keppo!! Om!”
Dahi si-Om
mengkerut.
“Oh! Pantes!”
“Pantes kenapa,
Om?”
“Pantes! Banyak
yang nyari-in!” si-Om ikut kesel
“Ya, gitullah
fans, Om!”
“Sibuk sekali
ya, Rand? Sampe orang tua susah ngehubungi kamu!”
Tada tanya
muncul dibenak Randa.
“Siapa ya, Om?”
“Mama-mu! Telfon
setiap hari, nanyain kabarmu” nadanya agak tinggi.
Randa gelagapan
dan berhenti menjemur.
“Terus, Om
bilang apa?” tanyanya pada Om yang berdiri diluar pagar sambil pegang sapu.
“Yah! Saya
bilang aja, kalok kamu nggak pernah pulang dan nggak pernah sekolah”
“Tau darimana?”
Randa kembali menjemur pakaian yang tersisa.
“Gosip gurumu
disini!”
Randa nggak bisa
berkata.
“Ntar kalok
mamamu nelpon, saya harus bilang apa?” lanjut Om-Lido.
“Nggak usah
bilang apa-apa, atau sekalian aja nggak usah diangkat” kata Randa yang udah
kebingungan.
“Terus??”
“Dan! Nggak usah
terus-terus, Om! Besok saya telfon Mama! Saya juga males disini, serba be’ol
aja ditanya, pulang malem disangka maling. Emangnya saya pencuri apa!” gerutu
Randa.
Setelah pakain
dijemur semua, dia noleh ke-si-Om, ternyata udah ilang.
Si-Om-Lido ini
perawakannya tinggi dan gaya rada cucok, deh! Dia guru disalah satu sekolah
yang ada diMataram-Lombok.
Dia orang yang
paling keppo sekomplek, semua serba pengen diaturnya, jadi orang-orang rada
nggak suka. Tapi! Dia jago dalam berbisnis, segala jenis bisnis dia pernah
lakukan, sampai-sampai kacang goreng-pun dia jajalin disekolah tempatnya
ngajar. Alasanya buat nambahin uang saku dan dari pada jadi PENCURI
lebih baik bisnis, cui!
Case
9. PENCURI HATI
Tiga hari
berlalu. Randa kembali kepasar menjajalkan kartu yang tersisa. Memar diwajah
udah samar-samar, yang tersisa hanya cerita. Belum sempat dia menggelar
dagangan, Tuak Lii melarangnya!
“Kenapa, Bang?”
tanya Randa.
“Pokok-nya
jangan!”
“Iya! Tapi
kenapa, bang? Apa bayaran saya kurang? Kalok kurang, abang minta berapa, Biar
saya tau, bang?”
“Bukan! Bukan
itu maksud saya! Saya melarang kamu berjualan karena kemarin ada yang mencari
kamu.”
“Siapa? Polisi?
Atau pencuri kemaren pengen balas dendam?” tanya Randa bingung dan dada
berdebar-debar.
“Bukan itu juga!
Masalah si-Pencuri itu udah nggak berlanjut. Tapi yang jadi masalahnya, kemaren
ada seorang remaja perempuan yang cari kamu. Kamu punya masalah sama tuh,
cewek?”
“Siapa namanya?”
“Namanya, kalok
nggak salah!” Tuak Lii mikir.
“Siapa, bang?”
Randa penasaran.
Tuak Lii,
lupa-lupa inget.
“Kalok nggak
salah, namanya De! De! De!.. Dea! Bukan. Pokoknya ada De dan Yu-nya.” sambil
menghadap langit.
“Dewi Ayu,
maksudnya?”
“Yap!!” Tuak Lii
nodong jempol.
“Terus dia
ngomong apa?”
“Dia nitip
pesan, kalok ketemu kamu, dia minta tolong kamu untuk datang kesekolahnya!”
“Ada apa, yah?”
“Aa-uuk!! Tanya
aja ndiri”
“Kapan, bang?”
“Pagi ini,
katanya!”
“Pagi ini? Jam
berapa?”
“Ya, pagi ini
lah! Rand!”
“Ya udah! Saya
cabut, Bang!”
“Cabut apa,
Rand?”
“Cabut rumput
buat makan sapi!” sambil berjalan pergi.
***
Didepan gerbang
sekolah Dewi, Randa berdiri kebingungan. Clingak-clinguk ngintip keberadaan
Dewi.
“Hey!” Sapa Dewi
sambil nepuk pundak Randa dari belakang.
Randa terkejut.
Dewi menarik
tangan Randa dan membawanya menjauh dari lingkungan sekolah.
“Eh! Mau kemana
kita?” tanya Randa.
“Udah, ikut
aja!” kata Dewi lalu memanggil taxi.
Mereka naik
dalam taxi, sedangkan Randa masih bingung.
“Pak! Kita
ke-Seng-gigi, yah!”
Randa tambah
bingung.
“Wik! Kita mau
ngapain kesana?”
“Pokok-nya
temenin saya, mbolos!”
“Tapi!”
“Udah, nggak
usah banyak tanya. Omzet-mu hari ini, saya yang borong!”
“Maksud saya
bukan itu. Dari pada kesana mending ketempat lain”
“Kemana?” tanya
Dewi.
“Ke-Hatiku!”
“AAOOOO!” Teriak
Randa karena dicubit.
Kebiasaan buruk
Randa yang baik adalah suka gombal kalo deket cewek.
“Maaf ya, Rand!
Kalok saya ngerepotin kamu!”
“Ngerepotin
kenapa? Toh juga saya malah seneng dekat, kamu!”
“Makasi, Rand!
Udah ngerti-in saya”
“Emang kamu ada
masalah apa sampai mbolos, kan kamu sekolah ntar sore?”
“Nggak ada
masalah apa-apa, sih! Cuman pengen aja jalan sama kamu sampai ntar sore”
“Gimana
sekolahmu?”
“Nggak usah
bahas masalah sekolah deh, Rand! Pokoknya temenin saya, saya lagi kepengen
suasana pantai!”
“Oce, sayang!”
“Sayang! Kayak
apa aja pake sayang!”
“Ups! Maaf, saya
lancang. Kata-kata itu keluar dari sini!” Randa menunjuk dadanya.
“Gombal!”
“Nggak pecaya!”
Setelah itu
selama dalam taxi, Randa dan Dewi awkward
moment tanpa bahan pembicaraan. Diam membisu! Randa bingung harus
mengawalinya dengan apa, sedangkan Dewi menatap keluar jendela, seperti ada
beban dihati dan pikirannya.
Pak sopir yang
ngerasa suasana mobil kayak kuburan! Tape mobil dinyalakannya, biar bisa
memecah suasana. Sepertinya Pak Sopir tau bener situasinya!
“Aduh!” Randa
menepuk kepalanya.
“Ada apa pak?”
tanya Pak Sopir.
“Ada yang
kelupaan, Pak!”
“Lupa apa,
Rand?” tanya Dewi.
“Lupa, Wik!
Kalok saya duduk samping bidadari!”
Kejeburrr!! Dewi
klepek-kelepek. Tapi balik lagi menghadap keluar kaca setelah menipuk Randa.
“Kirain lupa
apa, Pak!”
“Beneran kok,
Pak! Saya minta tolong mampir di WARTEL terdekat ya pak?”
“Siap, BOSS!”
ucap pak sopir.
“Naik mobil Ferrari ke pulau Bali, buat nonton orang
menari!” Randa ngomong sendiri.
“Asek!” kata Pak
Sopir!
“Kaullah
bidadari yang paling kunanti sepanjang hari, bikin hati berseri-seri”
“Tapi sayang,
Pak! Ini bukan mobil Ferrari!” kata
Pak Sopir sambil cekikikan.
Dewi tetap aja
cuek, nyender ke-jendela. Sekalipun hati berbinar-binar.
“Lagi Pak!”
lanjut Pak Sopir.
“Jalan jalan
ke-kota paris, banyak tempat yang romantis!” Randa sambil ngelirik keDewi.
“Terus, Pak!”
“Saya rela
ditusuk-tusuk keris, Pak! Demi cintaku pada dinda yang manis!”
Sudut bibir Dewi
mulai melebar.
“Dulu delman
sekarang dokar! Kira-kira bisa nggak pak? Kalok dulu teman terus sekarang jadi
pacar!”
“Bisa aja, Pak!
Apa yang nggak bisa didunia ini!”
“Nggak usah
panggil bapak lah, Pak! Panggil adek aja!”
Pak Sopi
ngangkat jempolnya.
“Lagi, dek! Asik
tuh, buat bekal saya dijalan!”
“Laper kalik!
Pake bekal-bekal dijalan!” kata Dewi.
Pak Sopir noleh
kebelakang sebentar, buat pelototin Randa dan Randa membalas melotot bengong!
Lalu mereka cekikikan bareng.
“Anak pramuka
bawa peluit, bawa peluit untuk jaga-jaga” kata Pak Sopir.
“Cakep!!” kata
Randa.
“Mengatakan
cinta emang sulit, tapi apa salahnya untuk dicoba!” lanjut Pak Sopir.
Randa cekikikan.
“Pak Sopir udah
kena firus!” kata Dewi.
Randa dan Pak
Sopir jadi cekukukan mendengar suara Dewi.
“Ulangan Fisika
emang sulit apalagi matematika, mengatakan cinta emang sulit apalagi cinta
pertama” ucap Dewi.
Mendengar kata
Dewi! Pak Sopir menepikan kendaraannya.
“Kok berhenti,
Pak?” tanya Dewi.
“Di-depan ada wartel, Mbak!”
“Kirain!”
“Kirain kenapa,
Mbak?”
“Kiarain mau
pada muntah denger pantun saya!”
Pak Sopir dan
Randa kembali cekukukan.
***
Randa
turun dan masuk salah box telpon. Randa ke wartel karena saat itu, handphone masih jarang. Hanya
orang-orang tertentu yang menggunakannya. Sedangkan Dewi menunggu dalam taxi.
TUUTTTT!!
TUUTTTT!! TUUTTT!! Suara telpon menyambung.
“Hallo!!”
suara dari dalam telpon.
“Iya,
hallo. Siapa, nih? Dian?” tanya Randa.
“Iya!
Nih sapa?”
“Mas
Randa, dek! Mana Mama?”
“Tunggu
sebentar, Mama lagi dibelakang! Dian panggil dulu” lalu menyimpan gagang
telpon.
Randa
menunggu sambil berfikir dan memainkan jarinya disamping pesawat telpon. Dia
berfikir bagaimana cara membuat alasan yang bagus, tapi suara hatinya berkata
agar dia berbicara jujur. Karena kejujuran adalah hal yang baik, sekalipun itu
pahit hasilnya.
“Hallo,
Randa!” suara Mama.
“Iya,
Ma! Gimana kabar dibima, Ma?”
“Disini
kerusuhan, nak! Kamu gimana?”
“Alhamdulillah,
baik Ma!”
“Mama
nonton diTV, beritanya dimana-mana lagi kerusuhan. Kamu nggak apa-apa, Nak?”
tanya Mama khawatir.
“Nggak
apa-apa, Ma!”
“Mama
denger, kamu udah dua bulan nggak sekolah. Kenapa?”
“Iya,
Ma!” Randa sedih mendengar pertanyaan Mama, karena dia ngerasa udah ngecewain
harapan Mama dan Ayah-nya.
“Kenapa,
nak?” suara Mama mulai berumah karena menahan emosi.
“Ceritanya
panjang, Ma!”
Mama
menangis karena terlalu menahan emosinya.
“Ma!
Mama nggak usah nangis! Randa nggak tahan dengernya!”
“Mama
nggak nangis, nak! Terus gimana sekolahmu?”
“Maaf
sebelumnya, Ma! Karena Randa udah ngecewain Mama dan Ayah! Randa nggak tahan
seperti ini!” air mata Randa berlinang.
“Kenapa,
nak! Apa kamu nggak sanggup sekolah disitu?” tanya Mama sambil menangis.
“Bukan,
Ma!”
“Terus?”
“Randa
nggak sanggup, bukan berarti Randa nggak bisa bersaing disini. Tapi Randa nggak
tega sama Mama dan Ayah yang menyekolahkan Randa disini. Mama dan Ayah harus
berhutang kiri-kanan hanya untuk sekolah Randa. Randa lebih senang sekolah
di-Bima tapi nggak merepotkan Mama dan Ayah, nggak membuat utang Mama bertambah
dan nggak dihina orang” Randa sambil menangis.
“Nggak,
nak! Mama nggak berhutang kesiapapun!”
“Nggak
mungkin, Mama! Sedangkan kerjaan Mama hanya pembuat roti bak-pao dan Ayah sudah nggak kerja lagi karena ditipu temennya
ratusan juta. Terus Mama dapet uang darimana setiap minggunya yang dikirimin
ke-Randa?”
Mama
nggak bisa ngomong apa-apa karena hatinya telah tercuri.
“Ma!
Randa lebih ikhlas sekolah di-Bima tapi nggak menyusahkan kalian. Cukup Mama
dan Ayah berhutang banyak untuk menyekolahkan abang Farid di-Jakarta. Dan
semoga dia menjadi tulang punggung keluarga kita dan bisa mengangkat derajat
keluarga dari kehinaan. Amin!”
“Amin!”
ucap Mama.
“Itu
yang pertama alasan Randa, Ma! Yang kedua, nanti Randa cerita setelah tiba
dirumah”
“Lalu
kamu gimana dan Mama harus ngomong apa sama Ayah-mu?”
“Mama
bilang aja kalok Randa mau pindah ke-Bima, untuk alasannya, biar Randa yang
ngomong sendiri dan nggak usah lewat telpon”
“Kapan
kamu pulang, nak?”
“Se-segera
mungkin, Ma! Besok atau lusa! Yang penting Mama setuju!”
Dewi
keluar dari mobil karena ngerasa menunggu terlalu lama, lalu dia masuk kedalam
wartel. Dia melihat Randa sedang berbicara serius, mondar-mandir didalam box.
Dewi bertanya-tanya dan sedikit bimbang karena raut wajah Randa berubah tak
seperti biasanya. Matanya berlinang.
Randa
menoleh keluar bingkai, dia mendapatkan Dewi sedang menunggunya cemas.
Rautnyapun berubah. Melihat itu Randa segera untuk menyelesaikan pembicaraan.
“Ma!
Sudah dulu, jangan khawatir untuk masa depan Randa, tuhan sudah mengaturnya!
Sepertinya ini jalan lain yang ditunjukanNYA untuk Randa. Mama bersabar dan
ikhlas, tuhan maha mengetahui, Ma! Jangan putus asa! Yang penting kita yakin
bahwa Allah SWT nggak akan menyusahkan hambanya. Seperti dalam Al-Qurhan surah Al
Baqarah Ayat 286. Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
“Iya, nak!”
Kemudian randa menutup telpon dan keluar.
Setelah membayar wartel Randa segera naik kedalam taxi di-ikuti
Dewi.
“Ada apa, Rand?” tanya Dewi.
“Nggak ada apa-apa!”
“Tapi kok kamu murung? Nggak seperti biasanya?”
Dia masih memikirkan pembicaraannya tadi.
“Ikan kakap jadi radja, kuharap kamu baik-baik adja!” tutur Dewi.
Randa senyum.
“Kamu makin pinter gombal, Wik!”
“Sapa dulu dong yang ngajarin! Kena firus kamu, nih!”
Mereka berdua cekikikan.
“Kamu kenapa sih, Rand?” tanya Dewi lagi.
“Nggak, apa-apa!”
“Dek! Turun dimana nih? Digerbang depan atau dimana?” tanya Pak Sopir.
“Di gerbang depan aja, Pak! Biar kita sambil jalan-jalan!” tutur Dewi.
“Ok!” kata Pak Sopir.
***
Taxi-pun berhenti. Mereka berdua berjalan masuk kepantai. Dewi meraih
tangan Randa, mencoba untuk menguatkan hatinya. Mereka seperti orang yang
kasmaran, padahal diantara mereka belum pernah meng-ikrarkan sebuah hubungan.
Randa noleh kearah Dewi karena ngerasa tangannya digenggam, kemudian
dia pura-pura batuk.
“Kenapa?” Tanya Dewi ngelihat Randa yang pangling tangannya digandeng.
Randa salah tingkah.
“Udah! Nggak kayak gitu. Nggak pernah diganteng cewek ya?”
Randa nyengir. Tapi tangan Dewi semakin erat menggenggam.
“Saya malu, Wik!”
“Segitunya!”
“Bukan malu karena kamu gandeng!”
“Terus, kenapa?”
“Malu karena hati ini nggak bisa bohong kalok saya jalan sama
bidadari!”
Dewi kesandung pasir. Tapi untung Randa memegangnya erat sampai nggak
sempat tersungkur.
“Kenapa, Wik?” tanyanya.
“Mendengar kata-katamu, membuat persendianku lemah!”
“Kok, bisa?”
“Ya bisalah! Karena kamu pencuri hatiku” sambil melepaskan sepatunya
yang kemasukan pasir, lalu ditentengnya dan berjalan tanpa las kaki.
“Lebay!” kata Randa.
Berjalan diatas pasir bersama pasangan sambil bergandengan tangan,
emang maknyus! Bayangin aja kalok kita seperti itu. Terasa Dunia milik berdua,
apalagi kalok duduk berdua dihamparan pasir sambil minum kelapa muda. Satu
kelapa muda diminum berdua dan menanti jingga datang. Aseeeek!!
“Wik! Gimana kabar Deni?” basa-basi Randa, padahal dia males
ngebahasnya. Hanya sekedar mengilah pembicaraan.
“Nggak usah bahas dia, cari bahan yang lain napa? Kayak nggak ada bahan
adja!”
Hati Randa merasa senang mendengar keterangan Dewi seperti itu.
“Ups, sorry! Ada sebuah cerita, Wik! Tentang sepasang remaja”
Mereka sambil duduk dihamparan pasir, dibawah pohon kelapa.
“Sepasang remaja ini adalah remaja yang hidup di kota kecil! Mereka
bertemu disebuah tempat yang tak diduga, yaitu dijalan. Diawal pertemuan mereka
biasa-biasa saja, tapi lambat laun mereka menjadi teman akrab. Teman yang
saling mengisi kekurangan masing-masing, teman yang selalu ada disaat susah dan
senang. Namun! Dengan sikap mereka seperti itu, mereka tanpa sadar bahwa merasa
ada yang berbeda dengan hati mereka. Ketika mereka jauh, seakan jiwa mereka
hanya separuh. Ketika mereka bersama, jiwa itu terisi dan merasa sempurna!”
“Randa ngarang, ya?” Kata Dewi sambil menunjuk hidung Randa yang pesek
kayak orang Arab.
“Ini kisah nyata, Wik! Ya udah, nggak usah dilanjutin ceritanya”
“Idih! Randa ngambek!”
Randa cuek lalu memesan kelapa muda!
“Gayamu, Rand! Pakek mesan kelapa muda!”
“Biar keliatan romantis, Wik!” ucap Randa.
“Maksud saya, kayak kamu punya duit adja!”
Randa menatap Dewi sambil nyengir. Lalu mereka cekikikan. Mereka
bersenda gurau, bersandar pada pagar hotel yang ada dipantai senggigi. Duduk
menghadap kearah peraduan sang matahari. Tapi sayang, hari masih terlalu siang.
“Wik! Sebenarnya kamu ngajak saya kesini, untuk apa?”
Dewi diam dan malu.
“Ayollah Wik cerita. Kok diem?” Randa penasaran.
Dewi menarik nafas panjang dan melepaskannya.
“Sebenernya ada yang akan saya bicarakan, Rand! Tentang kita”
“Tentang kita?” kening Randa mengkerut karena bingung.
“Iya! Tentang kita. Tapi masak harus saya!” pipinya memerah.
“Maksudnya?” Randa tambah bingung.
“Udahlah, kamu nggak ngerti!”
“Emmmm! Pasti kamu putus sama dia karena suka sama saya, hayo!” kata
Randa dengan becanda.
“Ge-eR!!” lalu diam.
“Ayolah, Wik! Cerita?”
“Sebenernya, emang iya, Rand! Kalok saya suka sama kamu!” kata Dewi
dalam hati sambil menatap Randa dengan penuh harap.
Dewi berharap Randa mengeluarkan kata-kata untuk meng-ikrarkan hubungan
mereka. Tapi sayang! Randa adalah tipe remaja yang ja’im untuk mengucapkan kata
suka yang sebenarnya. Sekalipun benar, pasti orang menganggap perkataannya
adalah candaan. Karena dia terlalu sering guyon.
“Kenapa menatap saya seperti itu? Emang saya punya salah apa?”
Dewi sebel lalu menipuk Randa dengan tas-nya.
“Kamu nggak ngerti perasaan saya” kata Dewi sambil berdiri dan berjalan
pergi.
Randa semakin bingung karena ditimpuk.
“Ayooo!! Ceweknya marah, tuh!” kata penjual kelapa muda.
Lalu Randa mengejar Dewi yang pergi meninggalkannya.
“Kenapa, Wik? Kok marah?” ucap Randa sembari meraih tangan Dewi yang
lagi ngambek.
Dewi diem aja sembari menatap kearah Randa, matanya berlinang.
“Wik! Tolonglah, saya salah apa?”
Dewi semakin ngambek dan mencoba pergi, tapi Randa masih memegang erat
jemarinya. Randa meraih kedua bahu Dewi, memegangnya erat hingga Dewi tak bisa
berkutik.
“Wik! Ayolah? Apa yang salah dengan saya?” tanya Randa sembari
menggoyangkan bahu Dewi, berharap dia mengatakan sesuatu.
“Rand! Udah, ah! Emangnya saya pohon mangga,apa? Di goyang-goyang, ntar
saya rontok!”
Randa-pun berhenti.
“Wik! Katakan apa yang salah dengan kata-kata saya, sehingga kamu
seperti ini?”
“Apa yang salah? Kamu nggak ngerasa?”
Randa geleng-geleng kepala.
“Kamu!” tunjuk Dewi marah “kamu nggak ngerasa? Kalok perkataan kamu
selama ini sudah mencuri isi hatiku! Kamu nggak ngerasa? Kalok sikap kamu udah
membuat saya. Jat! Jat! Jat! Sudahlah!” tutur Dewi marah lalu membelakangi
Randa.
Randa senyum, hatinya berbunga-bunga.
“Wik! Apa harus dengan kata-kata? Apa semua tingkah laku saya terhadap
kamu, tidak mengartikan sesuatu?” tanya Randa.
Dewi menjauh dan pergi ke ujung pantai. Berdiri diantara karang yang
dihempas gelombang.
Randa bernafas panjang dan berdiri disampingnya. Mereka bersama-sama
memandang lautan.
“Wik! Apakah sedekat itu pandanganmu terhadapku? Jika seperti itu, saya
menolak!” Dewi menatap Randa yang berada disampingnya. Mata yang berlinang tak
terbendung, hingga membasahi pipi. Randa tak menoleh sedikitpun, padangannya
jauh kedepan, kearah laut yang luas. “Saya ingin kamu melihat saya seperti kamu
melihat lautan yang luas, agar kamu bisa tau perasaan saya kepadamu. Seluas
lautan yang tanpa ujung ini. Begitulah perasaan saya terhadap kamu dan saya
harap demikian juga kamu! Untuk membuktikannya, saya minta kamu datang esok jam
enam pagi diterminal, disana kamu bisa tau alasan kenapa saya harus diam”
Dewi tersenyum dan menipuk Randa dengan tinjunya sambil berkata
“GOMBAL!”
Case 10. SAMPAI JUMPA
Rencana
Randa untuk kembali sekolah diMataram sudah tidak ada harapan, usaha yang
dilakukan sia-sia, karena aib yang dia sembunyikan telah diketahui oleh
keluarga. Daripada dia harus berbohong dan menyiksa diri, lebih baik dia
kembali kekota yang membesarkannya.
Sebelum dia kembali, orang yang pernah
membantunya untuk bertahan, dikunjungi sepulang dari pantai senggigi dan
setelah dia mengantar pulang Dewi. Bidadari yang dia kenal diatas angkot,
angkot tempat dia mencari modal untuk membuka usaha.
Hari
sudah malam. Dia singgah dirumah Tuak Lii. Disana dia dijamu dengan makan
malam. Setelah makan malam, Randa tidak langsung pulang tapi duduk dibale-bale
atau berugak kata orang lombok.
“Kemana
aja tadi, Rand?” tanya Tuak Lii.
“Saya
diajak jalan-jalan, bang! Pergi kepantai Senggigi”
“Sama
siapa?”
“Berdua
aja, Bang!”
“Asik,
dong! Berdua bareng cewek! Udah lama jadiannya?”
Randa
senyum.
“Kenapa
diem? Kamu juga kelihatan murung. Ada apa?” lanjut tanya Tuak Lii sambil
melinting rokok dan menyodorkan tembakau ke-Randa.
“Ada
masalah dikit, bang!”
“Masalah!
Bekas memar diwajah kamu belum hilang, sudah ada masalah lagi! Mau jadi
jagoan?” kata Tuak Lii.
“Bukan
masalah kayak gitu lagi bang, yang ini lain cerita!”
Istri
Tuak Lii datang membawa kopi dan jajanan.
“Kamu
darimana aja?” tanya Istri Tuak Lii.
“Ah,
Mbak! Saya dateng dari tadi baru ditanya sekarang!”
Istri
Tuak Lii tersenyum dan mempersilahkan Randa minum kopi.
“Kopinya
aja yang disuruh minum, Mbak? Kuenya?” kata Randa.
“Emang,
kamu mau minum kue?” tanya balik istri Tuak Lii.
Randa
nyengir!
Istri
Tuak Lii sudah menganggap Randa sebagai adiknya, sama seperti suaminya. Jadi
Randa sering memanggil istri Tuak Lii dengan panggilan Mbak!
“Begini,
Bang! Kalok saya punya salah sama abang sekeluarga atau ada kata yang membuat
abang sekeluarga tersinggung. Mohon dimaafkan, Bang?”
Tuak
Lii bingung.
“Sekali
lagi, mohon dimaafkan?” lanjut Randa.
“Kamu udah mau mati, Rand?” tanya Tuak Lii
sambil ketawa.
“Aduh,
abang! Amit-amit, Bang!” Randa sambil ngetok-ngetok lantai tempat duduknya.
“Terus!
maksud kamu apa?”
“Begini,
Bang! Besok saya balik ke-Bima karena keluarga saya sudah tau permasalahan saya
disini!”
“Mereka
tau darimana?”
“Itu
nggak penting mereka tau darimananya, yang penting bagi saya. Beban pikiran
yang ada sudah hilang, tinggal bagaimana cara saya menjelaskan ke Ayah saya
saja!”
“Ya
sudah! Kalok itu yang terbaik menurut kamu, kami doa-kan semoga sukses disana.
Tapi jangan sampai terulang kembali!”
“Iya,
Bang!”
“Ya,
sudah. Kamu kan belum pulang. Bukannya saya ngusir, tapi saya nggak enak liat
kamu disini!”
“Aduh!
Sama aja ngusir, Bang!”
“Maksud
saya biar kamu siap-siap barang dirumah! Kamu balik kapan dan jam berapa?”
“Besok,
Bang! Jam enam pagi!”
“Ya,
udah! Ayok saya anter pulang”
Tuak
Lii mengambil sepeda motornya untuk mengantar Randa. Setiba dirumah, Tuak Lii
berpesan.
“Rand, kamu di dunia ini hanya hidup sementara, jadi jagalah ibadahmu.”
Entah mengejek atau sekedar guyonan,
Randa menjawab, “Justru itu Bang! Kita
manfaatkan hidup di dunia sekarang dengan hura-hura.”
Kepala Randa diketok Tuak Lii.
“Randa, permisalan yang bagus dapat kamu
renungkan dalam hadits berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, Aku tidaklah
mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di
dunia hanyalah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan
beristirahat, lalu meninggalkannya. (HR. Tirmidzi no. 2551.
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).
Jadi ingat itu baik-baik” tutur Tuak Lii
“Siap, boss!!” kata Randa sambil hormat.
Tuak Lii berpamitan lalu pulang.
***
Dirumah! Randa mengemas
pakaian dan segala sesuatu yang dia anggap penting untuk dibawa. Yang nggak
perlu dibawa, disimpan dengan rapi dalam kardus. Setelah semua dianggap
selesai. Dia duduk dipojok tempat tidur sambil bersandar pada dinding.
Pikirannya melayang sejenak, mengarungi dunia hayalan.
Lagi serius melamun, aroma
kurang sedap mampir dipenciumannya. Randa mengendus-enduskan hidung untuk
mencari sumber bau yang kurang sedap, sembari berfikir. Dia juga mengenali
aroma itu, tapi dia masih bingung nama bau tersebut. Lambat laun! Setelah
mengetahui namanya!
“Buhsiiiet!! Nasi gosong!”
Randa loncat dari tempat
tidur dan menuju dapur. Periuk buat dia masak nasi udah hitam kecoklatan,
sedangkan beras yang dimasak! Berubah mirip nasi goreng, coklat kemerahan.
Dia menipuk jidat.
“Kirain bau setan lewat!
Eh, ternyata! Nasi yang teriak minta tolong!” dia ngomong sendiri.
Randa mematikan api kompor
tapi masih geleng-geleng kepala, sedangkan hari sudah larut malam. Nasi
didinginkan sementara dia bikin sambal dan goreng ikan asin. Setelah semua
siap! Dia makan sambil dengerin radio.
Lagi enak makan tiba-tiba
kucing lewat.
“Lah! Nih kucing masuk
lewat mana?” dia tanya dirinya sendiri.
Bulu kuduknya berdiri!
Langsung ngebayangin hal-hal aneh. Randa segera menyelesaikan makan malamnya.
Randa tinggal dirumah
sendirian, rumah yang sudah lama ditinggalkan. Karena mereka hijrah ke-Bima.
Rumah itu lumayan besar, kamar tidur empat, raung tamu, ruang keluarga, ruang
tengah dan dapur. Sedangkan Randa menempati kamar paling belakang yang
bergandengan dengan ruang dapur dan sumur didalam rumah!
Dia mencoba
untuk memberanikan diri.“Masa bodo!” katanya dalam hati. Tapi teringat kata
orang-orang yang sering lewat depan rumahnya yang menceritakan hal-hal aneh ada
dirumah Randa. Dia lekas membereskan sisa makananya lalu kembali masuk kamar.
Diramah Randa
memang rada-rada angker. Soalnya udah hampir enam tahun enggak ditempati. Jadi
wajarlah!
Setelah masuk
kamar dan dikuci rapat lalu suara radio dibesarkan. Buat ngilangin rasa
takutnya, kemudian dia tidur sehabis corat-coret kertas.
***
Adzan subuh
berkumandang! Randa bangun sambil sempoyongan karena kurang tidur dan terpaksa
harus bangun karena kalok nggak dia bakal ketinggalan bus! Ia lalu kekamar
mandi kemudian sholat subuh.
Berat rasa
hatinya untuk pergi, karena sangat banyak kenangan yang harus ditinggalkan.
Randa mengunci semua rungan kemudian pergi kerumah Om Lado untuk menitipkan
kunci rumah dan berpamitan.
Subuh itu dia berjalan
menuju terminal yang kurang lebih dua kilometer jauhnya. Dia jalan kaki bukan
karena nggak sanggup sewa angkot tapi karena angkot jam segitu sangat jarang.
Setiba
diterminal, Randa sarapan dan minum kopi untuk menghangatkan badan. Sedangkan
bus yang ditunggu nggak kunjung datang, ketika menunggu. Dia teringat Dewi dan
menghayalkan apa yang akan dia katakan nanti.
Matahari udah
mulai bangkit dari persembunyiannya. Bus yang ditunggu juga udah masuk
terminal, berarti Randa harus siap-siap. Tapi! Dewi tak kunjung datang.
“Abang! Jam
berapa berangkat?” tanya Randa pada Jimmi sepupunya sekaligu anak pemilik bus
dan juga yang bertanggung jawab atas busnya diMataram.
“Nanti jam
tujuh! Kenapa?”
“Alhamdulillah!
Saya nungguin cewek, bang!”
“Dia juga mau
ke-Bima?” tanya Jimmi.
“Nggak bang!
Cuma nganterin saya aja!”
“Gayamu!” lalu
Jimmi pergi kewarung, sedangkan Randa nyengir aja dibilang kayak gitu.
Setengah jam
lagi bus berangkat! Randa masih menunggu. Rasa putus asa mulai meracuninya.
“Sudahlah Rand!
Dia nggak bakal dateng, karena dia hanya bergurau saja kemarin!” kata Randa
dalam hati.
Nggak lama
kemudian Randa ngeliat cewek sedang naik turun diatas bus yang ada diterminal.
Panik! Seperti mencari-cari seseorang. Ternyata gadis itu adalah Dewi.
“Wik!” teriak Randa
berkali-kali sambil melambaikan tangan.
Dewi berlari
kearah Randa setelah melihat Randa berdiri dibawah pohon ketapang yang menanti
bus berangkat.
“Rand! Ngapain
kamu pagi-pagi disini?” tanya Dewi.
“Menurut kamu?”
tanya balik Randa.
“Kamu mau
kemana?” Dewi sambil nyubit Randa.
Randa diam.
“Kamu mau
ke-Bima, Rand?” Dewi cemas.
“Iya, Wik!”
suara Randa datar.
“Berapa lama?”
“Nggak tau,
Wik!”
Dewi
bertubi-tubi memukul bahu Randa.
“Terus kita
gimana?” tanya Dewi dengan berlinang airmata.
Randa kembali
diam. Sedangkan Dewi memeluk lengan Randa.
“Kamu tega,
Rand! Padahal saya baru saja ngerasa bahagia sama kamu!”
“Baru? Berarti
selama ini kamu nggak senang dekat sama saya?” kata Randa dengan nada datar.
“Nggak gitu,
Rand! Maksudnya, baru sama kamu saya ngerasain sesuatu yang membuat saya
bahagia! Sekalipun itu baru kemaren kita bisa saling berbagi rasa. Karena
selama ini hanya gombal yang keluar dari lidah kamu dan sepertinya kemarin kamu
becanda, deh! Atau kamu permainkan saya, biar bisa buat hati saya senang?”
“Nggak!”
“Terus, kenapa
kamu mau pergi?”
“Kan! Saya sudah
bilang, wik! Sebelum kita kenal lebih dekat, disaat kita diatas angkot. Bahwa
saya harus kembali untuk menemani orang tua saya, tapi kita terlanjur kenal
lebih jauh sehingga saya nggak dapat memungkiri kalok saya juga sayang sama
kamu!”
“Tapi?”
“Apa mau dikata,
Wik! Tuhan mengaturnya lain dari keinginan dan rencana kita”
Pelukan Dewi
semakin erat!
“Sudahlah, Wik!
Mungkin setelah lulus. Saya akan kembali melanjutkannya disini dan kita bisa merajutnya
lebih indah!”
“Tapi kenapa
harus seperti ini?” Dewi meneteskan airmata.
“Inilah hidup,
Wik! Bersabarlah! Kita hanya bisa berusaha dan berencana, sedangkan tuhan yang
menentukan”
Dewi mulai
tenang.
“Rand!
Sepertinnya saya akan sangat merindukan kamu?”
“Sama, Wik!”
Randa sambil mikir lalu senyum.
Melihat Randa
tersenyum, Dewi mencubitnya dan Randa merintih kesakitan.
“Seneng, yah!
Jauh dari saya?”
“Nggak, Wik!
Saya cuma mikir. Sekarang bukan seperti jaman sebelu kemerdekaan. Sekarang itu
tahun milenium, Wik! Kita bisa telfon-telfonan, surat-suratan dan ketika libur!
Saya bisa datang kesini! Tenanglah, rumahku juga nggak bakal saya tinggal lama.
Saya bakal kembali kesini, ketanah kelahiran saya”
“Yang bener?”
“Iya! Itupun
kalok kamu masih sayang sama saya?” goda Randa.
“Kamu kalik!
Yang nggak sayang lagi sama saya” sambil mencubit Randa.
Seperempat jam
lagi bus akan diberangkatkan.
“Wik! Semalam
saya menulis sesuatu, semoga bermanfaat buat kamu” Randa sambil merogok tasnya.
“Kertas apa,
nih?” tanya Dewi sambil memegang kertas.
“Ups!! Jangan
dibaca sekarang!” Randa menahan tangan Dewi yang berusaha membuka lipatan
kertas pemberiannya.
“Kenapa?”
“Biar kamu bisa
merasakan sebagian dari hati ini!”
TING-NONG!!
BUS JAKARTA INDAH TUJUAN BIMA SEGERA DIBERANGKATKAN, PARA PENUMPANG DIHARAP
UNTUK LEKAS NAIK!!
Suara operator yang keluar dari pengeras suara.
Dewi semakin
erat memeluk lengan Randa.
“Wik! Maafkan
saya, nggak ada niat untuk meninggalkan kamu sendiri!”
“NGGAKK!!” kata
Dewi mencoba menahan Randa.
Randa memegang
bahu Dewi.
“Wik! Liat saya!
Jangan sampai airmatamu membutakan mata hati kamu. Percaya pada saya! Saya akan
kembali, Wik! Untuk-mu”
Airmata Dewi
mulai membasahi pipi. Randa mengusap dengan kedua ibu jarinya.
“Wik!
Bersabarlah”
“Sabar? Kamu
enteng ngomong kayak gitu!” suara Dewi serak-serak.
“Saya berani
bilang kayak gitu, karena saya percaya kamu bisa! Kamu bisa!” tekan Randa.
“Maafkan saya!”
Randa sambil mengecup kening Dewi yang sedang menahan tangis.
“Janji, Rand!”
suara Dewi lemah.
Randa menganggukkan
kepala.
Dia-pun naik
keatas bus! Dewi mengantar sampai pintu dan dia mundur beberapa langkah sambil
mencari keberadaan Randa.
Setelah Dewi
mendapatkan Randa yang berada dibalik kaca sedang melambaikan tangan padanya.
Dewi membalas dengan lambaian yang pilu.
Bus
diberangkatkan dan meninggalkan terminal. Tapi Randa dan Dewi masih melambaikan
tangan, hingga mereka kehilangan salah satu diantara mereka. Hilang ditikungan
jalan.
***
Dewi membuka
surat pemberian Randa, dia membaca diatas taxi dalam perjalanan pulang!
“Ketika hati telah meneteskan air mata, bukan
berarti itu semua karna rasa, tetapi air mata ini mulai menetes, karna kaki ini
telah melangkah untuk pergi, meninggalkanmu walaupun bukan untuk selamanya” tangan Dewi sedikit gemetar.
“Hati ini terasa lemah sunyi dan sepi, membekas
pelukan indahmu waktu itu”
Dewi terdiam sejenak sembari mengingat hari kemarin bersama Randa.
“Mbak! Kok melamun, kita
kemana nih?” tanya pak sopir taxi yang belum menjalankan kendaraannya karena
dia belum tahu arah tujuannya.
“Oh, iya Pak! Maaf! Kita
kemonjok ya, Pak!” titah Dewi karena dia tadi masuk taxi langsung duduk diem
baca surat.
Setelah taxi bergerak,
Dewi kembali membaca surat.
“Kini tiba waktunya
kita untuk menjauh sementara, berpisah untuk kebaikan masa depan kita, namun
perlu kamu ketahui, kamu tidak akan pernah pergi dari hati ini.” Dewi mulai
tersenyum dan memandang keluar kaca.
“Nggak! Randa nggak
pergi!” katanya dalam hati. Dia merasa Randa masih disampingnya dan dia menoleh
kesamping, dibangku kosong dekatnya lalu tersenyum sendiri.
“Kasih, selamat tinggal untukmu, hati-hati selama
jauh dari aku, jaga hatimu untukku disini yang akan kembali, aku akan selalu
bersamamu sekalipun itu hanya dalam hati, sampai kita bersua kembali. Sayang!” dia memmbuka lipatan surat berikutnya.
“Hati ini merintih sedih ketika di harus
meninggalkanmu, takut akan kamu kenapa-kenapa saat kita jauh, tubuh ini serasa
ingin selalu mendekapmu dan tidak ikhlas untuk jauh darimu.” Senyum Dewi semakin melebar.
“Randa! Randa! Kamu memang
bisa membuat orang untuk tersenyum sekalipun itu hanya sebuah tinta hitam” kata
Dewi dalam hati.
Pertemuan mereka memang
teramat singkat, tetapi dimata Dewi dia adalah orang yang bisa membuat orang
lain tersenyum, sekalipun itu sakit banginya.
Dewi kembali membaca “Jaga
kesehatan selama kita jauh ya! Saya minta jangan nakal ya di sana! Saya takut kamu di ambil orang lain! Ingatlah
selalu kalau saya disini akan kembali dan masih merajai hatimu. Saya takut ketika kita jauh pasti hati ini akan
selalu merindukan kamu, saya masih pengen selalu bersamamu, namun apa daya,
kita harus berpisah untuk sementara.
Sampai jumpa sayang!” kemudian Dewi membuka
lipatan terakhir dan dia menemukan alamat dan nomer telefon rumah Randa.
Setelah membaca surat.
Dewi kembali bersemangat untuk menghadapi hari kedepan.
***
“Maafkan saya, Wik! Tidak ada niat untuk
membuatmu bersedih!” kata Randa dalam hati yang sedang duduk dibangku bus
paling belakang.
Randa menatap keluar kaca, melihat indahnya
suasana pulau lombok yang rindang. Gunung Rinjani menjulang tinggi kokoh,
seakan menggapai langit. Menjadi pemandangan menemani perjalanan Randa pulang.
Banyak kenangan yang tak dapat dilupakan,
tertinggal diKota kelahiran. Seakan kota itu mengusirnya secara halus dengan
cerita yang penuh derita, sekalipun cinta mulai hadir. Namun kehadiranya
hanyalah sebuah cerita.
“Rand! Masih ada tempat yang kosong?” tanya
Jimmi yang berteriak dari depan.
“Kenapa, bang?” Randa sambil noleh cari tempat
kosong.
“Ada muatan satu orang!”
“Nggak ada tempat kosong, bang!”
“Tempat kamu duduk ada orang nggak?”
Randa melambaikan tangan.
“Ya, udah! Kamu duduk dibangku tengah aja?”
Randa nggak bisa berkata lagi hanya bisa
menunjukan jempolnya. Namanya juga numpang gratis, jadi mau diapain juga harus
terima.
Sampai
dilombok timur, tempat pertemuan andara bus dari Bima dan yag mau keBima. Jimmi
turun untuk naik ke bus yang mengarah keMataram.
Pak sopir, Resso! Nama pengendara bus tempat
Randa numpang. Setelah Jimmi pergi, dia mengintip lewat kaca spion yang ada
diatas tempat duduknya, melambaikan tangan kearah Randa. Menginstruksikan agar
Randa duduk didepan, tepat dekat pintu depan bersama kernet bus.
“Rand! Lemboade! Kamu duduk disini aja, ntar
kalok ada yang turun disumbawa, baru kamu duduk dibangku yang kosong!” terang
Resso
“Iya!” kata Randa sambil bernafas panjang.
“Kenapa kamu balik keBima?” tanya Resso.
Randa senyum aja.
“Kenapa senyum?”
“Iya pak! Saya nggak betah dimataram, jadi
saya kembali karena ingin sekolah diBima saja!” jawab Randa.
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa”
Setelah pembicaraan itu, Randa diam dan lebih
banyak berdiam diri sambil memikirkan masa depan dia dan nasib keluarganya.
Tak lama kemudian, bus tiba dipelabuhan
kayangan. Intruksi pak sopir, Randa masuk terlebih dahulu kekapal dengan berjalan
kaki, agar tidak masuk hitungan saat petugas pelabuhan menghitung penumpang.
Berarti dia masuk secara ilegal.
Diatas kapal penyebrangan, Randa berdiri
menghadap kearah gunung. Pemandangan wajib apabila bersandar dipelabuhan Kayangan,
karena pelabuhan tepat berada dibawah kaki gunung Rinjani.
Dia membeli segelas kopi untuk menemani
sebagai penghiburnya, tapi sayang dia teringat gurauan bersama Dewi kemarin.
“Rand! Jangan becanda kalok kamu sayang sama
saya!” kata Dewi.
Randa cuman cenyum.
“Eh! Malah senyum! Berarti kamu becandakan?”
“Wik, Wik! Kamu selalu menganggap orang lain
becanda. Padahal semua itu tulus, untuk apa saya harus berbuat seperti itu jika
hanya untuk gurauan. Nggak ada hasilnya!”
“Terus! Dikartu, gimana?”
“Itukan ada hasilnya, Wik! Buat makan
untuk bayar sekolah dan lain-lain”
“Terus yang kesaya?” tanya Dewi yang pengen
digombal.
“Yang ke kamu, ya untuk kamu! Masak untuk
embek! Untuk mencuri hati dan perhatian kamu Wik!”
“Tapi, Rand! Jangan sampai ada kata sampai
jumpa ya?” Dewi bersandar dibahu Randa.
“Ya, enggak lah Wik, kalokpun ada. Kata-kata
itu pasti diakhiri dengan kata lagi. Sampai jumpa lagi, ketemu lagi, kangen
lagi, see you lagi and miss you lagi. berarti kita akan bertemu lagi. Gichu
sayang” terang Randa sembari senyum.
“Hey! Ngelamun aja!” kata Resso menepuk pundak
Randa. “nggak usah dipikirin, bilang sampai jumpa Mataram” lanjut Resso.